Ms. Marvel: Petualangan Superhero Baru MCU dari Pakistan
Kamala Khan—superhero muslim pertama di MCU—akhirnya dihidupkan dalam format serial 6 episode. Apa saja yang seru dari petualangannya?
(artikel ini mengandung sedikit spoiler)
Ada beberapa faktor yang membuat Ms. Marvel agak lebih kedengaran dibandingkan dengan serial Marvel Cinematic Universe (MCU) seperti Hawkeye misalnya.
Satu, ini adalah kemunculan perdana si superhero. Dua, ini mungkin pertama kalinya kita melihat seorang superhero dalam tubuh seorang gadis remaja. Tiga, kebetulan si gadis tersebut adalah seorang gadis dari keluarga imigran Pakistan. Semua informasi ini menjadikan Ms. Marvel sasaran empuk bagi para troll (yang membombardir IMDB dengan rating satu bintang).
Namun, terlepas dari itu semua, Ms. Marvel ternyata mentereng karena ia menawarkan sesuatu yang berbeda. Meskipun ia baru, tapi ia hadir langsung dengan kepercayaan diri yang tinggi, dengan cepat ia memiliki hal-hal yang tidak bisa Anda temukan dalam WandaVision, The Falcon and the Winter Soldier, Moon Knight atau bahkan Loki. Dalam Ms. Marvel, kita diajak untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi gadis remaja.
Baca juga: ‘Hacks’: Komedi Kualitas Premium
Rumus Lama: Superhero dari Kalangan Remaja ‘Biasa’
Kamala Khan (Iman Vellani) adalah gadis yang normal. Tidak ada yang revolusioner tentang dirinya. Seperti gadis remaja kebanyakan, dia naksir cowok lain dan punya sahabat dekat di sekelilingnya. Yang agak sedikit aneh mungkin adalah semangat Kamala untuk belajar dan keakrabannya dengan anggota keluarganya. Mungkin dia masuk kategori unik karena Kamala punya imajinasi di atas rata-rata, tapi selebihnya, Kamala adalah gadis remaja biasa—yang bisa iri ketika teman sekolahnya yang seorang influencer bisa dapat banyak follower.
Salah satu sahabat terdekat Kamala adalah Bruno (Matt Lintz), seorang remaja yang sefrekuensi dengan Kamala, terobsesi dengan para superhero. Ketika mereka berbicara seolah-olah mereka mempunyai bahasa rahasia dan tenggelam dengan dunia mereka sendiri. Saat ini, mereka punya misi untuk datang ke convention superhero pertama dan memenangkan perlombaan kostum terbaik. Kamala sendiri ngefans banget dengan Captain Marvel (Brie Larson).
Masalahnya, ibu Kamala, Muneeba Khan (Zenobia Shroff) tidak mengizinkan putrinya pergi ke tempat orang-orang “nerdy” berkumpul dan membicarakan fantasi mereka. Ia punya trauma sendiri dengan orang-orang yang suka berkhayal dan membicarakan hal-hal di luar nalar.
Ketika Kamala pikir hidupnya akan hancur karena larangan itu, Muneeba sedang menyembunyikan bingkisan berisi heirloom dari Pakistan. Ia tak ingin Kamala melihat gelang bersejarah di keluarga mereka, yang bikin hubungannya dengan sang ibu—nenek Kamala—renggang.
Namun, karena dasarnya Kamala adalah remaja biasa—yang sikap rebel-nya sedang meledak-ledak—ia akhirnya berhasil sembunyi-sembunyi pergi ke convention tersebut, lengkap sambil memakai gelang warisan turun-temurun di keluarganya.
Ketika semua orang mengira gelang itu adalah bagian dari kostum Captain Marvel-nya, Kamala sebenarnya telah berubah menjadi superhero baru. Dan ini hanya permulaan.
Baca juga: Vecna: Simbol Depresi, Kebencian, dan Musuh Besar ‘Stranger Things 4 Vol.1’
Visualisasi Ala Remaja dalam Serial Ms. Marvel
Dari episode pertama saja, Ms. Marvel sudah mencolok mata berkat visualnya yang asyik. Episode pertama yang disutradarai oleh Adil & Bilall (yang juga menyutradarai episode enam) menghadirkan visual warna-warni.
Tidak hanya gambar yang mencolok mata, gerakan kameranya pun juga liar. Meskipun kameranya tidak seheboh, katakanlah Euphoria, tapi apa yang dihadirkan oleh Adil & Bilall di episode pertama cukup membuat pengalaman menonton Ms. Marvel agak sedikit berbeda. Terutama jika Anda membandingkan Ms. Marvel dengan color palette film-film MCU yang sering mendapatkan kritikan atas kemonotonannya.
