Cerita Mereka yang Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
Di tengah kesibukan sebagai orang tua tunggal dan pencari nafkah utama, “Nina”, 49, tahu betul betapa pekerjaan rumah tangga bisa menguras energi dan waktu. Ia membutuhkan seseorang yang bisa membantu mengerjakan pekerjaan domestik harian seperti mencuci, mengepel, menyetrika, serta mengantar-jemput anaknya sekolah atau les. Untuk itu, ia mempekerjakan “Rina” sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Bagi Nina, pekerjaan Rina bukan sekadar “bantuan”, tapi kerja profesional yang layak dihargai. Ia menggaji Rina sebesar Rp4,5 juta per bulan, jumlah yang belum termasuk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang ia tanggung senilai lebih dari Rp150 ribu setiap bulannya. Rina juga mendapat jatah makan yang disajikan setara tanpa perbedaan, tunjangan hari raya, serta waktu istirahat yang jelas.
Meskipun tinggal bersama, Rina tidak diwajibkan menginap. Ia memilih tinggal di rumah Nina atas keinginannya sendiri. “Ya abis itu terserah dia mau ngapain aja, nonton atau main HP. Pas tanggal-tanggal merah dan liburan Lebaran pun dia libur,” kata Nina.
Nina mengaku kesadarannya tentang hak dan kewajiban terhadap PRT tidak datang begitu saja. Ia banyak belajar dari pekerjaannya yang kerap beririsan dengan isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia. “Dari banyak proses unlearn dan relearn, aku jadi pengen walk the talk aja,” ujarnya.
Kesadaran yang serupa juga dimiliki Fitri, 56. Ia mempekerjakan Tuti sebagai PRT purnawaktu, yang bekerja tiga kali seminggu dari pukul 06.30 hingga 11.30. Karena anak-anak Fitri sudah dewasa, Tuti fokus pada pekerjaan bersih-bersih seperti menyapu, mengepel, menyetrika, dan mencuci baju.
Untuk beban kerja itu, Fitri menggaji Tuti Rp1,2 juta per bulan. Jika bekerja lebih dari jam yang disepakati, Tuti menerima upah lembur Rp50.000 hingga Rp100.000 per jam. Selain itu, Fitri juga memberi jatah sembako tiap bulan, dari telur, sabun cuci, kopi, hingga gula. Ini masih ditambah Tunjangan Hari Raya (THR) dan libur Lebaran. Ia bahkan memberikan sepeda untuk transportasi Tuti yang rumahnya berjarak sekitar tiga kilometer.
“Saya sudah merasakan bagaimana pekerjaan rumah tangga menguras energi dan pikiran, apalagi perempuan tetap harus mengerjakan pekerjaan di luar rumah. Jadi saya rasa patut untuk memberi upah layak,” ujarnya.
Pengalaman hidup membuat Fitri lebih peka terhadap keadilan di dalam rumah. Dulu, ia mengurus rumah hampir sepenuhnya seorang diri karena suaminya jarang membantu. Kini, meski suaminya lebih terlibat, ia tetap memastikan pekerjaan rumah tidak semuanya dibebankan pada Tuti.
“Sesimpel mencuci piring atau mencuci baju dengan tangan, kalau memang masih bisa dilakukan sendiri, ya kami kerjakan tanpa bantuan Tuti,” katanya.
Dari Nina dan Fitri, kita bisa melihat bagaimana memanusiakan PRT bukan hal besar yang mustahil. Kesadaran untuk menghargai kerja mereka dimulai dari rumah—dari cara kita memperlakukan mereka sebagai manusia dan pekerja, bukan sekadar “pembantu”.
Baca Juga: Kupas Tuntas RUU PPRT: Siapa Untung, Masalah Upah, hingga Langkah Selanjutnya
Pekerjaan Penuh Stigma
Namun, kesadaran seperti itu belum jadi hal umum. “Linda”, 30 tahun, tahu persis bagaimana kerja PRT kerap dipandang sebelah mata.
Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan membawanya ke pekerjaan ini. Linda adalah lulusan S1 hukum yang pernah bekerja di NGO dan kantor hukum ternama sebagai staf legal, dengan gaji di atas Upah Minimum Regional Jakarta. Namun di balik stabilitas itu, ia mengalami kelelahan fisik dan mental ekstrem.
