‘Nanshoku’, Homoseksualitas Jepang yang Dulu Lumrah Sekarang Dianggap Aneh
‘Nanshoku’ atau homoseksualitas di era Edo menjajaki masa keemasannya. Anehnya, seiring Jepang melakukan modernisasi, homoseksualitas justru dianggap aneh
Ada ironi di Jepang. Kendati Jepang terkenal dengan salah satu subkultur budaya populernya, BL (Boys Love) atau Yaoi, faktanya negara ini masih tak ramah pada LGBTI. Buktinya, dalam wawancara singkat bersama The Guardian, pada Mei 2020, sepasang gay Jepang menceritakan pengalamannya dua kali ditolak masuk ke love hotel. Pasangan yang enggan menyebutkan namanya ini merasa dianggap sebagai warga kelas dua saat itu. Bukti lain tak ramahnya negara pada LGBTI juga bisa dilihat dari tarik ulur 5 tahun pembahasan UU Kesetaraan LGBTI (LGBT Equality Act) bahkan hingga Olimpiade Tokyo 2020 rampung.
Asahi Shimbun menggarisbawahi bagaimana UU ini mangkrak karena ditentang anggota Parlemen konservatif. Mengutip artikel Human Rights Watch, oposisi yang kuat ini dapat dilihat dari pernyataan politisi Partai Demokrat Liberal (partai yang berkuasa di Jepang) bahwa “LGBTI bertentangan dengan pelestarian spesies.” Pernyataan ia sangat disayangkan mengingat partai yang berkuasa di Jepang ini sudah berjanji akan meloloskan UU Kesetaraan LGBTI nasional pertama di negara itu selama sesi rapat Parlemen, Juni 2021.
Baca juga: Pelangi di Benua Biru: Strategi Kesetaraan bagi LGBTIQ di Eropa
LGBTI Juga Dinomorduakan di Dunia Kerja dan Pendidikan
Kendati penerimaan LGBTI di Jepang naik dari 54 persen pada 2002 menjadi 68 persen pada 2019, menurut jajak pendapat Pew Research Center, dalam dunia kerja, kelompok minoritas itu belum cukup mendapat tempat. Melalui survei terhadap 60.000 LGBTI yang dirilis pada Januari 2019 oleh perusahaan periklanan Dentsu Inc, ditemukan hanya sekitar 9 persen responden diidentifikasi sebagai LGBTI, dan lebih dari setengahnya enggan keluar untuk bekerja dengan rekan kerja.
Senada, survei penerimaan minoritas seksual pada 2020 yang dilakukan penyedia layanan keuangan daring Au Jibun Bank menunjukkan, hanya 18 persen dari minoritas seksual ini merasa cukup nyaman untuk keluar di tempat kerja.
Tidak hanya di dunia kerja, LGBTI juga belum cukup mendapat tempat di lingkungan sekolah. Yasuharu Hidaka, profesor epidemiologi sosial di Fakultas Keperawatan Universitas Takarazuka ditugaskan oleh Lifenet Insurance Co untuk melakukan studi terhadap minoritas seksual di Jepang dengan 10.769 responden berusia antara 13 dan 79 tahun. Dalam survei tersebut, Hidaka mencatat, di antara 586 remaja, 47,4 persen dari mereka mengalami perundungan karena identitas atau orientasi seksual yang mereka miliki. Di antara jumlah tersebut, hampir 80 persen mengatakan, rekan-rekan dan orang lain di sekitar mereka tahu atau pernah melihat insiden perundungan. Namun, hanya sekitar 40 persen korban perundungan yang menuturkan, orang-orang mau membantu atau membela mereka.
Nanshoku (男色) dan Keberagaman yang Berjalan Mundur
Melihat bagaimana kondisi masyarakat modern Jepang yang tidak begitu ramah terhadap LGBTI, muncul tanda tanya besar. Sebab ditinjau dari sejarahnya, Jepang dahulu termasuk yang menghargai keberagaman orientasi seksual, terutama homoseksualitas. Dalam buku Male Colors: The Construction of Homosexuality in Tokugawa Japan (2017) yang ditulis oleh Gary Leupp dijelaskan, nanshoku (男色) atau secara harfiah diterjemahkan warna laki-laki merupakan erotisme dan seksualitas sesama laki-laki yang dikenal di Jepang pramodern. Nanshoku ditempatkan secara terhormat dalam kehidupan masyarakat Jepang kala itu dan dirayakan dalam seni dan sastra, dengan energi dan antusiasme yang sama besar dengan erotisme dan seksualitas antara laki-laki dan perempuan.
Nanshoku sendiri mulai dikenal oleh masyarakat Jepang berkat biksu bernama Kuukai atau Kobo Daishi yang juga merupakan pencipta aksara Jepang Hiragana dan Katakana. Leupp mengatakan, menurut legenda yang dianut masyarakat Jepang, Kuukai kembali dari Cina sekitar 806 masehi pada era Heian dengan membawa ide dari tradisi orang Tionghoa mengenai homoerotisme.
