Nasib Buruh di Tengah Pandemi, Tanggung Jawab Siapa?
Kebijakan pemerintah selama pandemi justru mempersulit kehidupan buruh yang seharusnya juga memprioritaskan kesehatan mereka.
Jutaan buruh di-PHK tanpa adanya kejelasan pesangon, upah kerjanya tidak dibayar, hingga dirumahkan tanpa upah. Kenyataan pahit ini harus dihadapi para buruh pabrik selama pandemi melanda 1,5 tahun terakhir. Penderitaan buruh tak berhenti di situ, pekerjaannya yang menyumbang pergerakan roda ekonomi negara justru diposisikan sebagai golongan yang tidak diprioritaskan oleh pemerintah.
Alih-alih memperhatikan, perusahaan hanya mementingkan hasil kerja. Mereka tetap memaksa mempekerjakan buruh dan lepas tangan terhadap jaminan kesehatan dan pekerjaan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, lebih dari 10 persen buruh di industri manufaktur terpapar COVID-19. Sebagaimana dikutip dari Tempo.co, Said menilai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat belum efektif karena terdapat sektor manufaktur maupun pengolahan yang masih 100 persen mempekerjakan buruhnya.
Baca Juga: Menjadi Perempuan Buruh Pabrik di Indonesia
Rekayasa Jam Kerja
Kebijakan PPKM Darurat yang ditetapkan pemerintah menimbulkan perubahan sistem kerja yang terjadi di banyak pabrik milik perusahaan besar. Para buruh dibebani dengan jam kerja yang panjang tanpa memikirkan kesehatan maupun kesejahteraannya.
Dalam konferensi pers “Suara Kelompok Marjinal Terhimpit Pandemi” yang diselenggarakan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (18/7), Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menyampaikan realitas yang terjadi di lapangan, yakni sistem rekayasa jam kerja.
Pabrik akan “menaati” PPKM Darurat, tetapi meminta buruhnya untuk bekerja dengan shift yang panjang pada hari tertentu.
“Misalnya di hari Sabtu, para buruh seharusnya tidak bekerja atau masuk setengah hari, mereka diminta bekerja selama 16 jam dan tidak terhitung lembur. Ini membuat buruh kehilangan banyak haknya,” ujar Maria. Meskipun pada hari berikutnya mereka diberikan libur, sistem ini menyebabkan mereka kelelahan hingga menurunnya daya tahan tubuh, sehingga rentan terpapar COVID-19.
Baca Juga: Magdalene Primer: Ada Apa dengan Aice
Dilema Saat Terpapar COVID-19
Khawatir kehilangan penghasilan apabila kontraknya diputus, tempat kerjanya ditutup, hingga menjadi korban PHK, menjadi alasan para buruh urung melaporkan kondisi kesehatannya pada perusahaan. Maka itu, mereka yang terpapar COVID-19 secara bergilir dari tempat kerjanya juga tak banyak memberitahukan kondisinya.
Di sisi lain, kondisi tempat tinggal mereka tidak memungkinkan untuk melakukan isolasi mandiri (isoman) sesuai standar yang ditetapkan, yakni kamar tidur dan kamar mandi terpisah dari anggota keluarga yang sehat. Situasi ini membuat mereka semakin takut menularkan anggota keluarga.
Belum lagi masalah fasilitas kesehatan yang sulit dijangkau dengan obat-obatan dan vitamin yang mahal. Sekali tes PCR saja mereka harus menghabiskan 50 persen upah kerjanya, sementara sistem kerja yang hanya masuk selama dua minggu dalam sebulan juga memotong penghasilannya. Terlebih jika dinyatakan positif, untuk kembali bekerja, mereka membutuhkan beberapa kali tes PCR sampai hasilnya negatif.
Semua itu ditanggung secara pribadi oleh buruh sebagaimana disampaikan oleh Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti.
“Sebelum masuk pabrik, para buruh akan diukur suhu badannya. Kalau suhunya mencapai 38 derajat celcius, mereka disuruh swab dan biayanya ditanggung sendiri atau dibayarkan perusahaan lalu dipotong gaji,” tutur Dian.
Sebagai solusi, Dian bersama KPBI mencarikan tes PCR gratis di puskesmas untuk tes pertama, guna mengetahui apakah buruh terpapar COVID-19. Kemudian, untuk tes selanjutnya saat buruh akan kembali bekerja, mereka bernegosiasi dengan pihak perusahaan dan melapor ke Suku Dinas Ketenagakerjaan yang selama ini dinilai Dian tidak berfungsi.
Baca Juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim
Pemerintah Perlu Prioritaskan Buruh
Seperti tak ada habisnya jika kita membahas permasalahan yang dialami buruh selama pandemi dengan pemerintah, mulai dari banyaknya buruh yang belum menerima bantuan sosial sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan, tidak diprioritaskan sebagai penerima vaksin, hingga minimnya jaminan kesehatan, dan pekerjaan bagi mereka. Entah kapan para pembuat kebijakan akan menyadari penyebaran COVID-19 yang tinggi pada orang-orang yang kerap bermobilisasi sangat membebani kehidupan buruh.
Maria menjelaskan, hingga saat ini COVID-19 belum dikategorikan sebagai penyakit akibat kerja. Mereka sulit membuktikan apabila dirinya terpapar di pabrik. Ujung-ujungnya, persoalan ini membawa kesulitan bagi buruh dalam mengakses pengobatan dan meminta kompensasi. Padahal, sejak awal pandemi terjadi, ini sudah disuarakan dan seharusnya para buruh dilindungi di bawah sistem kesehatan BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam membuat kebijakan PPKM, pemerintah seharusnya menyusun sinergi dengan kebijakan ketenagakerjaan, pengupahan, PHK, dan akses pengobatan. Bukannya menyelamatkan rakyat dari seluruh kalangan, penerapan PPKM malah memperburuk kehidupan buruh. Dari awal pandemi, idealnya kesehatan rakyat menjadi sentral dalam pengambilan keputusan, toh nantinya tangan-tangan rakyat yang membantu memulihkan ekonomi negara.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di tingkat perusahaan perlu kembali menegakkan protokol kesehatan, terkait fasilitas dan cara kerja untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Di samping itu, dibutuhkan adanya bentuk penanggulangan bagi mereka yang sudah terpapar, terutama terkait buruh yang melakukan isoman dengan keterbatasan ruangan di tempat tinggal.
“Situasi yang dialami para buruh tidak akan dipahami oleh pemerintah apabila mereka melihatnya dari perspektif ekonomi bisnis. Jika melihat rakyat sebagai aset, mereka sadar kita memiliki kontribusi dalam negara. Tapi apa kontribusi mereka selama ini terhadap rakyat?” kata Dian.
Ilustrasi oleh Karina Tungari