Rukyah hingga Label Bencong: 4 Homofobia di Indonesia
Dalihnya demi menyembuhkan atau memberi efek jera pada LGBT+, homofobia di Indonesia makin tak manusiawi.
Pada 4 April 2021, pasangan gay dari Thailand, Suriya dan Bas yang baru saja menikah di negara asalnya diserang membabi-buta oleh warganet Indonesia. Foto pernikahan yang mereka unggah di Facebook disesaki dengan gertakan, pelecehan, hingga ancaman pembunuhan, tulis The Jakarta Post. Sepekan berselang, akun Facebook pasangan itu telah mengumpulkan 445.000 komentar kebencian dari warga +62. Anehnya, mereka tak perlu mengenal pasangan gay ini sebelumnya untuk berperilaku homofobia.
Mengutip dari Medical News Today, homofobia adalah istilah yang mengacu pada ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap individu homoseksual. Homofobia banyak wujudnya, mulai dari penggunaan bahasa yang negatif dan menyinggung, hingga bentuk paling ekstrem, termasuk intimidasi, pelecehan, dan kekerasan fisik. Selain itu, homofobia dapat hadir dalam bentuk penindasan sistematis berupa diskriminasi dari pemerintah, lembaga keagamaan, dan bisnis lainnya.
Di Indonesia sendiri perilaku homofobia tak kunjung surut. Berikut adalah lima contoh homofobia yang pernah terjadi di Indonesia:
Baca juga: Si Budi Kecil, Si Budi Bencong
1. Rukyah Penyembuh LGBT
Religiusitas yang tidak dibarengi dengan toleransi dari tafsir agama yang inklusif dan progresif, hanya akan menyebabkan diskriminasi berujung kekerasan. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia, di mana masih banyak orang Indonesia yang beragama Islam melegitimasi tindak kekerasan dengan melakukan praktik rukyah kepada teman-teman LGBT.
Praktik rukyah terhadap kelompok LGBT kerap dilakukan kepada teman-teman LGBT yang ketahuan oleh keluarganya memiliki orientasi yang tidak ‘sesuai’ dengan ajaran agama. Mereka kemudian dibacakan doa dan zikir yang diyakini bisa mengusir jin atau pengaruh jahat yang mengubah orientasi seksual kelompok ini.
Rukyah terhadap kelompok LGBT telah mengukuhkan anggapan bahwa orientasi seksual yang paling benar adalah heteroseksual. Sehingga, siapapun yang melenceng dari orientasi seksual wajar untuk “diluruskan” kembali.
2. Ejekan Banci atau Bencong
Sebagai seseorang yang menyukai boyband Korea Selatan BTS, saya sudah terlalu biasa melihat ejekan banci dan bencong yang diarahkan langsung kepada idola saya karena penampilan feminin mereka. Tak hanya menghina BTS, mereka juga merundung para ARMY.
Tidak hanya di ranah digital, saya pun sering sekali mendengar orang-orang (terutama laki-laki) dengan maskulinitas rapuh mereka menghina sesama laki-laki yang tidak berperilaku sesuai dengan standar maskulinitas umum.
Ejekan tersebut jadi manifestasi perilaku homofobia yang mengedepankan heteroseksualitas sebagai nilai utama dari pendisiplinan tubuh laki-laki. Hegemoni maskulinitas menganggap bahwa homoseksualitas dianggap menyimpang, sehingga sudah seharusnya dipinggirkan.
Ejekan banci atau bencong pun akhirnya menjadi sebuah alat untuk mengukuhkan nilai heteroseksualitas dengan cara mempersekusi LGBT dan juga laki-laki yang merangkul feminitasnya.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
3. Salah Fokus Pemerkosaan Reynhard Sinaga
Saat heboh kasus predator seks Reynhard Sinaga, fokus pemberitaan dan perbincangan di media sosial hanya mengarah pada orientasi seksual alih-alih tindak kekerasan seksual yang dilakukannya.
Perbincangan pun berkembang bahwa semua homofobia sudah barang tentu menormalisasi tindak kekerasan seksual. Tidak mengherankan kemudian, banyak pesan berantai yang beredar mengenai bahaya LGBT dengan menyintir kasus Reynhard sebagai contoh utamanya.
Baca juga: Homofobia dan LGBT yang ‘Mengganggu’
4. Razia LGBT oleh Pemerintah Kota Depok
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Reynhard berujung panjang pada pengukuhan stigma dan persekusi kepada kelompok LGBT. Di Depok tahun lalu, pemerintah setempat mengeluarkan “imbauan” untuk merazia LGBT di rumah-rumah kos dan tempat-tempat yang dianggap mencurigakan lainnya.
Sebelumnya pada 2019, pemerintah Depok mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Anti-LGBT yang didahului Surat Instruksi Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Penguatan Ketahanan Keluarga terhadap Perilaku Menyimpang Seksual. Dengan dalih memperkuat ketahanan keluarga dan memerangi perilaku menyimpang, pemerintah Depok telah melegitimasi perilaku homofobia dalam bentuk penindasan sistematis melalui relasi kuasa yang timpang.