Gerakan kamera yang akrobatik dalam Ms. Marvel bukan sekadar gimmick. Fungsinya lumayan penting untuk membuat penonton berada dalam kepala Kamala. Dari kemunculan beberapa animasi sampai teks yang muncul di layar ketika Kamala sedang berkomunikasi dengan para bestie-nya, visual dalam Ms. Marvel secara efektif berhasil mengundang saya untuk masuk ke dalam dunia Kamala. Tambahkan dengan editing yang dinamis dan kemunculan lagu-lagu masa kini yang populer dari The Weeknd, The Linda Lindas, Saint Motel, dan MIA, maka jadilah dunia Ms. Marvel yang kekinian.
Baca juga: ‘Stranger Things 4 Vol. 1’: Eksplorasi ‘Satanic Panic’ dan Trauma Amerika 80-an
Karakter Tiga Dimensional yang Relatable
Secara plot, bagian terasyik dari Ms. Marvel adalah ketika dia memperlihatkan semua hal yang berhubungan dengan hidup Kamala sebagai gadis remaja. Melihat bagaimana Kamala berinteraksi dengan teman-temannya, bagaimana cara dia berkomunikasi dengan penjual yang ia temui setiap hari, bagaimana cara ia berdebat dengan ibu, ayah dan kakaknya, atau bagaimana cara dia ngeles ketika ditegur gurunya. Semua itu bikin Ms. Marvel terasa segar. Karakternya terasa tiga dimensional dan real.
Keputusan Marvel untuk memperkenalkan Ms. Marvel dalam bentuk serial patut diapresiasi karena mereka tidak bisa melakukan hal yang sama dalam bentuk film.
Tidak hanya itu, Ms. Marvel juga berhasil memperlihatkan komunitas Muslim di New Jersey berinteraksi. Tidak bisa dimungkiri kalau visual Kamala dan Nakia (Yasmeen Fletcher) salat berjamaah di mesjid jadi tontonan berbeda dari produksi MCU lainnya. Selain itu, sedikit sub-plot soal politik di dalam masjid juga lumayan membuat komunitas ini menjadi lebih dari sekadar aksesori. Plot Nakia yang mencalonkan diri menjadi ketua organisasi masjid terlihat sangat inspiring karena motivasinya dibuat tulus dan murni.
Kita juga tidak bisa membahas Ms. Marvel tanpa membahas keputusan pembuatnya untuk menyentil isu generational trauma buat keluarga imigran. Bagian ibu Kamala yang menolak berhubungan dengan apa pun yang terkait ibunya sendiri ternyata bukan sekadar bumbu. Ms. Marvel ternyata secara radikal memberikan porsi yang lumayan besar soal ini sampai-sampai ia mendedikasikan satu episode sendiri mengupas dalam trauma tersebut.
Disutradarai oleh sineas yang biasa mengerjakan dokumenter, Sharmeen Obaid-Chinoy, dan ditulis oleh Fatimah Asghar, episode kelima Ms. Marvel yang bertajuk “Time and Again” mengundang penonton untuk kembali ke Pakistan dan membahas soal partisi tahun 1947.
Episode ini tidak hanya mengisi banyak pertanyaan soal nenek Kamala, ibunya, dan Kamala sendiri, tapi juga secara tidak langsung membahas trauma yang dialami begitu banyak orang Pakistan. Diakhiri dengan tiga perempuan yang akhirnya paham soal satu sama lain setelah bertahun-tahun hidup dalam kepedihan, episode lima Ms. Marvel bisa jadi adalah episode paling emosional sepanjang musim.
Meskipun diwarnai dengan internal dan external struggle yang berwarna-warni, pada akhirnya Ms. Marvel adalah produk MCU. Usaha Bisha K. Ali untuk membuat kisah ini berbeda memang patut diacungi jempol. Namun pada akhirnya, Ms. Marvel adalah salah satu komponen dalam mesin MCU, yang artinya berfungsi untuk melanjutkan baton cerita ke produk MCU berikutnya.
Bagian paling lemah dalam Ms. Marvel sebenarnya adalah ketika ia harus menjelaskan tentang keberadaan superhero lain dan cara ia menutup kisahnya agar penonton cukup penasaran untuk melihat sepak terjang Kamala di The Marvels—tempat ia akan bertemu dengan idolanya, Captain Marvel.
Ms. Marvel dapat disaksikan di Disney+ Hotstar