People We Love

Merdeka Bersama ‘Yuni’: Wawancara Eksklusif Kamila Andini

Kamila Andini bercerita apa saja, tentang kegelisahannya, tentang seksualitas, tentang Yuni.

Avatar
  • January 5, 2022
  • 10 min read
  • 1740 Views
Merdeka Bersama ‘Yuni’: Wawancara Eksklusif Kamila Andini

Apa yang menarik dari film Yuni (2021)? Tak hanya sosok protagonis utamanya yang pemberontak dan punya “penyakit ungu” nan unik, tapi seluruh karakternya digambarkan punya kompleksitas. Tak hanya itu, di film besutan Kamila Andini tersebut, kita bisa dengan mudahnya menemukan isu-isu penting tentang perempuan, tanpa terlalu memaksakan atau sekadar tempelan. Semua elemen itu menyatu, hingga membuat film ini relatif sayang untuk dilewatkan.

Kontributor Magdalene berkesempatan mengobrol dengan sang sutradara. Kami menggali proses kreatif pencarian ide, momen-momen penting di balik produksi film, motivasi Kamila Andini, serta pandangannya soal isu perempuan di sekitarnya.

 

 

Sumber: Fourcolorsfilms

 

Q: Apa yang menginspirasi Kamila Andini untuk membuat film Yuni?

Sebenarnya ide awalnya datang dari sebuah percakapan sederhana dengan ibu asisten rumah tanggaku. Dia izin pamit mau pulang, anaknya waktu itu mau melahirkan di usia yang sangat muda. Dia cukup khawatir tentang kelahirannya karena masih muda banget, masih kecil, dan kehamilannya juga complicated, sehingga sebagai ibu, dia khawatir.

Sebenarnya percakapannya sederhana banget, tapi entah kenapa itu sangat reflektif buat aku sebagai perempuan. Banyak banget cerita tentang perempuan yang aku pernah temui sebelumnya muncul, juga teringat kembali pertanyaan-pertanyaanku dari waktu remaja mengenai menjadi perempuan (harus) seperti apa.

Itu semua jadi muncul dengan trigger percakapan itu dan stay lumayan lama di kepalaku. Apalagi aku juga punya dua anak perempuan. Suatu hari, di akhir 2016, aku ngomong sama Mas Ifa, produser dan suamiku. Bahwa kayaknya aku tahu, nih untuk film ketiga aku mau ngomongin apa dan kayaknya memang harus ngomongin ini. Jadi itu, sih awalnya film Yuni lahir.

Baca juga: ‘Yuni’: Film ‘Coming of Age’ Feminis yang Soroti Pernikahan Anak

Q: Yuni adalah film berani karena mengangkat tema-tema yang belum jamak bahkan cenderung tabu dibicarakan. Misalnya, tema pernikahan dini, kebebasan perempuan, dan seksualitas. Apakah sempat ada keraguan dari Kamila Andini sebelum benar-benar memproduksi Yuni?

Sebenarnya keraguan pasti ada ya, bikin film tentang isu apapun pasti itu ada, enggak usah isu perempuan juga ada. Cuma kan memang visinya yang dipertanyakan. Maksudnya dari awal aku bilang, aku sadar betul kalau aku ingin membuat film remaja, dan memihak pada remaja. Ada ruang untuk remaja. Sementara, aku lihat banyak banget film di Indonesia yang ngomongin remaja tapi dari perspektifnya orang tua. Misalnya, harus membimbing, harus ada sesuatu yang membuat remaja lebih positif. Padahal di titik itu, kita (justru sedang) memperlakukan remaja sebagai anak-anak menurutku.

Aku pengen berpihak pada fase ini. Aku pengen melihat fase ini seterbuka mungkin, sejujur mungkin. Aku pengen ya enggak cuman remaja, orang tua, siapa pun itu bisa melihat kompleksitasnya sebenarnya, apa yang terjadi pada mereka di saat ini. Terutama selain kompleks, selalu ada masalah yang jauh lebih besar dimasukkan ke hidupnya mereka. Seperti masalah pernikahan, itu masalah (orang) dewasa sebenarnya. 

Sumber: The Publicist Kamila Andini

 

Jadi memang dari awal, aku sudah tahu akan berpihak pada hal ini, dan aku enggk mau ada yang ditutupi. Makanya kalau ngelihat filmnya, bahkan dari opening, aku udah bilang ke penonton bahwa kamu bukan orang lain, kamu orang yang bisa melihat Yuni ganti baju, dan di titik itu kamu orang yang dia percaya. Makanya di film itu enggak ada yang aku tutup-tutupin sama sekali. Kamu bisa lihat apa yang dia tulis di handphone-nya, di Google search-nya dia, apa yang dia omongin sama teman-temannya.

