Masih Banyak Negara Ramah pada Pemerkosa
Selamat, Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang memberi ruang aman untuk para pemerkosa lewat produk hukumnya.
Bill Cosby, pemerkosa yang juga merupakan komedian sohor Hollywood, bebas dari penjara, (30/6) lalu. Putusan bebas ini keluar usai Mahkamah Agung Pennsylvania membatalkan hukumannya pada 2018 atas serangan seksual terhadap Andrea Constand, mantan pekerja Temple University, di rumahnya di Philadelphia pada 2004. Bebasnya Bill Cosby menjadi ironi dalam pengadilan kriminal tingkat tinggi Amerika Serikat (AS) di era #MeToo. Apalagi hingga kini, tak kurang dari 50 perempuan mengaku dilecehkan, dibius dan diperkosa, atau mengalami kekerasan seksual dalam beragam bentuk oleh Cosby.
Alasan pembebasan Cosby adalah karena sebelumnya, aktor The Cosby Show itu telah membuat kesepakatan non-prosecution dengan jaksa wilayah 15 tahun silam. Itu akan mencegah Cosby didakwa secara pidana berulang kali dalam kasus tersebut. Karena putusan inilah, pria berusia 83 tahun itu akhirnya hanya menjalani hukuman penjara 10 tahun hanya dalam dua tahun.
Fenomena pembebasan pelaku kekerasan seksual sebetulnya tak hanya sekali terjadi di dunia. Awal tahun ini, publik Korea Selatan muntab setelah residivis Cho Doo-soon, pemerkosa anak, dibebaskan dari hotel prodeo setelah menjalani hukuman 12 tahun. Kejahatan Cho yang memukuli secara brutal dan memperkosa anak-anak berusia 8 tahun di toilet Gereja Ansan, sebelah barat daya Seoul, mendapat “pemakluman” dari hukum setempat. Pasalnya, Cho melakukan itu dalam kondisi mabuk. Di Negeri K-Pop itu, hukuman bagi kejahatan yang terjadi karena berada di bawah pengaruh alkohol akan dihukum lebih ringan, mengacu pada Pasal 10 ayat (2) “Sim Sin Mi Yak”. Penyalahgunaan zat termasuk alkohol yang dikonsumsi Cho, dalam hal ini dikategorikan mengganggu mentalnya.
Di Indonesia, pembebasan pelaku kekerasan seksual sudah jamak terjadi dalam konteks hukum kita. Pada 2019 silam, pria Cibinong, HI (49) memperkosa Jeni dan Joni. Joni, anak penyandang disabilitas intelektual, pertama kali disodomi HI saat usianya masih 12 tahun. Sama seperti adiknya, Joni juga diperlakukan lancung berkali-kali, terakhir pada Mei 2018. Ia dibebaskan dari semua tuduhan, kendati di pengadilan sudah mengakui perbuatannya. Di Aceh, sebelum diamuk masyarakat, MA, pria pelaku pemerkosaan atas anak kandungnya sendiri di sempat dibebaskan pengadilan. Keputusan itu dibatalkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung.
Yang tak kalah janggal dari hukum Indonesia adalah ketika korban pemerkosaan di(ter)paksa menikah dengan pemerkosanya demi alasan menutup aib. Di Sorong, Papua Barat, Mei 2016, pemerkosa siswa SMP berusia 14 tahun tak diproses hukum lantaran pihak korban dan pelaku bersepakat menyelesaikan kasus itu melalui jalur kekeluargaan atau pernikahan. Dalam pernyataannya kepada Antara, polisi setempat menyebut, kasus dihentikan karena seks dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal serupa yang tak kalah membetot perhatian publik adalah tawaran menikah dari anak DPRD Bekasi yang memperkosa anak-anak di bawah umur tahun ini.
Baca juga: Gofar Hilman, Budaya Pemerkosaan, dan Sikap Lawless
Pemerkosaan Tak Dianggap Kejahatan
Pemerkosaan selalu bicara soal ketimpangan kuasa. Terlepas dari apapun namanya, terma pemerkosaan mestinya menihilkan elemen yang bersifat seksual, kata-kata menggoda, dan sejenisnya. Sebab, hal yang sudah dipastikan tak absen dalam pemerkosaan adalah intimidasi, kekerasan fisik, dan ancaman. Hal ini hanya bisa dimungkinkan ketika pelaku dan penyintas berada dalam kondisi tak setara. Umumnya dilakukan oleh lelaki yang menempati posisi lebih kuat atau dominan ketimbang korban. Ketimpangan kuasa pun tak hanya dalam ranah fisik, tapi juga posisi dan status sosial, pekerjaan, atau kedekatan dengan pemerintah.
Sayangnya, di banyak negara, definisi pemerkosaan ini sering memasukkan unsur kehormatan atau moralitas. Sebuah istilah yang menunjukkan hasrat seksual alih-alih ketimpangan kuasa. Hal ini berdampak pada melempemnya penindakan pada pemerkosa. Pun, penyelesaian kasus pemerkosaan sering kali disederhanakan sebatas mau mengawini korban atau tidak, suka sama suka atau tidak. Padahal, perkosaan adalah perkosaan, eksesnya akan selalu traumatik untuk korban.
Dalam laporan bertajuk The Global Rape Epidemic (2017) yang disusun oleh Equality Now disebutkan, masih banyak sekali negara yang permisif terhadap kejahatan pemerkosaan. Setidaknya ada 15 negara yang menganggap kasus pemerkosaan bukan isu hukum, melainkan isu moralitas. Negara-negara itu di antaranya, Afghanistan, Belgia, Cina, India, Indonesia, Yordania, Luksemburg, Belanda, Nigeria, Pakistan, Palestina, Peru, Singapura, Taiwan, dan Yaman.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Rumah Sendiri, Mengerikan Tapi Didiamkan
Konsekuensi dari hukum yang berangkat dari aspek moralitas adalah, perempuan sebagai korban pemerkosaan akan selalu menjadi pihak yang rugi. Bahkan lebih sering mereka yang dianggap bertanggung jawab jika pemerkosaan terjadi padanya. Pemerkosaan di malam hari selalu dibelokkan ke isu: Hanya perempuan tak baik-baik yang keluyuran tengah malam. Pemerkosaan terhadap pekerja seks juga disederhanakan dengan sindiran: Salah sendiri berpakaian terbuka.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi dari hukum-hukum tersebut, termasuk yang di Indonesia adalah kemungkinan jalur damai pernikahan untuk pemerkosa. Dalam laporan Equality Now tersebut, ada 9 dari 82 yurisdiksi negara di dunia yang memungkinkan pelaku pemerkosa untuk menikahi korbannya. Mereka adalah Bahrain, Irak, Yordania, Kuwait, Lebanon, Palestina, Filipina, Tajikistan, dan Tunisia.
Jika opsi ini tak diambil, maka pelaku bisa dibebaskan dari hukuman ketika kedua belah pihak mencapai penyelesaian dengan uang tutup mulut. Ada 12 negara yang menerapkan ini dalam hukum pidana mereka, yakni Belgia, Kroasia, Irak, Yordania, Kazakhstan, Lebanon, Palestina, Nigeria, Rumania, Rusia, Singapura, dan Thailand. Sayangnya, apa yang dipandang sebagai penyelesaian kerap tak adil karena korban masih dianggap di bawah umur, sehingga belum bisa membuat keputusan sendiri. Pun, penyelesaian ini cenderung dipaksakan karena berbagai faktor: Stigmatisasi, reviktimisasi, menjaga nama baik, dan intimidasi dalam beragam bentuk.
Baca juga: ‘Shaming’ Pelaku Kekerasan Seksual: Efektif Tapi Berisiko bagi Korban
Bagaimana dengan Hukum Indonesia?
Indonesia tak memiliki dasar hukum jelas dan adil yang mengatur kejahatan pemerkosaan. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), alih-alih menindak tegas pelaku pemerkosaan, negara justru mengurusi wilayah privat warganya dengan menyusun pasal perzinahan atau larangan aborsi termasuk untuk korban pemerkosaan sekalipun.
Sementara, bab pemerkosaan hanya diatur secara sempit dalam Bab XIV Pasal 281 sampai Pasal 303 KUHP. Beberapa kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab ini antara lain, perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP.
Pasal 285 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Aturan ini tak relevan karena syarat mengkualifikasikan kejahatan seksual masuk pemerkosaan atau bukan, relatif sulit dibuktikan karena harus mencakup kekerasan atau ancaman kekerasan. Padahal dalam kondisi tertentu, korban seringkali membeku ketika pemerkosa melakukan kejahatannya. Ini tentu tak bisa ditafsirkan sebagai suka sama suka atau tak menolak.
Pun, modus operandi pemerkosaan pun berkembang, seperti membius atau membuat mereka pingsan, dan celakanya hukum kita tak menggolongkan ini sebagai pemerkosaan. Selain itu, kekerasan seringkali dibatasi sebagai kekerasan fisik. Sehingga, itu mesti lewat pembuktian visum yang mana tak cocok digunakan ketika korban baru berani melaporkan setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ancaman kekerasan seperti dipecat dari pekerjaan, tak diluluskan kuliah, kendati bikin trauma, juga tak bisa dijadikan alasan menyeret pemerkosa.
Baca juga: Pelecehan Seksual Kian Marak Termasuk dalam Situasi WFH
Berikutnya, pemerkosaan hanya bisa dilakukan oleh pria ke korban perempuan. Padahal dalam praktiknya, pemerkosaan bisa menimpa siapa saja, tanpa disekat oleh jenis kelamin atau gender tertentu. Yang ketiga, masih terkait dengan poin sebelumnya, pemerkosaan ditafsirkan sesempit persetubuhan alias penetrasi penis ke vagina. Ini makin menandaskan bahwa pemerkosaan yang diatur dalam RKUHP hanya mengandaikan dilakukan oleh lelaki saja atau pemerkosaan sodomi dikecualikan.
Keempat, pemerkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap perempuan yang tak terikat perkawinan. Dari sini kita mendapat kesan bahwa hukum bisa saja permisif jika pemerkosaan dilakukan terhadap istri atau suami sendiri. Padahal, apapun relasinya, menikah atau tidak, memaksa seseorang berhubungan seks adalah pemerkosaan. Titik.
Kalau sudah begini, negara kita membutuhkan payung hukum yang serius untuk menindak pemerkosaan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) salah satunya, tapi sayang dalam praktiknya, RUU ini terus-menerus digembosi di Parlemen. Wajar saja jika kemudian Indonesia dipandang ramah pada pemerkosa, lha wong UU yang menghukum pemerkosanya aja enggak ada.