Apakah Met Gala Masih Layak Dirayakan Saat Dunia Terbakar?
Met Gala 2025, sesuai tradisi, dijadwalkan berlangsung pada hari Senin pertama di bulan Mei mendatang. Tema tahun ini Superfine: Tailoring Black Style, sebuah perayaan warisan budaya dan estetika komunitas kulit hitam dalam sejarah fashion.
Co-chair yang diumumkan tahun ini—Colman Domingo, Lewis Hamilton, A$AP Rocky, dan Pharrell Williams—menjadi simbol prestise dan pengaruh dari individu-individu kulit hitam di bidang mode, musik, film, dan budaya populer. Namun di tengah krisis kemanusiaan yang belum mereda di Gaza, pertanyaan besar muncul: Apakah dunia benar-benar butuh karpet merah saat ribuan orang hidup dalam puing-puing dan blokade?
Kita hidup di momen yang penuh ironi. Ketika rumah-rumah di Palestina dihancurkan, rumah mode di New York, London, Milan, dan Paris bersiap memamerkan desain haute couture terbaru mereka. Ketika anak-anak kelaparan di Rafah, para selebritas akan tampil dengan rambut yang ditata sempurna dan gaun hasil kolaborasi dengan desainer eksklusif.
Kontras ini bukan hanya tentang ketimpangan ekonomi, tapi tentang jarak moral yang semakin menganga antara budaya selebritas dan kenyataan dunia.
Baca juga: Ironi Met Gala 2021: Ada Tunawisma yang Dipaksa Pergi demi Citra
Met Gala yang disebut sebagai “fashion’s biggest night”, selalu menjadi ajang pamer kemewahan, kekuasaan simbolik, dan estetika tanpa batas. Tapi di tahun 2025, di tengah genosida yang berlangsung di Gaza, di mana lebih dari 30.000 warga sipil telah terbunuh dan jutaan lainnya hidup tanpa akses pada kebutuhan dasar, kemewahan ini mulai terasa tidak hanya tidak sensitif, tapi secara etis dipertanyakan.
Kemenangan film dokumenter Palestina No Other Land di Oscar 2025 lalu seharusnya menjadi titik balik. Film ini dibuat oleh warga Palestina dan jurnalis Israel, mendokumentasikan penghancuran wilayah Masafer Yatta.
Perayaan yang Tak Sejalan Beban Sejarah
Salah satu co-directornya, Hamdan Ballal, diculik dan disiksa oleh tentara IDF hanya beberapa minggu setelah ia berdiri di panggung Oscar menerima penghargaan tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa bahkan pengakuan tertinggi dari Hollywood tidak bisa menjamin keamanan para pembuat narasi dari kekerasan struktural. Dunia melihat, namun tetap diam.
Sementara Met Gala tetap akan digelar dengan sponsor-sponsor mewah dan liputan media besar, hanya sebagian kecil figur publik yang secara terbuka menyatakan solidaritasnya pada Palestina.
Padahal sejarah menunjukkan bahwa perjuangan pembebasan rakyat Palestina telah lama beririsan dengan gerakan kulit hitam global. Angela Davis, salah satu ikon aktivisme kulit hitam, mengatakan dalam sebuah wawancara tahun 2015:
“Palestine is the moral litmus test for the world.” (Democracy Now!, 2015)
Dalam konteks itu, tema Superfine: Tailoring Black Style bukan sekadar soal perayaan estetika: Ia membawa beban sejarah, perjuangan, dan solidaritas yang panjang. Jika para tokoh publik kulit hitam yang tampil dalam Met Gala tahun ini diam, itu bukan hanya kehilangan momentum, tapi juga mengkhianati koneksi historis yang telah dibangun selama puluhan tahun antara gerakan Black Liberation dan solidaritas terhadap Palestina.
Baca juga: ‘No Other Land’ Menang Oscars, Apa Artinya?
Solidaritas ini tidak hanya simbolis. Dalam protes Ferguson tahun 2014, aktivis Palestina mengirimkan tips ke aktivis kulit hitam tentang bagaimana menghadapi gas air mata. Dalam gerakan Black Lives Matter, pernyataan resmi mendukung kebebasan Palestina diterbitkan secara eksplisit. Salah satu pernyataan menyebut:
“We stand in solidarity with the Palestinian people, who are fighting against the oppressive Israeli regime.” (Black Lives Matter, 2016 Platform)
Namun kini, ketika mereka yang memiliki kekuasaan simbolik di dunia hiburan diam, rasanya ada sesuatu yang hilang. Budaya selebritas mulai menunjukkan wajah sebenarnya: Glamor yang dikemas untuk eskapisme, tanpa komitmen etis pada dunia yang mereka tinggali.
Pertanyaannya kini bukan hanya: “Siapa yang akan mengenakan busana terbaik?”, melainkan: Apakah pesta ini masih layak untuk dilangsungkan ketika dunia sedang terbakar? Apakah budaya selebritas yang diam tetap pantas dirayakan?
