Kita bisa dengan terbuka melihat semuanya. Kita bisa lihat bagaimana kompleksnya kebutuhan fase itu, bagaimana remaja mengeksplorasi dirinya. Yes, we make mistakes, semua dari kita di fase itu membuat kesalahan tapi bukan berarti hidup kita juga berakhir di situ juga kan. Hidup kita masih panjang kita punya waktu untuk membetulkan, cari lagi, berproses lagi gitu

Keraguan lainnya, aku sebagai kreator perempuan dari film ini juga jadi harus membuka diri, ngomongin hal-hal yang memang aku rasakan, yang aku pertanyakan, aku takutkan, dan aku enggak pernah melakukan hal itu sebelumnya di sebuah karya. Benar-benar memperlihatkan keperempuananku apa adanya. Itu juga proses yang tentu saja tidak mudah, aku sendiri juga pas udah selesai shooting, nonton, masih ada bagian-bagian yang risi. Sebab, sama aja seperti membuka diary kita di depan orang-orang. Kayak kita ganti baju di depan orang kan jadinya. Ada risinya juga karena aku enggak pernah melakukan itu sebelumnya, aku juga ngerti apakah ini akan ofensif ke orang, aku juga enggak tahu kan, tapi memang aku pengen jujur, lugas, aku pengen terbuka.

Jadi pada akhirnya film ini jadi kayak pembebasan diri juga, sih. Ternyata sebagai perempuan ‘oh ternyata aku bisa ya, membuka diriku apa adanya dengan jujur aja ke penonton gitu.’

Baca juga: Feminis Bercerita, demi Industri Film yang Inklusif

Q: Apakah dalam proses post-production, sempat ada bagian atau ide yang dikeluarkan dari film aslinya dengan alasan kompromi untuk publik?

Nah, itu sebenarnya juga cukup mengejutkan ya buatku, karena sebenarnya versi yang ditonton itu 95% scripted, enggak ada yang hilang sama sekali dari script yang saya tulis. Semua ada di situ, cuma ada bagian-bagian kecil karena alur cerita, bangunan mood jadi ada cut-cut kecil agar  mood-nya lebih enak masuk langsung kesana gitu. Namun, itu cuma sekitar tiga sampai lima persen dari the whole script. Itu juga yang saya kaget, sih sebenarnya, karena saya juga sama pemikirannya, ini pasti banyak yang dipotong. Bahkan itu pertanyaan saya pertama ke Pak Parwez, ‘Pak, ini benar enggak ada yang dihilangin, ini benar enggak ada yang di-adjust, ini benar-benar scripted lho,’ ini benar-benar dari scene satu sampai terus sampai scene 100-berapa itu, rangkaiannya pun sesuai.’

Sumber: The Publicist Kamila Andini

 

Q: Apa yang mendorong Kamila Andini untuk tetap berani mengangkat tema-tema seperti seksualitas perempuan, pernikahan dini, dan orientasi seksual berbeda tanpa menutup-nutupi atau menyensor untuk audiens?

Sebenarnya itu jadi salah satu keresahan aku. Sejujurnya, aku pun berproses panjang untuk bisa membicarakan seks. Yuni udah jauh lebih progresif dari aku karena sudah bisa ngomongin itu dengan teman-temannya. Aku baru bisa ngomongin seks secara terbuka mungkin setelah menikah, dan aku merasakan sendiri betapa telatnya itu. Aku merasa penting banget semua orang butuh sex education.

Oh iya, aku menyadari bahwa aku baru belajar tentang KB (Keluarga Berencana, program kontrasepsi. Red) setelah aku punya anak. Sampai sekarang aku gagap banget menghadapi itu, menghadapi tubuhku sendiri gitu. Karena memang belum pernah diajarin, enggak pernah tahu apa-apa sampai udah melahirkan, punya anak, baru belajar soal itu.

Menurutku enggak bisa gitu sih, anak muda sekarang harus tahu dari dia umur 20-an, karena KB itu bukan untuk bikin tidak hamil tapi untuk mengontrol hormon. Ini beda banget perspektifnya dua hal ini. Ngomongin seks juga gitu, kita enggak pernah diajari bagaimana bicara soal seks.

Q: Bagaimana Kamila bisa membawa isu-isu remaja perempuan yang cukup berat tapi dikemas dengan cara yang sederhana untuk publik?

Pendekatanku memang dokumenter, realis. Aku selalu mencari. Jadi semua yang aku tulis di Yuni itu sesuatu yang sudah ada. Jadi itu semua yang aku temukan di ruangnya, di Indonesia, di diriku sendiri bahkan. Semua yang ada pasti peristiwanya sehari-hari. Momen-momen kecil, peristiwa-peristiwa kecil, pertanyaan-pertanyaan kecil. Aku memang punya kecenderungan untuk bicara sesuatu yang grounded dalam kehidupan sehari-hari, tapi memang setiap cerita itu punya kebutuhannya masing-masing. Kebutuhan Sekala Niskala (2017) misalnya, memang ide itu bisa disampaikan dengan elemen-elemen surealis, lewat bahasa gerak dan metafor. Karena dia bicara sesuatu yang enggak bisa dipegang, gimana caranya ngomongin koneksi dengan alam. Itu kan bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan verbal, tapi lewat visual dan metafor.

