Lifestyle

Mulan, Saya, dan Patriarki yang Sosiopat

Mulan mungkin karakter fiksi, tapi patriarki yang dihadapinya dialami oleh banyak perempuan di dunia nyata, sepanjang sejarah.

Avatar
  • November 2, 2020
  • 9 min read
  • 485 Views
Mulan, Saya, dan Patriarki yang Sosiopat

Baru-baru ini saya berkesempatan menonton pembuatan ulang film animasi tahun 1998 yang diangkat dari legenda Tionghoa Hua Mulan, menjadi film live-action Disney Mulan (2020).

Saya merasa terhubung dengan banyak aspek karakter Mulan: Perilakunya yang tomboi sewaktu ia masih kanak-kanak, kecenderungannya menentang apa yang dianggap perilaku perempuan yang pantas pada jamannya, serta cinta dan kesetiaannya kepada keluarga dan negara. Saya memang tidak pernah melompat dari atap ke atap mengejar ayam seperti yang dilakukan Mulan di adegan pembuka film, tapi waktu saya kecil, saya gemar memanjat pohon dan tak segan mengajak berkelahi anak laki-laki yang membuat saya kesal.

 

 

Mulan adalah seorang prajurit dari dinasti utara dan selatan Cina abad ke-6. Ketika Hua Zhou, ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, harus menjalani wajib militer, Mulan diam-diam menggantikannya, menyamar sebagai seorang laki-laki, dan menggunakan nama Hua Jun.

Mulan menyelinap pergi dengan pedang, baju besi, dan kuda ayahnya, pergi ke sebuah kamp pelatihan yang dipimpin Komandan Tung. Para prajurit sedang berlatih untuk melawan kelompok pemberontak Rouran yang ketika itu menyerang.

Dalam salah satu pertarungan pertama, kelompok Rouran menyerang pasukan Mulan menggunakan trebuchet (proyektil raksasa). Mulan mengalihkan perhatian mereka dan menyerang dari atas bukit. Kelompok Rouran mengubah penyerangan trebuchet mereka ke  arah Mulan. Namun akibatnya, salju di bukit longsor dan menimbun mereka. Seorang diri, Mulan mampu menyelamatkan batalionnya.

Saat turun bukit untuk bergabung kembali dengan sesama teman prajuritnya, dia mengungkapkan identitas sebenarnya sebagai perempuan dan memohon maaf atas penyamarannya. Alih-alih mengungkapkan rasa terima kasih kepada Mulan yang telah menyelamatkan anak buahnya, Komandan Tung berkata dengan marah, “Anda adalah penipu. Anda telah mengkhianati resimen. Anda telah membawa aib bagi keluarga Hua. Penipuanmu membuatku sangat malu.”

Apa?? Tung akan menganggapnya sebagai tindakan heroik jika itu dilakukan oleh Hua Jun, seorang “lelaki”. Tetapi tindakan yang sama oleh Hua Mulan, seorang perempuan, tiba-tiba berubah menjadi pengkhianatan, keaiban dan kehinaan?

Standar ganda ini jelas tidak masuk akal, merendahkan, melecehkan dan menindas. Sedihnya, bahkan tragisnya, hal ini merupakan norma di dunia patriarki.

Baca juga: Mengapa Pria Begitu Sulit Minta Maaf?

Pengkhianatan terhadap perempuan

Menyaksikan adegan dalam Mulan membuka luka yang amat dalam di dalam diri saya karena ketidakadilan yang juga dialami diri saya sendiri, serta begitu banyak perempuan dan anak gadis lain di dunia dan bahkan sepanjang sejarah.

Saya mengalami diskriminasi seumur hidup dari ibu saya yang secara terang-terangan lebih menyayangi adik laki-laki saya, sejak dia lahir enam tahun sesudah saya. Enam puluh tahun kemudian, hal ini tidak berubah. Untungnya, semakin saya tua, semakin mudah menerima tindakan pilih kasih Ibu serta perundungan yang tidak jelas alasannya dari adik laki-laki saya, yang dimungkinkan oleh rasa “berhak” yang didapatkan dari pilih kasih ibu kami. Di pihak saya, bagaimanapun juga, saya memiliki begitu banyak berkah dalam hidup yang harus disyukuri, jadi ibu dan adik laki-laki saya menjadi tempat saya melatih diri mempraktikkan cinta tak bersyarat. Terutama mengingat usianya yang sudah lanjut—88 tahun—dan menyadari bahwa dia tidak akan hidup selamanya, saya berusaha mencurahkan kasih sayang dan perhatian sebanyak mungkin kepada ibu saya.

