Menyoal ‘Tepuk Sakinah’ dan Modal Nikah yang Lebih dari Sekadar Jargon
Menjelang hari pernikahannya, “Dita” bersama calon suami kembali ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, untuk mengikuti Bimbingan Perkawinan (Binwin). Bersama beberapa pasangan lain, mereka duduk berdampingan mendengarkan petuah dari kepala KUA. Suasana khidmat, penuh pesan moral, meskipun berjalan satu arah.
Di akhir sesi, petugas mengajak seluruh calon pengantin berdiri, bertepuk tangan dengan pose menunjuk ke atas, sambil membilang prinsip pernikahan:
Berpasangan, berpasangan, berpasangan.
Janji kokoh, janji kokoh, janji kokoh.
Saling cinta.
Saling hormat.
Saling jaga.
Saling ridho.
Musyawarah untuk sakinah.
Belakangan, Dita memahami tepuk tersebut adalah Tepuk Sakinah, bagian wajib dalam Binwin. Dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), tepuk ini diharapkan menjadi aktivitas menyenangkan sekaligus sarat pesan moral. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menegaskan bahwa Binwin bertujuan membekali calon pengantin lahir batin agar siap membangun rumah tangga. Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai metode ini bisa menyentuh akar persoalan keluarga, sekaligus menekan angka perceraian.
Namun realitas perceraian di Indonesia menunjukkan kompleksitas yang jauh lebih luas. Data BPS menunjukkan peningkatan kasus perceraian dari 394.608 di 2024 menjadi 446.359 di 2025. Perselisihan dan pertengkaran menjadi alasan utama, disusul ketidakstabilan ekonomi, utang, hingga ketidaksepakatan pengelolaan keuangan. Ketidakhadiran salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perilaku berjudi online juga berkontribusi. Pengadilan Agama Depok merilis bahwa hampir seluruh kasus perceraian berakar dari judi dan pinjaman online.
Pera Sopariyanti, Direktur Rahima, menegaskan tepuk sakinah tidak bisa dijadikan solusi tunggal menekan angka perceraian. Aktivitas ini hanyalah bagian kecil dari keseluruhan pembekalan nilai pernikahan.
“Yang penting adalah bagaimana nilai keluarga sakinah tersampaikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar nyanyi seru-seruan saja,” jelas Pera.
Dalam Binwin, ada metode lain yang lebih esensial, seperti diskusi kelompok, simulasi, hingga role play. Semua itu menanamkan pilar keluarga sakinah dan membantu pasangan merumuskan strategi menghadapi konflik rumah tangga, serta membangun keterampilan komunikasi yang sehat.
“Dalam perkawinan, suami dan istri harus berpikir dan bertindak untuk mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak, bukan hanya salah satunya. Rumah tangga harus menjadi ruang aman untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan tanpa takut dihakimi,” tambah Pera.
Baca juga: Minoritas Agama Dilarang Beribadah di Indonesia
Pernikahan dan Realitas Ekonomi Rumah Tangga
Selain simbol moral, kenyataan ekonomi memiliki peran besar dalam menentukan ketahanan rumah tangga. Studi dari Ismail et al. (2020, Journal of Family Studies) menunjukkan bahwa intervensi pendidikan perkawinan yang mencakup latihan praktis. Misalnya pengelolaan keuangan, manajemen konflik, dan komunikasi efektif yang bisa menurunkan risiko perceraian.
Dengan kata lain, pasangan yang dibekali keterampilan konkret dalam menghadapi tekanan rumah tangga cenderung mampu menjaga stabilitas pernikahan lebih lama dibanding pasangan yang hanya mengandalkan penanaman nilai moral simbolik.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih kompleks. Pasangan muda tidak hanya menghadapi dinamika hubungan, tetapi juga tekanan finansial yang nyata dan terus berubah. Mulai dari pengelolaan modal kawin, biaya rumah tangga rutin, kebutuhan pendidikan anak, hingga cicilan dan utang keluarga, semua menambah beban psikologis dan emosional.
Dalam situasi seperti ini, kemampuan menavigasi ekonomi rumah tangga terbilang jadi kunci yang menentukan keseimbangan dan ketahanan rumah tangga, sesuatu yang tidak cukup dicapai hanya dengan mengikuti simbol moral seperti tepuk sakinah.