Ia kemudian memperkenalkan nanshoku (男色) sebagai bagian dari tradisi di kalangan biksu Buddha Jepang kala itu. Dalam tradisi nanshoku, biksu Buddha yang lebih tua (nenja) akan mengambil anak laki-laki pra-remaja (chigo), sebagai pelayannya. Baik nenja maupun chigo diharapkan memiliki hubungan yang serius bahkan beberapa nenja harus bersumpah setia dalam hubungan ini.
Hal ini menarik karena Buddhisme kala itu dirumuskan kembali dalam budaya dan waktu yang berbeda. Dalam hal ini, Jepang pramodern membaca Buddhisme dari ajaran agama tradisional Jepang, sedangkan Shinto memandang seks dan seksualitas sebagai sesuatu yang positif. Homoseksualitas bahkan tidak secara jelas dilarang.
Baca juga: Ini yang Perlu Diketahui Soal Perjuangan Hak-hak LGBT di Dunia
Nanshoku kemudian mendapatkan tempat spesialnya di Jepang pada periode Tokugawa atau biasa dikenal zaman Edo (1600-1867). Gregory M. Pflugfelder dalam Cartographies of Desire: Male-male Sexuality in Japanese Discourse, 1600-1950 (1999) menyebutkan, kepopuleran Nanshoku banyak disebarkan oleh kaum samurai yang menghargai nilai-nilai Buddhisme Jepang. Anak-anak kelas samurai biasanya dikirimkan ke vihara untuk menerima pendidikan dan banyak dari mereka terlibat dalam hubungan nanshoku. Saat samurai memperluas pengaruh, mereka membawa nanshoku keluar dari vihara dan masuk ke kota.
Nanshoku disebut wakashudo, dan dilatih di bawah pengawasan laki-laki yang lebih tua, nenja. Wakashu ini akan belajar seni bela diri, keterampilan hidup, dan mereka di banyak kasus ketika menginjak usia remaja menjadi kekasih nenja sampai dewasa. Hubungan antara wakashu dan nenja ini dianggap sebagai hubungan eksklusif serta saling memuliakan. Mereka juga membantu satu sama lain dalam tugas feodal, seperti menjaga kehormatan dalam duel dan balas dendam.
Pflugfelder menambahkan, meskipun seks antara pasangan itu diharapkan berakhir ketika anak laki-laki dewasa, hubungan idealnya akan berkembang jadi ikatan persahabatan seumur hidup. Oda Nobunaga sebagai panglima perang dan salah satu tokoh terkemuka Jepang misalnya, diketahui memiliki kekasih laki-laki, yaitu Mori Ranmaru dari hubungan wakashudo-nya ini.
Pengaruh Barat yang Melunturkan Nanshoku
Kendati nanshoku sempat menempati masa keemasannya di era pramodern Jepang dan dilihat sebagai sesuatu yang lumrah, pada era Meiji pandangan itu perlahan bergeser. Setelah Jepang membuka diri dengan dunia luar melalui pencabutan politik Sakoku selama dua abad (1633-1853), pengaruh modernisasi dari Barat mulai masuk dalam sendi-sendi masyarakat Jepang tidak terkecuali dalam pandangan mereka mengenai nanshoku ini.
Doi Takeo, psikologis ternama Jepang dalam bukunya The Anatomy of Dependence (1971) mengatakan, ada perbedaan pandangan relasi antara laki-laki ini antara orang Jepang dan Barat. Orang Barat cenderung melihat segala relasi bersifat heteroseksual dengan menekankan pada kemampuan laki-laki yang dalam mempersunting perempuan untuk lanjut pada jenjang pernikahan. Dengan demikian, relasi antara sesama laki-laki menimbulkan sebuah kekhawatiran mendalam yang berujung pada homofobia.
Baca juga: Homofobia dan LGBT yang ‘Mengganggu’
Doi melanjutkan, pengutamaan hubungan lawan jenis dan perkembangan “budaya pasangan” Barat ini telah memicu pergeseran nilai di masyarakat Jepang yang memprioritaskan hubungan perkawinan. Akibatnya, relasi antara laki-laki pun dianggap aneh. Hal ini terlihat dari menggantikan istilah nanshoku menjadi dousesai karena terma lawas dianggap sebagai penyakit, abnormal, atau penyimpangan. Fenomena nanshoku ini kemudian berakhir dengan tragis pada era Showa setelah perang dunia kedua selesai. Homofobia di kalangan masyarakat Jepang pun tumbuh makin pesat, hingga nanshoku digantikan oleh istilah asing, seperti gei atau homo untuk “memperolok” hubungan seksual sesama jenis.