Saya mengunjunginya secara teratur, menikmati melewatkan waktu bersamanya, yang membuat saya merasa bahwa semuanya akhirnya jauh lebih baik di antara kami. Tapi kemudian, tiba-tiba, awal Agustus, adik laki-laki saya pindah ke Bandung, kota asal keluarga kami, dan membawa ibu kami bersamanya tanpa membahasnya dulu dengan saya. Hal ini dia lakukan dengan persetujuan ibu saya. Entah bagaimana, ibu saya merasa tidak perlu merundingkan dulu kepindahannya itu dengan saya. Luar biasa.  

Singkatnya, mereka melakukan fait accompli terhadap saya dan mau tidak mau, saya harus terima. Ini merupakan pengkhianatan puncak, dan puncak pelecehan emosional yang saya alami seumur hidup. Saya segera paham, tidak ada satu pun yang dapat saya lakukan yang akan membuat ibu saya menghentikan perilaku diskriminatifnya itu. Sikapnya itu sudah mendarah daging, berakar dalam DNA, jiwa dan sanubarinya.  

Baca juga: Kembangkan Kecerdasan Spiritual Lewat Sadar Jiwa, Tak Hanya Sadar Tubuh

Namun kemudian saya teringat banyak perempuan lainnya, yang telah dikhianati dengan cara yang jauh lebih parah daripada yang saya hadapi. Contohnya, Joan of Arc; Mary Magdalene; banyak perempuan dalam bidang sains (biologi, fisika nuklir, astronomi, kedokteran, dll.), seni, sastra, dan musik; perempuan yang menunjang atau membantu karya penciptaan suami mereka atau bahkan menjadi ghost writer (penulis anonim) mereka; berbagai perempuan ulama dan tokoh dalam Islam; dan banyak perempuan yang memainkan peran penting dalam sejarah. Mereka “dihilangkan”, dan laki-laki terdekat kepada mereka yang meraup pengakuan dan pujian. Apakah prestasi dan kepahlawanan hanya merupakan milik dan ranah laki-laki?

Mulan sebenarnya kadang-kadang disebut sebagai Joan of Arc (1412-1431) dari Tiongkok. Joan, seorang gadis petani berusia 18 tahun, memimpin Perancis meraih kemenangan atas Inggris. Namun ketika dia dikecam sebagai bidah dan penyihir, dan akhirnya dibakar hidup-hidup oleh Inggris yang menangkapnya, raja Perancis yang nyawanya telah Joan selamatkan tidak berusaha untuk menegosiasikan pembebasannya. Raja tersebut tidak ingin mempertaruhkan reputasinya dikaitkan dengan “penyihir”. Namun akhirnya, pada 1920 Paus Benediktus XV melakukan kanonisasi terhadap Joan. Tapi jauh sebelumnya, Joan telah mencapai status mistis, menginspirasi banyak karya seni dan sastra selama berabad-abad dan menjadi santo pelindung Prancis.

Mary Magdalene atau Maria Magdalena sering disebut sebagai “pelacur yang insaf”. Sebenarnya, ia adalah salah seorang murid Yesus yang paling bersemangat dan setia, dan mengikutinya ke mana pun Yesus pergi. Maria juga mendukungnya secara finansial karena ia adalah perempuan yang cukup mampu. Dia hadir pada penyaliban dan kematiannya, dan merupakan saksi pertama kebangkitan Yesus yang merupakan dasar dari agama Kristen. Dia menolak untuk menikah dan memilih menjadi perempuan spiritual. Karena inikah dia disebut pelacur? Ya, itulah julukan yang diberikan kepada perempuan yang tidak mengikuti cara hidup yang lazim bagi perempuan pada jaman itu.

Banyak perempuan “dihilangkan” dari sejarah, dan laki-laki terdekat kepada mereka yang meraup pengakuan dan pujian. Apakah prestasi dan kepahlawanan hanya merupakan milik dan ranah laki-laki?

Demikian juga Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad, seorang pedagang kaya yang menghidupinya di awal kenabiannya. Khadijah juga dianggap sebagai orang pertama yang meyakinkan Nabi bahwa wahyu yang dialaminya adalah autentik dan oleh karena itu, memungkinkan kelahiran Islam.

Tanpa Maria Magdalena dan Khadijah, dua agama terbesar di dunia mungkin tidak akan lahir. Namun sekarang, baik Kristen maupun Islam sering kali dituduh sebagai seksis, misoginis, dan sumber penghasutan kekerasan terhadap perempuan. Luar biasa ironisnya.

Anak laki-laki nomor satu

Di Cina, negeri asal Mulan, secara historis perempuan tidak memiliki hak atas properti. Di Cina masa kini, secara hukum perempuan memilikinya, tetapi dalam praktiknya, hak itu jauh lebih sulit untuk diwujudkan.

