Representasi LGBTQIA di Film ‘Superhero’
Keberagaman seksualitas penting untuk terus didorong dalam film ‘superhero’. Alasannya, genre ini familier dengan anak-anak hingga dewasa.
Sebagai penggemar berat Marvel Cinematic Universe (MCU), rilisnya film superhero Marvel, Eternals adalah momen yang dinanti-nanti. Disutradarai sineas perempuan Chloé Zhao pemenang Oscar 2021, Eternals menawarkan keberagaman yang tidak pernah kita lihat sebelumnya dalam film-film genre serupa. Mulai dari munculnya superhero super tuli, Asia Selatan, hingga superhero gay kulit hitam pertamanya, Eternals mengukuhkan diri sebagai tonggak sejarah baru.
Masalahnya, walau banyak fans Marvel senang dengan usaha Marvel untuk menjadi lebih inklusif, nyatanya tidak sedikit orang-orang “kepanasan” karenanya. Dilansir dari Movieweb, para “pengunjuk rasa” anti-LGBTQIA melakukan review-bombing (istilah yang digunakan untuk ratusan ulasan negatif) film tersebut di IMDb. Menurut The Direct, sekitar 450 ulasan bintang satu diunggah ke halaman IMDb Eternals, meskipun faktanya film tersebut bahkan belum dirilis.
Melihat itu, salah satu pemain Eternals Kumail Nanjiani pada (28/10) merespons di Twitter pribadinya.
” Looks like we’re upsetting the right people.”
Tidak hanya Eternals, masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu juga sempat digemparkan dengan orientasi seksual karakter superhero DC, Superman. Dalam sejarah penting buku komik, Jonathan Kent, putra Clark Kent, alias Superman muncul sebagai remaja biseksual. Jon Kent, yang saat ini dikenal sebagai “Superman of Earth” akan keluar dalam edisi 9 November dari “Superman: Son of Kal-El #5” ketika ia memulai hubungan romantis dengan reporter Jay Nakamura.
Orientasi seksual Jon Kent ini lantas membuat Indonesia gonjang-ganjing. Setelah diumumkannya orientasi seksual dari Jon Kent, beberapa pejabat pemerintahan langsung buka suara atas kekhawatiran mereka. Anggota Komisi VIII DPR Achmad Fadil Muzakki Syah alias Gus Lora dalam wawancaranya bersama CNN Indonesia menyebutkan, representasi orientasi seksual di komik DC satu ini berbahaya bagi anak-anak karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia dan berbau konten pornografi.
Baca Juga: ‘Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings’ Runtuhkan Stereotip Perempuan Asia
Senada dengan Gus Lora, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI), Nahar dalam keterangan tertulis juga mengungkapkan, orientasi seksual yang berusaha ditampilkan dalam komik DC dikhawatirkan bisa ditiru oleh anak-anak.
Inklusivitas dalam Genre Superhero
Representasi keberagaman sudah lama menjadi isu serius dalam genre superhero. Dalam penelitian Reproducing Inequality and Representing Diversity: The Politics of Gender in Superhero Comics (2020), Carolyn Cocca profesor dari State University of New York menyatakan, selama kurang lebih 75 tahun sejak pertama kalinya karakter prototipe superhero, yaitu Superman muncul di 1938, kisah-kisah superhero telah mendominasi budaya populer Amerika yang kemudian meluas ke seluruh dunia.
Kendati genre ini populer yang juga dikarenakan pada 1940-an komik superhero sengaja dijual di kios koran untuk menarik banyak orang, genre ini tidak luput dari problematikanya. Menurut Cocca, problem ini hadir karena memang mayoritas penulisnya adalah laki-laki kulit putih non-queer dan bukan dari kelompok marjinal apapun. Karakter-karakter yang mereka tulis semuanya berkulit putih, kelas menengah atas, berbadan sehat, menarik menurut standar Anglo-Eropa, dan tentunya heteroseksual.
Baru pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, komunitas LGBTQIA secara perlahan mulai terwakili dalam genre ini. Dilansir dari Screenrush, komik Marvel menampilkan setidaknya 25 karakter yang telah terungkap secara terbuka sebagai lesbian, gay, biseksual, atau non-binary, sementara DC Comics memiliki setidaknya 12 superhero dan penjahat LGBTQIA.
Namun, sangat disayangkan film superhero nampaknya masih memiliki PR besar dalam menempatkan cerita dan karakter LGBTQIA di garis depan tanpa memperlakukan mereka sebagai sebuah lelucon atau stereotip negatif. Hal ini misalnya bisa dilihat pada film Deadpool (2016) yang walaupun digadang-gadang ramah LGBTQIA (Deadpool adalah seorang panseksual dalam komik dan dikonfirmasi juga oleh sutradara, Tim Miller), representasi keberagaman ini masih dianggap sebagai bahan lelucon.
