Surat dari Penjara: Pura-pura Bahagia Saat Terpaksa Jadi Janda
Alih-alih dikunjungi suami, banyak narapidana dikunjungi pegawai pengadilan agama yang membawa surat cerai.
“Jadi kamu maunya apa? Terus anak-anak gimana?”
Lalu, gubrak! Ada suara gagang telepon dibanting ala-ala gulat smackdown. Itulah perkara pertama yang kuhadapi di hari Minggu yang sangat biasa ini.
Namanya Silvi, teman gue sesama napi yang kena vonis enam tahun, yang mirisnya baru menjalankan hukuman belum sampai dua tahun. Pagi-pagi dia sudah menangis kejer di pojok bilik wartel sebelah karena roman-romannya, si suami sudah mulai kesepian dan mulai kelimpungan memikirkan nasibnya “si otong”.
Geram juga gue kalau sudah dengar. Lagi-lagi ada teman gue yang kena talak. Inilah nasib percintaan narapidana perempuan. Jangan sedih, bagi yang bernasib naas, kita harus rela dan legowo kalau suami sudah mulai mengurangi ritme berkunjung. Alasannya ada saja, mulai dari perekonomian yang sedang sulit, pekerjaan lagi banyak, terjebak peraturan ganjil genap, dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya. Ujung-ujungnya, yang datang kunjungan adalah bapak-bapak berkumis yang pakai seragam pengadilan agama dan minta tanda tangan surat cerai.
Seperti kata peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kasihan, bukan? Sedang butuh support system, malah ditinggal. Tapi mau bagaimana lagi? Mau atau tidak kita harus PPB alias Pura-pura Bahagia.
Tapi tenang, buat masih banyak cara untuk bisa move on dari kisah cinta lama. Sebelum gue cerita gimana cara move on-nya, gue mau cerita dulu tentang keadaan sesungguhnya di penjara perempuan ini.
Baca juga: Surat dari Penjara: Wartel Media Komunikasi Tercanggih
Para pembaca yang berbahagia, napi seperti kita-kita ini tidak seperti apa yang digambarkan di sinetron secara lebay. Saking lebay-nya, napi perempuan digambarkan seolah-olah seperti penjahat ala-ala kompeni Belanda dengan tato macan atau ular kobra di sisi kanan dan kiri. Padahal napi-napi di sini masih layak tampil dan disejajarkan dengan artis-artis FTV masa kini. Walaupun cuma modal krim muka yang beli di kantin koperasi, dengan harga paling banter Rp30 ribu, tapi secara instan muka kita akan terlihat putih dan mulus bak tokoh telenovela Esmeralda atau Maria Mercedes (masalah warna muka beda dengan tangan, itu urusan nanti, say).
Nah, balik lagi ke topik percintaan, untuk mengembalikan mood, si Silvi tidak akan tinggal diam dan berlama-lama larut dalam keterpurukan pengkhianatan cinta Dengan modal krem Rp30 ribu tadi, ada banyak cara yang akan dia lakukan versi penjara. Yang pertama, dia akan memberikan pengumuman kepada khalayak napi yang ramai bahwa dia telah resmi menjadi janda. Kedua, dia akan nongkrong-nongkrong cantik ala-ala Rosalinda Ayamor sambil mengedip-ngedipkan bulu mata di area kunjungan. Siapa tahu, temannya si A atau kawannya si B atau saudara pacarnya si C atau mantan suami si D atau bahkan yang masih jadi suami atau pacarnya si E, tertarik padanya. Semua bisa terjadi yang penting hatinya si Silvi tidak sepi.
Baca juga: Surat dari Penjara: Cadong Sang Legenda
Ketiga, si Silvi akan berusaha mendapatkan pasangannya di dunia maya ala penjara, yaitu telepon sana dan sini, haha hihi tanpa tahu seperti apa tampang dan rupanya. Pasti kalian bingung, dapatnya dari mana?
Para pembaca yang berbahagia (kalau kalian sedang tidak berbahagia, tapi pasti kalian lebih bahagia daripada si Silvi saat ini), di penjara ini, komunikasi kita itu cuma satu arah. Karena kita cuma bisa menghubungi tapi tidak dihubungi. Jadi, mainan kita di sini ya cuma telepon di wartel (warung telekomunikasi). Kalau mau pacaran atau menanyakan kabar pacar ya cuma telepon.
Jadi, si Silvi sudah bahagia sekali kalau dapat nomor telepon laki-laki dewasa walaupun belum tahu gambaran mukanya seperti apa. Caranya, dia akan tiba-tiba baik terhadap towel alias tongkrongan wartel atau sama orang yang punya pulsa seumur hidup. Silvi berharap mereka mempunya kontak laki-laki penjaraan yang kesepian, yang siap buat diajak curhat dan paling tidak mengisi relung hati atau sedikit bisa membunuh waktu selama menjalani sisa hukuman.
Nah, itu sepenggal cerita soal percintaan di penjara ini. Soal bagaimana kelanjutan nasib si SIlvi, akan gue lanjutkan di kisah-kisah berikutnya.
Artikel ini merupakan hasil dari #Surat (Suara dari Balik Sekat), inisiatif kolektif dari Jurnal Perempuan, Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Magdalene.co untuk memberi pelatihan menulis dasar dan menyediakan sarana menulis bagi narapidana perempuan. #Surat yang ditampilkan telah mendapatkan persetujuan dari penulis.