“Setiap notifikasi grup kerja muncul, dadanya sesak, jantungnya berdegup terlalu cepat, seakan ada bahaya yang tak kasat mata menunggunya,” kenangnya.
Burnout itu membuatnya berhenti dari dunia kantor. Namun karena kebutuhan hidup tak berhenti, Linda akhirnya memutuskan menjadi PRT.
“Awalnya saya pikir ini akan lebih mudah. Orang pikir kerja saya cuma bersih-bersih, gampang saja tapi ternyata tidak mudah. Capeknya sama dengan pekerja kantoran. Tenaga dan pikiran juga sama capeknya.”
Kini hari-harinya dimulai sejak subuh hingga menjelang petang, mengurus berbagai pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak balita majikannya. Ia bahkan menyiapkan silabus pengasuhan sendiri.
“Aku lihat anak ini umur segini tahapannya udah mulai bisa apa aja. Jadi selain main, dia juga belajar. Aku kasih buku dan tulisan-tulisan. Pokoknya (aku) berusaha screen time dia enggak banyak,” jelasnya.
Pekerjaan PRT memang jarang diakui sebagai pekerjaan sungguhan. Menurut Koordinator Jala PRT Lita Anggraeni, akar persoalannya panjang. “Pekerjaan domestik sejak lama dianggap sebagai peran gender yang secara budaya dipandang rendah. Karena perempuan melakukannya setiap hari, pekerjaan ini dianggap tidak memerlukan keahlian,” jelasnya.
Selain bias gender, stigma terhadap PRT juga berakar dari bias kelas. Data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) 2012–2015 menunjukkan lebih dari 63 persen PRT di Indonesia berpendidikan di bawah SMP, dan hanya 15 persen yang menamatkan SMA. Akibatnya, banyak yang tidak memiliki kontrak kerja, tak mendapat jaminan sosial, dan dibayar jauh di bawah nilai kerja mereka.
“Masyarakat tidak sadar bahwa pekerjaan domestik adalah fondasi produktivitas. Tanpa ada pekerjaan perawatan, maka pekerjaan publik tidak akan bisa berjalan bahkan perempuan di angkatan kerja formal tidak bisa bertahan,” tambah Lita.
Baca Juga: Paradoks Pekerja Rumah Tangga: Tak Punya Nilai Sosial tapi Esensial
Pentingnya Peran Pemerintah
Langkah-langkah seperti yang dilakukan Nina dan Fitri seharusnya bisa menjadi contoh, tapi tentu tidak cukup jika hanya berhenti di level individu.
Menurut Valentina Yulita Dyah Utari, peneliti senior Smeru Research Institute, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan negara untuk mengakui PRT sebagai pekerja. Ia menemukan bahwa PRT sering kali tidak dilibatkan dalam program pelatihan kerja yang didukung pemerintah.
“Rupanya pembuat kebijakan itu berasumsi kalau PRT itu enggak membutuhkan keterampilan khusus dan peningkatan keterampilan. Yang dibuka itu misalnya latihan-latihan buat barista, jadi kami melihat memang ada kesenjangan,” ucapnya.
Kesenjangan itu makin jelas karena Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan sejak diajukan pertama kali pada 2004. Meski Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sudah meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Perawatan 2025–2045, Valentina menilai kebijakan tersebut hanya bersifat soft policy—tidak mengikat secara hukum.
“Untuk bisa menjamin pengakuan dan hak-hak PRT, tidak ada cara lain selain mendorong pengesahan RUU PPRT sekaligus meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga,” ungkapnya.
Ia menambahkan, advokasi juga perlu diperluas ke ranah keagamaan. “Ulama di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sudah mulai menekankan pentingnya memanusiakan PRT. Tapi perlu lebih banyak komunitas dan pemuka agama untuk mendorong advokasi serupa agar masyarakat bisa belajar tanpa merasa digurui,” ujarnya.
Pada akhirnya, memanusiakan pekerja rumah tangga bukan hanya soal upah layak, tapi tentang mengakui martabat dan peran penting mereka dalam menopang kehidupan banyak keluarga. Selama pekerjaan mereka masih dianggap sebelah mata, ketidakadilan akan tetap menjadi bagian dari ruang domestik. Rumah yang adil adalah rumah yang menghargai semua orang yang bekerja di dalamnya.
This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.
