Banyak kasus perceraian yang mencatat ketidaksiapan menghadapi tekanan ekonomi sebagai pemicu utama. Pasangan mungkin secara simbolik telah belajar nilai kesabaran, saling menghormati, atau musyawarah untuk sakinah, tetapi bila kemampuan mengatur keuangan, berbagi tanggung jawab, atau berkomunikasi secara efektif lemah, konflik sehari-hari bisa bereskalasi menjadi krisis.
Karena itu, nilai moral yang ditanamkan dalam Binwin relatif perlu diterjemahkan ke dalam praktik nyata. Misalnya, pasangan bisa membuat pembagian tugas rumah tangga yang adil, menyusun anggaran keluarga secara transparan, menetapkan strategi pengelolaan modal dan tabungan bersama, serta membangun mekanisme komunikasi rutin untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.
Dengan kata lain, pendidikan perkawinan tidak berhenti pada simbol-simbol ritual, melainkan harus menjangkau aspek praktis dan teknis rumah tangga. Ketahanan pernikahan lahir dari kombinasi pemahaman moral, kesadaran emosional, dan keterampilan ekonomi yang nyata. Hanya ketika ketiga elemen ini berjalan beriringan, pasangan mampu menghadapi tekanan finansial, emosional, dan sosial yang tak terelakkan dalam kehidupan rumah tangga modern.
Baca juga: Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’
Tepuk Sakinah: Simbol Moral dan Pendidikan Praktis
Tepuk sakinah hanyalah langkah awal. Maksudnya ini jadi simbol moral yang memantik kesadaran, bukan jaminan rumah tangga selamat dari perceraian. Praktik nyata tetap menjadi inti keberhasilan pernikahan. Binwin menyediakan ruang refleksi bagi pasangan muda: Memetakan potensi konflik, meningkatkan empati, dan menyadari hak serta kewajiban masing-masing. Aktivitas simbolik ini membantu internalisasi nilai sakinah secara nyata, bukan sekadar ritual seremonial.
Selain itu, metode Binwin mendorong pasangan untuk belajar menyelesaikan konflik, merencanakan kehidupan ekonomi bersama, hingga membangun komunikasi yang sehat. Pilar keluarga sakinah diajarkan melalui latihan praktis, bukan hanya tepuk tangan seremonial. Dengan demikian, pasangan diharapkan mampu menghadapi dinamika rumah tangga yang sesungguhnya.
Pera menekankan pentingnya memahami nilai-nilai sakinah dalam praktik nyata. “Rumah tangga bukan sekadar ritual, tetapi arena praktik. Pendidikan, keterampilan, dan kesadaran pasangan adalah faktor utama keberhasilan. Tepuk sakinah sebagai simbol moral efektif bila dikombinasikan dengan pembekalan nyata,” ujarnya.
Selain aktivitas kelompok dan role play, materi Binwin juga menyasar manajemen konflik, pengelolaan keuangan, dan pembagian peran. Semua ini dirancang agar pasangan memiliki strategi konkret menghadapi perceraian dini atau gesekan rumah tangga. Dengan cara ini, nilai sakinah tidak hanya menjadi jargon, tapi diterapkan dalam praktik sehari-hari.
Lebih jauh, Binwin mencoba mengajarkan kesadaran emosional dan keterampilan negosiasi pasangan. Studi oleh Suharto dan Widodo (2021, Indonesian Journal of Social and Cultural Studies) menekankan bahwa pasangan yang memiliki keterampilan negosiasi konflik rumah tangga memiliki probabilitas lebih rendah mengalami perceraian dini. Aktivitas simbolik seperti tepuk sakinah berfungsi sebagai pintu masuk untuk membangun kesadaran emosional, tetapi pendidikan praktik-lah yang menentukan hasil jangka panjang.
Selain itu, BPS mencatat hubungan langsung antara tingkat pendidikan dan kesiapan mengelola konflik rumah tangga. Pasangan yang mengikuti bimbingan yang komprehensif cenderung mampu menyeimbangkan tekanan emosional dan finansial, sehingga potensi perceraian berkurang. Tepuk sakinah menjadi simbol awal, tapi fondasi praktik dan pendidikan nyata lah yang menopang ketahanan rumah tangga.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















