December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Bayang-bayang (Bisnis) Militer di Dapur MBG Kita

Program MBG lebih banyak melibatkan militer dalam operasionalnya ketimbang pemerintahan daerah. Ini menandakan wacana supremasi sipil dan kembalinya militer ke barak masih jauh dari harapan.

  • November 3, 2025
  • 4 min read
  • 756 Views
Bayang-bayang (Bisnis) Militer di Dapur MBG Kita

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menargetkan 82 juta penerima manfaat hingga kini masih jadi program mercusuar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Namun, di balik narasi kebijakan gizi, MBG dalam perspektif politik dan kebijakan publik mencerminkan pergeseran tata kelola pemerintahan Indonesia.

Di lapangan, program MBG menandai pola kepemimpinan komando yang amat menekankan kontrol pusat. Peran daerah kalah oleh militer. Alhasil program ini carut-marut karena minim inovasi dan kolaborasi aktor lokal. Model ini tidak selaras dengan semangat desentralisasi yang mengedepankan kemandirian pemerintah daerah dan kolaborasi antarlembaga publik.

Ditambah dengan keterlibatan militer dalam program ini, makin menunjukkan dominasi pemerintah pusat. Ini justru menunjukkan melalui program populis seperti MBG, pemerintah bermaksud memperkuat kontrol dan komando pusat di daerah.

Baca Juga: Mitos dan Kinerja Pemerintah yang Belum Maksimal Hambat Pelaksanaan Program KB

Resentralisasi Kekuasaan

Pasca-Reformasi, desentralisasi digadang sebagai tonggak revolusi demokratisasi birokrasi Indonesia. Pemerintah daerah memiliki kewenangan luas untuk mengelola urusan publik sesuai kebutuhan dan kapasitas wilayahnya.

Namun dalam praktik MBG, arah itu tampak mulai berbalik sebagai resentralisasi kekuasaan. Lewat Badan Gizi Nasional (BGN), pemerintah pusat berkendali penuh terhadap desain, pendanaan, dan pengawasan program.

Pemerintah daerah seharusnya diberi ruang untuk mendominasi implementasi program MBG.
Tumpukan nampan makanan gratis untuk anak-anak sekolah, bagian dari program Makan Bergizi Gratis di Cilacap. Vedercy/Shutterstock

Sementara pemerintah daerah bak seorang figuran semata di segala aspek mulai dari tahap perencanaan, penentuan lokasi dapur gizi, vendor makanan, hingga pengawasan distribusi logistik di lapangan.

Daerah seolah kehilangan posisi sebagai pengambil keputusan sekaligus terbebas dari beban pertanggungjawaban publik.

Model tata kelola seperti ini pada akhirnya memunculkan logika baru bahwa efektivitas tidak lagi diukur melalui partisipasi, melainkan melalui kepatuhan pada struktur komando.

Implementasi kebijakan terpusat ini membuat daerah kesulitan menyesuaikan realisasi program dengan konteks lokal, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan bahan pangan, maupun kapasitas sumber daya manusia.

Dalam logika kebijakan publik, ini menciptakan efek paradoks: Negara hadir, tapi daerah tidak benar-benar berperan.

Fenomena ini berdampak pada akuntabilitas. Pemerintah pusat bisa bersembunyi di balik pemerintah daerah jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Hal inilah yang terjadi ketika persoalan terjadi di lapangan, mulai dari keterlambatan distribusi hingga kasus keracunan, otoritas pemerintah daerahlah yang jadi kambing hitam.

Baca Juga: Nyawa Anak Kami Tak Semurah Janji Program MBG 

Dominasi Militer

Keterlibatan militer dalam eksekusi MBG makin menegaskan pola kontrol vertikal (terpusat).

Ada beberapa indikasi yang memperlihatkan keterlibatan militer dalam implementasi MBG. Pertama, TNI ternyata mengelola lebih dari 452 SPPG per September 2025. Jumlah tersebut berporsi 22,6 persen dari target jumlah SPPG yang akan dikelola TNI. SPPG yang dikelola TNI tersebut diakui berada di satuan setara batalyon, Komando Distrik Militer, Komando Resor Militer, Pangkalan Udara, Pangkalan Angkatan Laut, dan Resimen Induk Daerah Militer.

Legalitas keterlibatan TNI dalam MBG ini didasari oleh nota kesepahaman antara BGN dan TNI. Menurut panglima, keterlibatan militer merupakan wujud tanggung jawab moral dan pengabdian TNI kepada rakyat.

Kedua, Program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) berada di bawah Kementerian Pertahanan. Program SPPI ini bertujuan untuk mencetak penggerak-penggerak dapur umum MBG.

Rekrutmen calon SPPI dilakukan oleh Universitas Pertahanan (Unhan). Lulusan D4/S1/S2 dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang mendaftar dalam program ini dan dinyatakan lolos seleksi, wajib mengikuti pendidikan dasar dan latihan militer (Diksarmil) selama 3-4 bulan di Akademi Militer atau Rindam.

Per Juni 2025, tercatat ada sekitar 30 ribu SPPI yang mengikuti Diksarmil. Alasannya karena mereka merupakan calon kepala dapur yang akan mengelola dana sekitar Rp10 miliar untuk satu dapur, sehingga perlu dididik integritasnya, cinta tanah air, mental, dan keberanian memimpinnya.

Kedua indikasi tersebut menunjukkan bahwa militer terlibat dalam implementasi kebijakan sipil. Bahkan secara terbuka, militer melihat dirinya sebagai entitas yang berada di tengah masyarakat dan melakukan berbagai peran di ranah sipil.

Penyelenggaraan MBG minim melibatkan peran otoritas daerah.
Wadah makan Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Magelang, Jawa Tengah. Ipung Rahmawan Pramudya/Shutterstock

Jika kita bercermin pada proses pelaksanaan program MBG saja, wacana supremasi sipil dan kembalinya militer ke barak yang menjadi bagian dari tuntutan publik tampaknya masih jauh dari berhasil.

Baca Juga: Cek Fakta: Program Makan Siang dan Susu Gratis Ada di 76 Negara, Betulkah?

Pola Pemerintahan Komando

Fakta-fakta dalam implementasi MBG yang masih berusia kurang dari satu tahun ini seolah menyingkap arah baru politik Indonesia dari desentralisasi menuju resentralisasi atau terpusat kembali dengan “pola pemerintahan komando” yang membungkus kontrol dengan nama kesejahteraan.

Meski demikian, tetap ada ruang perbaikan dalam program ini. Memperbesar partisipasi daerah dan memberi batas waktu pada keterlibatan militer dalam program MBG sangat penting bagi agenda desentralisasi dan supremasi sipil.

Mirah Mahaswari, PhD candidate & Teaching Fellow, Monash University, Monash University dan Kadek Dwita Apriani, Dosen, Universitas Udayana.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

About Author

Mirah Mahaswari dan Kadek Dwita Apriani