Sejak 1980an, di Cina ada kebijakan satu anak yang mengakibatkan terjadinya pemilihan jenis kelamin dan aborsi paksa jika janin terdeteksi sebagai perempuan. Jika bayi perempuan sudah telanjur lahir, selalu ada opsi pembunuhan bayi perempuan, tradisi yang sudah ada selama 2000 tahun kan? Beberapa bayi perempuan dikubur hidup-hidup, dibuang ke sungai atau tempat pembuangan sampah.

Pada tahun 2018, terdapat sekitar 31 juta lebih banyak pria daripada perempuan di Cina (713 juta pria, 682 juta perempuan). Bisa dibayangkan bagaimana kesenjangan jumlah yang serius ini akan menimbulkan berbagai macam masalah, misalnya perdagangan pengantin perempuan, hanya karena tradisi anak laki-laki lebih diutamakan.

Di India, di mana anak laki-laki juga dinomorsatukan, terdapat surplus 50 juta laki-laki dalam populasi 1,35 miliar (pada tahun 2018). Ketidakseimbangan jenis kelamin yang berlebihan ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan brutal terhadap perempuan yang amat memprihatinkan, termasuk pemerkosaan keji oleh para pemuda yang frustrasi karena tidak mendapat pasangan untuk menikah.

Baru saja saya membaca bahwa Inggris mengirimkan tim yang semuanya laki-laki untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB yang penting tahun depan. Dengan demikian, negara itu “mengabaikan norma-norma internasional dan membuat marah para aktivis dan pengamat, yang mengatakan kurangnya keseimbangan gender membahayakan kemajuan dalam masalah-masalah utama lingkungan hidup”.

Mary Robinson, mantan presiden Irlandia, yang dua kali menjadi utusan PBB untuk perubahan iklim berkata, “Perpecahan  gender di dalam masalah  iklim sangat signifikan. Adanya perempuan dalam kepemimpinan penting untuk memastikan masalah ini ditangani dengan antusias.” Memang kerusakan iklim paling parah menimpa perempuan di negara berkembang yang memiliki lebih sedikit sumber daya dan hak formal. Degradasi lingkungan juga diketahui memicu kekerasan terhadap perempuan.

Baca juga: Warisan, Kekuatan Sedekah, dan Kita

Jadi jelas, patriarki dan preferensi terhadap anak laki-laki menciptakan banyak masalah bahkan musibah. Ini juga berdampak pada laki-laki karena mereka diharapkan menyesuaikan diri dengan stereotip maskulin yang kaku—harus selalu kuat, dominan, kompetitif, dan memegang kendali. Hal ini menciptakan tekanan dan stres bagi mereka, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dan bahkan kematian dini.

Donald Trump merupakan personifikasi jenis patriarki di seluruh dunia yang kini telah mencapai tingkat sosiopat di hampir semua bidang kehidupan.

Konsolidasi kekuatan

Sehubungan dengan keputusan adik dan ibu saya untuk pindah ke Bandung, secara intelektual dan spiritual saya menerimanya sepenuhnya. Jadi saya terkejut ketika saya jatuh sakit: Kadar kolesterol saya melonjak hingga 302, dan sakit maag saya kambuh dengan parah, menyebabkan nyeri dan rasa pedih di ulu hati dan ketidaknyamanan hampir setiap hari. Tingkat energi fisik saya juga menurun, dan saya bahkan tidak kuat melakukan olah raga yang biasanya saya lakukan setiap hari. Jelas sakit yang saya alami itu psikosomatik.

Tampaknya pengkhianatan itu memengaruhi saya di tingkat bawah sadar. Bagaimana tidak? Hampir seumur hidup saya mengalami diskriminasi dan perundungan. Tetapi saya juga paham bahwa sakit fisik saya merupakan sarana penyembuhan jiwa, untuk melepaskan kerak emosional yang telah terkumpul dan  mengeras sepanjang hidup. Saya yakin, pada akhirnya saya akan seperti “terlahir” kembali, seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong, dengan semangat feminis dan hidup yang mengalami kebangkitan ulang. Hal ini persis sama dengan phoenix yang selalu melindungi Mulan, burung mistis yang membakar dirinya saat mencapai umur 500 tahun lebih, dan terlahir kembali dari abu pembakarannya.

Mulan adalah karakter fiksi dan status legendarisnya adalah romantisasi perempuan Tionghoa yang sebenarnya tidak ada. Tetapi Joan of Arc, Mary Magdalene, saya, dan banyak perempuan lain adalah nyata.

Kaum perempuan sekarang perlu mengonsolidasikan kekuatan kita lebih dari sebelumnya untuk melawan patriarki global yang semakin mengancam, serta patriarki dari saudara, ayah dan ibu  kandung kita sendiri.

Baca versi bahasa Inggris dari artikel ini.


Avatar
About Author

Julia Suryakusuma

Julia Suryakusuma adalah penulis buku “Agama, Seks, dan Kekuasaan”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *