Gender & Sexuality

Mereka yang Mencari Seks Gratis di Tinder

Tidak ada yang salah dalam mencari seks di aplikasi 'online dating', tapi bukankah seks pun harus ada 'foreplay' dulu?

Avatar
  • November 28, 2018
  • 5 min read
  • 2559 Views
Mereka yang Mencari Seks Gratis di Tinder

“Ester I am hugh now..”
“What is hugh?”
“I am hard now”

Diam beberapa detik. Lalu tangan saya dengan cekatan langsung menekan tombol unmatch.

 

 

***

“Dari semua aplikasi dating yang gue coba, Tinder yang paling oke!”

Ini kata teman saya yang sudah menjalani online dating selama bertahun-tahun tapi belum juga bertemu dengan Prince Charming-nya. Walaupun begitu, kata putus asa tidak pernah ada dalam kamusnya. Dia terus mencoba walaupun tak jarang dia mendapat pengalaman tidak enak dalam menggunakan aplikasi tersebut. Ia pernah ditawari Rp500 ribu untuk tidur bareng sampai tangannya ditarik paksa untuk disentuhkan ke kemaluan si laki-laki dalam kegelapan bioskop.

Saya sendiri mencoba aplikasi ini karena alasan klise: putus dengan pacar. Ternyata, seperti yang saya duga sebelumnya, saya bertemu dengan keanehan-keanehan berbau selangkangan.

Ada banyak hal-hal unik dan menggelitik di aplikasi ini. Bagaimana sebagian orang menempatkan seks di tempat terendah. Karena posisi saya sebagai perempuan heteroseksual, saya bertemu dengan laki-laki dan mereka inilah yang paling sering menjadikan seks sebagai komoditas tukar.

Nilai pertukarannya macam-macam, mulai dari segelas kopi sampai dijanjikan akan dinikahi. Untuk beberapa situasi seringnya mereka tidak tahu malu, tanpa basa-basi langsung ngajak hepi-hepi. Iya, beneran, seperti lagu dangdut yang sempat dipopulerkan lipsync oleh Sinta-Jojo.

Padahal kalau diperhatikan wajahnya pas-pasan ya, tapi tetap dengan tingkat percaya diri luar biasa mengajak tidur dalam sekali perkenalan. Salah satu yang cukup absurd adalah dengan “J” yang di perkenalan pertama mengatakan ingin mencari calon istri lewat Tinder tapi sering kali dikecewakan.

“Dikecewakan bagaimana?” tanya saya dengan polosnya. Baru keluarlah dengan lancar unek-unek hati si J yang mengatakan kalau perempuan-perempuan yang kerap ditemuinya hanya menginginkan tubuhnya, padahal dia punya niat serius.

Saya menatap fisiknya dari atas ke bawah bolak-balik, dan mohon maaf, merasa dia bukan magnet seks.

“Padahal saya niatnya mau cari istri tapi mereka hanya mengejar uang, saya kecewa,” tambah si J beradegan mirip sinetron. Kami bertemu di kafe yang tidak mahal karena katanya dia sedang tidak punya banyak uang. Uang proyeknya belum cair, katanya begitu. Entah kenapa saya setuju. Mungkin antara iseng, ingin tahu atau sekadar menguji tingkat kewarasan yang semakin hari kian menipis, saya ikuti saja permainannya. Di awal dia sangat sweet bahkan “kemanisan” sikapnya tidak berhenti. Dia mau mengantarkan saya mencetak dokumen kebutuhan kerja di Bendungan Hilir, padahal waktu itu kami sedang berada di Jl. Sabang, yang sekitar 6 kilometer jauhnya.

Tapi seperti yang bisa ditebak, cerita ini bergulir menjadi aneh saat di perjalanan mau mengantar saya dia membuat satu pengakuan kalau dia hiperseksual. Singkat cerita dia menunjukkan kemaluannya ke saya.

Tenang, tidak terjadi apa-apa. Saya juga tidak trauma karena hal-hal yang lebih aneh dan di luar ambang waras sudah pernah saya alami. Kelakuan J kian meneguhkan seberapa nekat orang bisa melakukan sesuatu demi pemuasan syahwatnya yang ternyata tidak lebih besar dari jempolnya, oops!

Selain J, keanehan laki-laki Tinder lainnya saya temui pada si B. Awalnya (ya semua selalu punya awalan) dia terlihat seperti laki-laki Batak yang baik. Sampai-sampai saya merasa jangan-jangan dia yang akan membukakan pintu tobat dan membawa saya kembali rajin ke gereja. Kami makan masakan babi andalan di kawasan Tebet, baru dilanjutkan dengan menonton film di Kalibata.

“Oh, oke juga, ini, cowok,” pikir saya. Bukan karena ajakan makan babi, tapi karena dia tidak menyinggung persanggamaan sama sekali. Saya cukup luluh, walaupun sebenarnya dia bukan tipe saya. Si B ini kurang tinggi dan rahang wajahnya keras—tipikal Batak pada umumnya. Walaupun saya Batak, laki-laki Batak bukanlah pilihan pertama, kedua dan ketiga saya dalam urusan asmara. Tapi untuk yang satu ini kriteria tersebut saya abaikan karena dia “baik”.

Kelemahan perempuan memang, gampang terenyuh dengan kebaikan. Perempuan lebih gampang terbuai dengan perlakuan manis walaupun tampang si laki-laki mirip buto ijo. Malam itu berlangsung seperti di kitab suci, seperti pertemuan Yakub dan Rahel di alkitab.

Dan jeng..jeng…jeng…di minggu kedua, barulah terlihat kelakuan si buto ijo sesungguhnya, ketika dia minta pijat, seolah saya GoMassage! Betul-betul kelakuannya seperti makanan yang kami santap kemarin!

Ada apa sebenarnya dengan para laki-laki di Tinder? Apa dengan segelas kopi ataupun traktiran penyet kalian bisa mendapatkan seks gratis? Pakai akal, nalar dan bermainlah cantik. Bangun chemistry, bukan tipu daya. Toh, seks lebih nikmat bila dilakukan dengan foreplay, kan?

Kalau cuma perkentaan yang kalian cari, untuk memangkas drama yang akan dibikin teman perempuan Tinder-mu akibat kelakuan hewanimu, saya sarankan untuk mencari layanan seks komersail. Bahkan kamu bisa mendapatkan oral yang kamu damba tanpa mengemis.

Untuk perempuan sendiri, jika ingin mencari laki-laki baik, mungkin situs kencan bukan media yang terbaik. Tapi, kalau saya bilang begitu, nyatanya ada saja orang yang bertemu jodohnya lewat Tinder. Bahkan mantan teman kantor saya juga bertemu suaminya di Tinder. Lantas, apa yang salah?

Tidak ada yang salah, manusia boleh berusaha tapi kerap kali ada manusia lain yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Cerdas saja dalam meng-swipe kanan dan kiri. Kalau kira-kira “bajingan” ya tidak usah diladeni, kecuali kalau yang engkau cari memang “bajingan”. Tentu ceritanya bisa jadi berbeda. So, sudah ada berapa match hari ini?



#waveforequality


Avatar
About Author

Ester Pandiangan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *