Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi
Bayang-bayang PHK, ancaman kesehatan, serta beban ganda meningkatkan kerentanan pekerja perempuan sektor tekstil dan garmen.
“Amalia”, buruh sebuah pabrik garmen di kota Tangerang, merasa waswas akan kehilangan pekerjaannya di tengah wabah virus corona saat ini. Saat ini ia masih bekerja sebagai penjahit dan datang ke pabrik dengan shift delapan jam sehari, namun ia telah mendengar kabar tentang para pekerja pabrik di daerah lain yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan dirumahkan tanpa upah.
“Saya takut nasib saya bakal kayak begitu,” ujar Amalia, 40, pada Magdalene Senin (31/3).
Ibu dua anak itu merasa bersyukur masih memiliki pekerjaan, begitu juga suaminya yang merupakan petugas keamanan di sebuah kantor di Jakarta Barat. Tapi tak urung, dia selalu dibayangi kecemasan kehilangan pekerjaan karena pasangan tersebut tidak memiliki tabungan akibat gaji yang hanya cukup untuk hidup sehari-hari.
“Serba salah sebenarnya. Pengusaha pun sekarang pasti bingung, ini pegawai-pegawainya mau diapain. Kalau diliburkan pendapatan tidak masuk, kalau tetap dipekerjakan berarti kesehatan dan keamanan pekerjanya harus betul-betul dipantau,” ujar pekerja di PT PancaPrima EkaBrothers, salah satu anak perusahaan milik Grup Pan Brothers Tbk.
Situasi dan kondisi pekerja di berbagai sektor industri semakin tidak menentu di tengah wabah virus corona dan kebijakan pembatasan fisik serta wilayah. Hal ini meningkatkan kerentanan pekerja, baik secara ekonomi dan sosial, khususnya para pekerja perempuan di industri garmen dan tekstil.
Dikutip dari portal berita Katadata.id, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia mencapai 45,5 juta jiwa, dan industri manufaktur menempati posisi ketiga, sebagai sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja perempuan yang mencapai 6,9 juta jiwa.
Di tengah wabah COVID-19, buruh perempuan dalam industri manufaktur menjadi sangat rentan. Bagi pekerja di sektor garmen dan tekstil, hampir tidak memungkinkan bagi buruh pabrik untuk bekerja dari rumah.
Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi mengatakan, per tanggal 13 April, tiga hari setelah pemerintah Jakarta menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masih ada pabrik-pabrik di Kawasan Berikat Nasional (KBN) Cakung yang masih beroperasi seperti biasa.
Baca juga: Pramugari di Tengah Pandemi: Kerentanan Kerja Meningkat
Hal ini menimbulkan ancaman kesehatan karena penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam menghadapi korona belum merata di tiap perusahaan. Dari laporan yang diterima oleh FBLP, masih banyak perusahaan yang belum menerapkan standar K3 bekerja dalam situasi COVID-19 sesuai imbauan dari manajemen KBN Cakung.
“Untuk standar K3 di beberapa perusahaan ada sebagian yang tidak menyediakan masker, ada juga yang sudah memberikan hand sanitizer dan masker. Namun sebagian besar belum memberlakukan pembatasan sosial, dan ketika masuk ke pabrik itu masih berdesak-desakan,” kata Dian.
Situasi ini meningkatkan kerentanan dan beban ganda pekerja perempuan, ujar Dian.
“Di satu sisi ada risiko menularkan ke keluarga, di sisi lain saat ini anak-anak mereka diliburkan, tempat penitipan anak pun juga tutup. Otomatis tugas untuk mengurus anak pun juga semakin bertambah,” ujarnya pada Magdalene pada Selasa (31/3).
“Apalagi jika buruh perempuannya sedang dalam kondisi hamil. Kerentanannya makin berlipat ganda. Karena ada perubahan di tubuhnya,” ia menambahkan.
Di beberapa negara seperti Australia, kelompok ibu hamil sudah masuk ke dalam kelompok rentan dalam penanganan kasus COVID-19. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, hingga saat ini memang belum ada data konkret terkait dengan risiko tinggi pada perempuan hamil. Akan tetapi, dikarenakan perubahan pada tubuh perempuan hamil dan sistem imun mereka, hal ini membuat mereka rentan dengan infeksi saluran pernafasan.
Sejak pemerintah memberlakukan darurat bencana COVID-19 pada awal Maret dan mulai menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, beberapa perusahaan baik swasta maupun pemerintah mulai memberlakukan sistem bekerja dari rumah. Per 7 April Jumlah pasien positif virus corona mencapai 2.738, pasien yang meninggal sejumlah 221 dan yang sembuh 204, angka ini masih terus berubah dan mengkhawatirkan.
Goyangnya Industri garmen dan tekstil
Anne Patricia Sutanto, Wakil Direktur Utama PT. Pan Brothers, mengatakan, pihaknya telah menerapkan standar keamanan di tempat kerja terkait wabah COVID-19.
“Di setiap klinik perusahaan kami, sekarang sudah ada SOP penanganan COVID-19, tenaga medis sudah dilengkapi dengan APD juga. Jika ada yang tidak enak badan atau muncul gejala-gejala, kami periksa lalu diistirahatkan,” kata Anne pada Magdalene (7/4).
Baca juga: Rentan di Berbagai Sisi: Nasib Perempuan di Tengah Pandemi
Fasilitas tempat cuci tangan juga diperbanyak dan dekat dengan jangkauan pekerja. Penambahan fasilitas tempat cuci tangan ini kemungkinan akan berdampak pada kenaikan target pemakaian air bersih setiap pekerjanya. Dalam Laporan Berkelanjutan 2019, PT Pan Brothers menunjukkan bahwa pihaknya sejak 2017 telah konsisten menargetkan pengurangan air di angka 9 meter kubik per-pekerja dalam setahun.
“Untuk saat ini pemakaian air bersih dalam situasi COVID-19 biasa-biasa saja, samalah seperti pemakaian biasa,” ujar Anne.
Namun ia mengakui bahwa industri garmen dan tekstil di Indonesia juga tidak luput dari hantaman wabah COVID-19, yang mengganggu laju impor dan ekspor dari negara lain. Di tingkat domestik, daya beli di pasar pun melemah akibat kebijakan pembatasan sosial.
Menanggapi situasi ini, Anne mengatakan bahwa perusahaan sekarang lebih berfokus dalam produksi perlengkapan kesehatan seperti, masker, dan alat pelindung diri (APD) untuk petugas medis.
“Ini menjadi tantangan bagi kami karena memproduksi masker juga APD bukan bisnis utama kami. Tapi kami tetap berkomitmen untuk membantu pemerintah dan juga masyarakat Indonesia,” ujar Anne.
Organisasi pemantau hak-hak buruh Workers Rights Consortium menyatakan dalam lamannya bahwa wabah COVID-19 berdampak pada pekerja pabrik garmen di seluruh dunia, mulai dari pabrik yang tutup dan tidak membayarkan upah pekerjanya, hingga pabrik yang hanya membayarkan upah pekerjanya setengah dari upah.
Pekerja garmen di Bangladesh, yang sebagian besar merupakan perempuan dari daerah perdesaan, banyak yang dipulangkan tanpa diupah, menurut laporan The New York Times pada 31 Maret.
Anne mengatakan pihaknya berharap keringanan perpajakan dari pemerintah. Selain itu, ia juga berharap pemerintah tidak memberlakukan lockdown, karena hal ini akan berdampak pada komitmen Pan Brothers dalam produksi masker, dan Baju APD untuk tenaga medis di seluruh Indonesia.
Tidak ada alasan bagi perusahaan besar untuk melakukan PHK, karena akan sulit bagi perusahaan untuk mencari pekerja baru lagi dan tentunya pengeluarannya pun akan lebih mahal.
“Kalau pekerja dirumahkan, produksi masker dan APD terganggu untuk tenaga-tenaga medis yang saat ini bekerja di lapangan. Maka dari itu kami betul-betul memperhatikan kesehatan dan kebersihan pekerja kami,” ujarnya.
“Yang kedua, jika lockdown, kami kan juga butuh membayar gaji pekerja kami,” tambahnya.
Untuk membantu pihak pengusaha, saat ini pemerintah juga sudah mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi dalam perpajakan. Dalam rilis pernyataan Kementerian Keuangan, pemerintah sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp70,1 triliun untuk membantu sektor industri, yang mencakup Rp52 triliun untuk menanggung pajak penghasilan (PPh21) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPn); Rp12 triliun untuk pembebasan bea masuk; dan Rp6,1 triliun untuk stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Bayang-bayang PHK
Seperti yang dipikirkan oleh Amalia, buruh pabrik garmen dan tekstil di Indonesia juga resah dengan upah yang tidak dibayar hingga pemutusan hubungan kerja. Dian Septi, mengatakan, dari laporan yang diterima FBLP, banyak buruh dari kawasan KBN Cakung terancam dirumahkan tanpa mendapatkan upah.
“Saat ini banyak yang masih dalam tahap perundingan, ada juga yang sudah meliburkan tanpa dibayarkan. Salah satunya PT. Amos Indah Indonesia, dengan sekitar 800 buruh terancam dirumahkan tanpa dibayarkan upahnya, saat ini dalam tahap perundingan,” ujar Dian.
“Ini sangat bergantung pada kapasitas buruh dan serikatnya bernegosiasi dengan perusahaan, sementara kita tahu bahwa relasi antara buruh dan perusahaan itu timpang sekali. Jadi situasinya sulit,” ia menambahkan.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Ketenagakerjaan sudah mengeluarkan surat edaran yang menghimbau perusahaan untuk tetap mengupah pekerjanya walaupun dirumahkan. Menanggapi hal ini, menurut Dian himbauan tersebut justru memperlemah posisi buruh dalam bernegosiasi.
“Di dalam edaran tersebut disampaikan bahwa apabila diliburkan, dalam hal upah bisa didiskusikan di tempat kerja. Itu artinya, boleh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Kalau sudah seperti ini apakah buruh berani menawar? Ya tentu tidak karena posisinya lemah,” ujarnya.
Dian menambahkan, seharusnya negara memberikan kepastian hukum yang ketat dan melindungi pekerja bukan hanya sekadar himbauan saja dan menyediakan kartu pra-kerja.
Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti
“Selain itu, di tengah kondisi seperti ini pemerintah harus memastikan agar perusahaan tidak kabur, karena dalam situasi seperti ini rentan sekali perusahaan kabur. jadi sanksinya dipertegas bukan malah diperlonggar,” ujarnya.
Setelah mengeluarkan surat edaran untuk perusahaan terkait dengan perlindungan pekerja, saat ini Kementerian Ketenagakerjaan juga tengah mempersiapkan kartu pra-kerja yang saat ini beralih fungsi membantu pekerja yang terkena PHK. Dikutip dari Kompas.com, pekerja formal maupun informal dapat mendaftar untuk mengikuti program ini dan mendapatkan insentif untuk pelatihan sebesar Rp1 juta dan insentif pasca-pelatihan sebesar Rp600 ribu setiap bulan selama empat bulan ke depan.
Ekonom Aviliani mengatakan, kebijakan-kebijakan ekonomi yang saat ini dikeluarkan oleh pemerintah baik untuk membantu masyarakat maupun pengusaha sudah baik. Ia menekankan pemerintah harus melihat secara teliti mana saja perusahaan yang pekerjanya terkena imbas dari wabah ini.
“Kalau perusahaan besar kan punya cadangan laba yang disimpan jika terjadi apa-apa. Nah, sebelumnya juga pemerintah telah memberikan banyak relaksasi kebijakan untuk membantu pengusaha,” ujar Aviliani pada Magdalene.
Ia menambahkan, seharusnya tidak ada alasan bagi perusahaan besar untuk mem-PHK para pekerjanya, karena akan sulit bagi perusahaan untuk mencari pekerja baru lagi dalam kondisi seperti ini, dan tentunya pengeluarannya pun akan lebih mahal.
“Pihak pengusaha seharusnya mengubah cara pikir mereka, dan mengutamakan sumber daya manusia mereka saat ini. Ya tidak apa-apa kalau misalkan pemasukan turun, kan memang kondisinya berbeda dari biasanya,” ujarnya.
Artikel ini merupakan bagian dari liputan “Pekerja Perempuan di Masa Pandemi COVID-19″, yang didanai oleh fellowship Sustainability Report yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Global Initiative Report (GRI).
Ilustrasi oleh Karina Tungari