Dalam laporan Gay & Lesbian Alliance Against Defamation Studio Responsibility Index (GLAAD SRI) 2017 tertulis, satu-satunya referensi yang masuk di dalam film dimainkan untuk efek komedi dalam lelucon sekali pakai yang dimaksudkan untuk menekankan betapa keterlaluan karakternya daripada keinginan nyata apapun yang berhubungan dengan orientasi seksualnya.
Tidak hanya dijadikan lelucon belaka, karakter superhero dalam film yang di komik digambarkan sebagai bagian dari kelompok LGBTQIA banyak diantaranya mengalami straightwashed. Sebuah praktik yang menggambarkan karakter LGBTQIA sebagai heteroseksual dengan dengan mengubah informasi tentang latar belakang mereka agar sesuai dengan nilai heteronormativitas.
Dilansir dari Pride.com karakter-karakter ini antara lain adalah Mystique (X-Men), Harley Quinn (Suicide Squad), Ayo (Black Panther), Deadpool (Deadpool), Valkyrie (Thor: Ragnarok), dan Stakar (Guardians of the Galaxy, Vol. 2). Mystique misalnya dalam komik digambarkan sebagai karakter biseksual dan berhubungan dengan Destiny, perempuan yang sama-sama membesarkan seorang Rogue mutan. Namun, sayangnya sejak penayangan pertamanya di 2000, Mystique selalu digambarkan sebagai karakter yang tidak pernah tertarik dengan perempuan.
Mengapa Keberagaman Seksualitas Penting?
Mungkin sebagian dari kalian masih berpikir apa sih pentingnya keberagaman dalam film superhero? Memang film Superhero memiliki peranan “sepenting” itu ya? Kita mungkin dapat mencari jawabnya melalui artikel yang diterbitkan dalam website Francesca Moresi – Psychotherapy & Counselling in London.
Artikel ini menjelaskan bagaimana superhero dapat memiliki pengaruh yang baik pada anak-anak dan misalnya dapat mengajar anak-anak untuk mendukung dan menghargai orang lain, memungkinkan mereka untuk menemukan kekuatan unik diri mereka, dan mengembangkan moral mereka sejak dini.
Baca Juga: Captain Marvel: Another Blockbuster, Another Bunch of Misogynist Haters
Mengidentifikasi diri dengan superhero, pada kenyataannya membantu anak-anak untuk menemukan keberanian mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka juga mengajari anak-anak untuk mengakui kerentanan dan keterbatasan yang membuat mereka unik. Pesannya, menjadi berbeda adalah sebuah nilai tambah dan menjadi berbeda bukanlah suatu hal yang salah.
Anak-anak tidak dilahirkan dengan prasangka, tapi pada masa kanak-kanak, mereka memperoleh stereotip atau sikap negatif terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai “orang lain.” Sebuah artikel di The Buffalo News melaporkan, sekitar 85 persen otak berkembang antara usia 3 dan 5 tahun, dan kesan serta ide yang terbentuk antara usia 2 dan 4 tahun bertahan lama.
Dr. Susan Linn dikutip dalam laman Anti-Defamation League menambahkan, yang paling penting dalam pengalaman awal anak-anak dalam memaknai persamaan dan perbedaan adalah dengan mengisi hidup mereka dengan sebanyak mungkin pengalaman positif mengenai keragaman
Dalam hal ini, film superhero yang inklusif pun memainkan peran penting dalam mengajarkan anak-anak mengenai keberagaman. Ini termasuk warna kulit, gender, seksualitas, perbedaan etnis, berbagai struktur keluarga, disabilitas, dan bentuk perbedaan lainnya.
Jacob Sarkisian, seorang gay yang menulis artikel Business Insider Australia menekankan, bagi anak-anak LGBTQIA, bahkan orang dewasa seperti dirinya, melihat superhero yang percaya diri dengan identitas queer mereka mampu memberikan sense of belongness. Mereka akhirnya mendapatkan karakter yang bisa dijadikan role model yang memiliki kesamaan pengalaman. Kelompok LGBTQIA akan mendapati diri mereka direpresentasikan dengan baik oleh karakter yang mereka tonton dan hal ini membuka membantu anak-anak non-queer memandang orang-orang LGBTQIA dengan cara yang jauh lebih positif dan memberdayakan.
Baca Juga: Ini Alasan Kenapa Kamu Harus Nonton ‘The Old Guard’
Pada akhirnya memaparkan penggambaran keberagaman seksualitas dan realistis komunitas LGBTQIA, anak-anak dapat mulai membangun toleransi dan melihat LGBTQIA sebagai manusia sejak dini dan bukan stereotip negatif yang kerap melekat pada mereka. Selain itu, bagi mereka yang mempertanyakan identitas mereka, representasi positif akan membantu mereka dalam mengembangkan identitas mereka sendiri. Akibatnya, kelompok LGBTQIA akan menghadapi lebih sedikit diskriminasi karena semakin banyak konten yang dibuat dengan representasi positif dari diri mereka.