Di Yuni, memang ini hal-hal yang harus kita bicarakan, jadi memang harus verbal, memang harus bentuknya percakapan-percakapan kecil, karena ini juga berawal dari percakapan dan aku pengen ini seperti dialog perempuan ke perempuan rasanya. Sehingga, filmnya jadinya sangat (personal karena membicarakan keseharian).

Q: Apa ekspektasi Kamila dari penayangan film Yuni?

Sebenarnya kenapa Yuni bisa travelling lebih dari Indonesia juga, karena memang isu ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ini masih terjadi di banyak negara lainnya juga. Jadi sebenarnya fase remaja seperti ini juga dialami oleh semua remaja di seluruh dunia, termasuk semua kebingungannya, ketakutannya, dan eksplorasi-eksplorasinya, itu memang muncul di fase itu. Jadi itu kenapa bisa relate ke lebih banyak orang.

Yang kedua juga kenapa Yuni meskipun terjadi di Indonesia tapi bisa menjadi bagian dari problem dunia. Karena bagaimanapun ini masih terjadi di beberapa negara dan itu harus menjadi perhatian dunia juga di waktu seperti ini. Kalau harapannya apa, sebenarnya bukan sesuatu yang besar, sih, benar-benar saya ngerasa bahwa proses membuat Yuni itu benar-benar memberikan saya ruang untuk membebaskan diri saya sebagai perempuan. 

Jadi saya berharap banget orang yang menonton film ini juga jadi punya sedikit keberanian dan insight untuk membebaskan dirinya, dengan cara apapun. In the end, ini film tentang liberation, jadi aku berharap ini juga bisa memicu liberation dari banyak perempuan yang nonton gitu. Mereka bisa accept, menceritakan cerita mereka, suara mereka pemikiran mereka, apapun itu. Ini saatnya memang dibebaskan semua itu.

Sumber: The Publicist Kamila Andini

 

Q: Penayangan Yuni datang di momen yang sama di mana perempuan mulai berani vokal bersuara soal kekerasan mereka. Apakah tanggapan Kamila mengenai itu?


Aku juga sebenarnya enggak nyangka banget gitu, kenapa pada saat tayang tiba-tiba, banyak hal yang terjadi, dan tentu saja saya walaupun filmnya berelasi dengan apa yang terjadi. Tentu saja itu bukan hal yang menyenangkan buat aku as a woman. Apapun itu yang kita dengar, semua berita tentang Novia Widyasari, it’s very, very heartbreaking buat aku. Aku enggak bisa enggak nangis dengar ceritanya dia. Semua yang terjadi di pesantren-pesantren.

Ini tentu saja bukan hal yang easy buat aku mendengarkan semua itu. Akan tetapi, menarik bagaimana dalam hal ini semesta gitu ya, universe menyatukan suara-suara ini at the same time gitu

Aku rasa kalau ada hal terbesar yang bisa kita miliki sebagai manusia sekarang adalah empati, sih, banyak hal sudah terjadi, tapi kita tidak mau itu terjadi lagi. Itu mulai dari mana? Mulai dari empati. Banyak hal tidak dilakukan karena pengabaian dan itu harus kita sadari banget. Ini bukan waktunya bagi kita abai, ini waktunya kita untuk menggunakan seluruh kemampuan kita sebagai manusia untuk berempati sehingga kita bisa membantu, saling menguatkan, saling ada, saling mendengar bahkan hal yang paling kecil mungkin. Saling mendengar untuk siapa pun, Yuni, Novia, siapa pun yang di luar sana yang membutuhkan itu, mereka bisa punya ruangnya. Mereka enggak harus kehilangan itu, percakapan-percakapan yang menguatkan mereka.

Q: Semakin banyak sineas film Indonesia mengangkat topik penting seputar perempuan. Apakah harapan Kamila untuk film-film Indonesia ke depannya? 

Semoga kalau aku, apa yang aku lakukan membukakan pintu yang lainnya buat film maker yang lain, membukakan keberanian-keberanian itu juga. Karena aku juga sebagai kreator yang tinggal di budaya timur, kita punya self-censor yang besar sekali gitu. Itu tidak bisa dibohongin sih, ketakutan itu ada, self-censor itu ada dan besar gitu. Akan tetapi tentu saja ini pilihan ya, enggka semua orang harus melakukan itu dan aku sangat terbuka dengan keberagaman sinema. 

Namun, aku ngerasa bahwa itu peranku di dalam film, semoga ada juga kreator muda yang terpanggil untuk juga punya peran yang sama. Yang melanjutkan juga peran-peran ini atau membuatnya lebih lagi, itu yang aku harap. Aku harap ini membukakan banyak hal, terutama buat Yuni-Yuni di luar sana juga. Jadi semoga kita bisa semakin jujur dan bisa semakin terbuka juga.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Trisha Dantiani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *