Lifestyle

Pertemanan Kadaluarsa, Perlukah Dipertahankan?

Perbedaan perilaku dan cara berpikir menandakan seseorang bertumbuh. Namun, dalam lingkup pertemanan, hal ini bisa jadi mengkhawatirkan.

Avatar
  • January 5, 2022
  • 4 min read
  • 952 Views
Pertemanan Kadaluarsa, Perlukah Dipertahankan?

Butuh hampir setengah tahun untuk menyadari ketidakcocokan dalam pertemanan dengan geng kuliah, ketika humor seksis dilontarkan beberapa teman laki-laki di tengah obrolan virtual kami. Detik itu juga saya mengerti, pertemanan itu bukan lagi tempat untuk pulang, seperti masih berstatus mahasiswi.

Pengalaman itu mengingatkan saya pada kalimat yang diucapkan seorang politikus asal Inggris, Benjamin Disraeli. Menurutnya, perubahan kepribadian terjadi secara konstan. Namun, banyak orang tidak memercayai adanya perubahan. Mereka meyakini dirinya saat ini sama dengan sepuluh tahun sebelumnya, seperti hasil penelitian National Fund for Scientific Research terhadap 19 ribu responden, dikutip dari TIME.

 

 

Dari sisi psikologis seperti dipaparkan Psychology Today, perubahan kepribadian disebabkan beberapa faktor, salah satunya peran baru dalam lingkungan sosial, seperti pekerjaan.

Hal ini yang terjadi pada pertemanan saya. Sebagai “produk” budaya patriarki, tentu saya bukan orang suci yang tidak pernah termakan lelucon misogini. Namun, banyak mempelajari isu  kesetaraan gender sejak pertengahan tahun lalu cukup membangunkan nalar, bahwa penindasan terhadap perempuan dan laki-laki berkedok gurauan, tidak seharusnya dilakukan.

Baca Juga: 5 Aturan Dasar Jika Ingin Pinjam Bahu Teman untuk Bersandar

Terdengar dramatis jika masalah humor merupakan satu-satunya alasan menarik diri secara perlahan. Kenyataannya, kondisi ini didukung oleh hilangnya kedekatan fisik dan emosional.

Berkaca pada penelitian “Maintaining Long-Distance Friendships: Communication Practices For Seeking and Providing Social Support Across Geographic Divides” (2012) oleh Patipan Lobburi dari Sripatum University, Thailand, pertemanan jarak jauh menimbulkan keengganan untuk meminta dukungan dari satu sama lain, meskipun dapat berkomunikasi secara daring. Alasannya, kenyamanan berkomunikasi tatap muka dinilai lebih mampu mengekspresikan perasaan. Lama-kelamaan, intensitas komunikasi berkurang dan terbentang jarak dalam hubungan. 

Pun orang-orang yang tidak lagi memiliki kesamaan visi misi dalam pertemanan, membuat hubungan itu tidak lagi seimbang. Misalnya, perilaku yang sebelumnya dapat ditoleransi kini tidak lagi cocok, atau tidak dapat memberikan kebutuhan saat ini, sekalipun pertemanan terjalin sejak lama.

Namun, ini bukan berarti mudah dilakukan. Sebuah pemikiran yang mengingatkan kebaikan teman-teman sempat mengganggu, apakah jarang berkomunikasi dengan mereka sama artinya dengan mengakhiri pertemanan secara tidak langsung. Maklum, mereka adalah keluarga saya selama tiga tahun hidup sebagai anak kos.

Pertemanan bukan dilakukan atas dasar paksaan, dan kenyataannya setiap orang akan tumbuh di tempat berbeda. Karena itu, berikut cara-cara yang dapat dilakukan jika memilih mempertahankan pertemanan yang hampir kadaluarsa.

Baca Juga: Kenali Tanda Pertemanan ‘Toxic’

1. Upayakan Komunikasi dan Keterbukaan

Selain perubahan pikiran dan perilaku, umumnya seseorang juga merasa tidak dapat dimengerti, tidak ada kesamaan, atau percakapan yang terjadi tidak mendalam. Untuk mengatasinya, bersifat terbuka dalam komunikasi adalah langkah utama yang perlu dilakukan, agar memahami perasaan dan mengetahui kebutuhan satu sama lain.

Kemudian, luangkan waktu untuk bertemu tatap muka dan berinteraksi secara intens. Dengan demikian, mengekspresikan perasaan akan lebih tersampaikan, sekaligus meluruskan kondisi masing-masing, jika terdapat perbedaan persepsi.

Sebagai opsi lain, Sabeen Shaiq, seorang pekerja sosial berlisensi asal AS, menyarankan untuk mengucapkan terima kasih sebagai bentuk apresiasi kehadirannya. Shaiq meyakini cara ini dapat memperkuat hubungan, walaupun risikonya ia belum tentu merasakan hal yang sama.

2. Selesaikan Permasalahan untuk Memperbaiki Tensi Hubungan

Tak hanya hilangnya kedekatan fisik maupun emosional yang menjadi pemicu hilangnya koneksi dalam hubungan pertemanan. Konflik adalah faktor lain yang memicu perubahan tensi, membuat komunikasi tidak nyaman.

Lydia Denworth, penulis Friendship: The Evolution, Biology, and Extraordinary Power of Life’s Fundamental Bond (2020), mengatakan kepada The New York Times, “Kita perlu lebih banyak berbelas kasih kepada orang-orang yang mengalami tekanan.”

Ia menyarankan, salah satu pihak yang memiliki kesadaran untuk memperbaiki relasi menjangkau temannya, terutama selama pandemi dan belum tentu semua orang sadar dirinya memerlukan kehadiran orang lain. Alih-alih menanyakan kabar, sebaiknya tawarkan hal apa yang dapat dilakukan untuk mendukung kondisinya.

Baca Juga: Untung Rugi Memacari Sahabat Sendiri

3. Manfaatkan Momen untuk Merefleksikan diri

Alih-alih memaksakan diri untuk memperbaiki pertemanan, kenyataannya hubungan tidak selalu bisa berkembang sesuai yang diinginkan. Jika disingkap lebih jauh, situasi ini justru dapat dimanfaatkan untuk merefleksikan diri untuk melihat apa saja yang melatarbelakangi perbedaan tersebut. Pasalnya, kemungkinan kita merasa tidak cocok lagi dalam pertemanan, tanpa mengetahui penyebabnya.

Menurut Denworth, relasi yang dijalin bukan berarti mewajibkan seluruh pihak yang terlibat, untuk tetap bertahan sepanjang waktu. Tak jarang justru sebagian orang sering kembali masuk dalam kehidupan di saat berbeda.

4. Mengubah Persepsi Pertemanan

Salah satu indikasi pertemanan sehat adalah ketika seluruh pihak yang terlibat, saling berusaha mempertahankan relasi tersebut. Melansir HuffPost, terlalu banyak pertemanan yang meletakkan harapan terlalu tinggi, misalnya mewajibkan kehadiran satu sama lain, padahal tuntutan memosisikan mereka di bawah tekanan. Hasilnya, jika salah satu pihak mengecewakan justru saling menjelekkan.

Maka itu, pertemanan seharusnya dibangun berdasarkan pemahaman, saling peduli, dan memaklumi kesibukan satu sama lain, tanpa ketentuan tertentu. Dengan demikian, pertemanan akan tetap terjalin, meskipun komunikasi dan pertemuan hanya untuk nostalgia dan bersenang-senang. Pun ini bukanlah keputusan buruk apabila dilakukan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *