Dalam banyak laporan beberapa tahun terakhir, pemberian susu formula bayi jamak dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Umumnya, susu formula diberikan dalam bentuk sampel atau pun paket setelah ibu melahirkan bersama dengan perlengkapan persalinan lain, seperti gurita ibu, wadah plasenta atau ari-ari, dan pembalut perempuan.
Persoalannya, ‘inisiatif’ memberi susu formula bayi ini sebetulnya telah dilarang oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
Namun demikian, ancaman sanksi berupa teguran lisan hingga pencabutan izin praktik tenaga kesehatan pun tidak mampu membendung praktik buruk ini untuk tetap tumbuh subur bak cendawan pada musim hujan.
Baca juga: Angka Stunting Tinggi dan Komitmen ‘Ngaco’ Pemerintah Menangani Susu Formula
Lebih Banyak Mudarat daripada Manfaat
Tidak disanksikan lagi bahwa pemberian susu formula pada bayi lebih banyak membawa keburukan ketimbang sebaliknya, baik secara kesehatan maupun ekonomi.
Bayi menjadi lebih rentan terhadap masalah pencernaan dan perkembangan kecerdasannya dapat terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli susu tidaklah sedikit. Rata-rata keluarga dengan pendapatan bulanan sekitar Rp2 juta harus menyisihkan sekitar 10 persen untuk membeli susu formula.
Namun, mengapa distribusi susu formula oleh banyak tenaga kesehatan tetap tinggi? Padahal seharusnya para tenaga kesehatan profesional ini berperan sebagai penerang sekaligus fasilitator utama kesehatan.
Masalah ini terjadi paling tidak karena tiga masalah di level kesadaran dan pengetahuan, pemasaran agresif, dan implementasi regulasi.
Pertama, yang membuat praktik ini langgeng adalah rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ASI bagi bayi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Indonesia, bayi di bawah usia 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif hanya 50 persen, dan anak usia 23 bulan yang masih diberi ASI hanya 5 persen. Artinya, secara umum hanya separuh anak Indonesia yang mendapat gizi ideal dalam dua tahun pertama kehidupannya.
Selain itu, pada 2019, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tercatat hanya 67,74 persen.
Angka tersebut menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif di Indonesia perlu ditingkatkan untuk memenuhi target global 70 persen pada 2030
Melihat rendahnya angka pencapaian di atas, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada masyarakat mengingat di Indonesia masyarakat cukup kesulitan untuk mendapatkan layanan konseling menyusui.
Baca juga: Masalah Sistematis Susu Formula: Konsumen Perlu Edukasi dan ‘Support System’
Hal ini diduga berkontribusi pada rendahnya cakupan ASI eksklusif. Selain itu, penyematan istilah-istilah teknis seperti DHA (docosahexaenoc acid), EPA (eicosapentaenoic acid), ARA (arachidonic acid) pada produk susu, terdengar ‘akademis’ dan ‘cerdas’.
Walau masyarakat umum tidak tahu kepanjangan dan kegunaan dari istilah di atas, tapi istilah-istilah ini merupakan magnet tersendiri.
Masyarakat pikir dengan memberi susu formula bayi yang mengandung zat-zat di atas dapat membantu perkembangan anaknya. Tidak jarang muncul anggapan bahwa susu formula bayi lebih bisa mencukupi kebutuhan gizi dibandingkan dengan ASI.
Kedua, penetrasi agresif dari industri susu sebagai strategi pemasaran susu formula.
Harus diakui bahwa industri susu formula memburu ‘celah’ regulasi. Mereka bisa masuk tanpa harus berhadapan dengan pemerintah. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2014 menyatakan bahwa produsen atau distributor dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI eksklusif.
Salah satunya adalah penggunaan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi tentang susu formula bayi kepada masyarakat.
Selain itu, peraturan itu menyatakan tenaga kesehatan tidak boleh menerima hadiah atau bantuan dari mereka, tapi boleh menerima bantuan untuk tujuan pelatihan atau kegiatan lain sejenis. Di sinilah ‘celah’ tercipta. Tenaga kesehatan kerap diundang dalam kegiatan berbalut ‘peningkatan kapasitas’ (capacity building), lengkap dengan fasilitas menginap di hotel yang disponsori oleh industri susu formula.
Tentu saja pada satu sisi hal ini terjadi karena peraturan memang tidak secara detail meregulasi aktivitas-aktivitas lain yang disamarkan sebagai promosi. Di atas kertas, tidak ada peraturan yang mereka langgar. Mereka ‘hanya’ memfasilitasi para tenaga kesehatan untuk seminar atau pelatihan.
Sedangkan dari sisi tenaga kesehatan, tawaran untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dapat diambil karena menganggap tak ada aturan yang dilanggar di sana.
Faktor ketiga, implementasi dari peraturan yang belum maksimal membuat praktik ini semakin menjamur.
Sanksi tegas berupa dicabutnya izin praktik tenaga akibat hal ini belum pernah terjadi. Selain itu, para pelanggar mudah berkelit dengan alasan bahwa susu itu diperuntukkan bagi bayi yang alergi atau untuk ibu yang ASI-nya tidak lancar.
Hal ini sebagaimana tertuang pada peraturan yang memperbolehkan susu formula bagi bayi dengan indikasi medis. Kalau sudah begitu, apakah masyarakat umum dapat membuktikan? Bukankah penilaian ‘indikasi medis’ terhadap pasien adalah ranah tenaga kesehatan? Setahu saya belum pernah ada sidang kasus tenaga kesehatan yang diduga menerima “hadiah pelatihan” dari perusahaan susu formula.
Baca juga: Ada Plastik Mikro dalam ASI: Haruskah Kita Setop Susui Bayi?
Lalu Apa Solusinya?
Langkah penting yang bisa diambil dalam meminimalkan penggunaan susu formula bayi adalah edukasi menyusui. Kesadaran ini harus didorong sejak sebelum hamil sehingga efektif dalam membantu mempersiapkan ibu dan mempromosikan inisiasi menyusui setelah melahirkan.
Beberapa riset mutakhir menunjukkan bahwa edukasi menyusui dapat mendorong pemberian ASI eksklusif pada bayi.
WHO pun telah merekomendasikan tujuh kontak edukasi menyusui selama hamil dan setelah melahirkan. Upaya edukasi ini adalah upaya termudah, bukan untuk menjegal bisnis industri susu formula, tapi untuk meningkatkan mutu kesehatan generasi bangsa selanjutnya.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kemauan dan kesungguhan untuk menjalankan peraturan, termasuk mengawasi pemasaran oleh perusahaan susu formula.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.