Kalau Ada yang Melakukan Banyak Hal dalam Waktu Singkat, Teddy Lah Orangnya
Teddy, begitu ia kami kenal, terkenal pemarah. Tapi, lewat marahnya, banyak sekali yang telah ia lakukan demi penyintas kekerasan seksual dan perjuangan hak-hak LGBTQ.
Muhammad Wildan Teddy Bintang Prakosos Has. Namanya sepanjang itu, tapi dia selalu memilih dipanggil Teddy. Di media sosial dan ruang publik, ia selalu memasang Wildan Teddy untuk menyingkat namanya. Dulu, sekitaran 2018, saat kami baru kenal, saya pernah silap memanggilnya Wildan. Berkali-kali. Sebagaimana orang Indonesia selalu memanggil nama depan sebagai panggilan, saya kira saya tak salah. Sampai suatu kali, saya agak dihardik dan diminta tegas untuk memanggilnya Teddy.
“Sudah dua kali saya ingatkan, panggilnya Teddy. Bukan Wildan,” katanya.
Wah, galak juga, pikir saya. Impresi ‘galak’ ternyata bukan cuma datang dari saya. Dalam beberapa kali duduk-duduk ngopi pertama kami, Teddy cerita bahwa ia memang sering dicap pemarah. “Mungkin ya pembawaanku. Isu-isu yang aku bawa kan juga penuh kemarahan. Orang-orang akan selalu notice itu (sikap galak) duluan,” katanya.
Baca juga: Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari
Tak ada penyesalan atau ketidaknyamanan di sana. Teddy tau ia pemarah, dan tidak keberatan dengan itu.
Saya suka mengejeknya sebagai aries totok. Dalam astrologi, bintang berlambang kambing itu termasuk elemen api. Mereka yang lahir sebagai aries di-stereotip-kan pemarah, dan suka beraksi dulu baru berpikir. Candaan itu seringnya cuma dibalas ketawa sinis. Seperti akademisi dan orang-orang yang besar dalam sains, di pertemuan-pertemuan pertama kami, dia tidak percaya astrologi. Baru belakangan, ia sepakat dengan saya kalau astrologi bisa jadi lingo tongkrongan buat seru-seruan.
Kemarahannya pernah Teddy jelaskan dalam pidato Tedx Talks-nya pada Maret 2020. Judulnya saja agak sedikit meng-gaslight, kalau tidak boleh disebut provokatif: “Apakah Kita Sudah Benar-benar Marah?”
Di sana Teddy mengajak kita semua untuk ikut marah bersamanya. Ia dikenal sebagai mahasiswa aktif yang selalu berkoar-koar tentang hak korban dan penyintas kekerasan seksual sejak berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bukan cuma koar-koar, dia juga jadi salah satu penggagas HopeHelps, sebuah crisis center yang awalnya berfokus mengarsipkan dan membantu korban serta penyintas kekerasan seksual di kampus.
Pada 2017, saya pertama kali berkenalan dengan HopeHelps saat melakukan investigasi kasus kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia. Laporan yang lalu menjadi cikal-bakal #NamaBaikKampus, sebuah kolaborasi jurnalistik yang mencatat 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Prof Azyumardi Azra, Intelektual Islam Jadi ‘Sir’ Pertama dari Indonesia
Saat itu saya bertemu Putri Salsa, koordinator utama HopeHelps. Kerja-kerja mereka jadi istimewa karena jadi satu-satunya organisasi yang paling terdepan membahas epidemik kekerasan seksual, dan bahkan berupaya melakukan perlindungan para korban. Selain itu, mereka juga getol mengusahakan advokasi membuat SOP untuk menangani dan melapor kasus kekerasan seksual berdasarkan perspektif melindungi korban. Terutama untuk lingkungan kampus—sesuatu yang pada waktu itu masih jadi hal tabu dan tak banyak yang mendukung.
Masa-masa itu memang jauh berbeda dari hari ini. Tidak banyak orang yang mengerti istilah “berperspektif korban”—sebuah istilah yang dipakai para aktivis anti-kekerasan seksual untuk menggambarkan penanganan kasus yang ramah terhadap hak korban. Dulu, hal ini dianggap mitos. Korban yang berani bicara akan gampang dicap caper. Sehingga mereka mudah diviktimisasi berkali-kali. Tak ada regulasi atau produk hukum yang bisa membantu siapa pun yang percaya hak korban kekerasan seksual harus selalu dikedepankan. Hal itu yang diperjuangkan HopeHelps.
Saya masih ingat tatapan curiga Putri Salsa saat saya coba menggali catatan jumlah korban yang berhasil mereka rekam. Isu kekerasan seksual diliput media? Oleh jurnalis yang bentukannya laki-laki? Hari-hari itu tatapan curiga Salsa terasa sangat wajar. Liputan berperspektif korban masih mitos belaka.
Sampai hari ini sendiri, media masih belajar menulis dan mengungkap kasus kekerasan seksual dengan adil.
Tapi, di sanalah peran besar Teddy berada. Ia bukan cuma vokal bicara hak-hak korban kekerasan seksual. Ia juga melela (coming out) sebagai penyintas. Bukan cuma memercik percakapan tabu lain tentang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual, tapi juga berani vulnerable di depan publik menyebar amarahnya.
Lewat marahnya, ia mengajak kita menyalami dunia gelap para penyintas untuk sama-sama bergandeng tangan mencari cahaya di atas permukaan.
Marah Itu Cinta
“Suatu pagi, aku menelpon ibuku sambil nangis: “Mak, peraturan menteri e wis disahno!” (Mak, peraturan menterinya sudah disahkan!)
Kalimat itu jadi pembuka caption foto yang diunggah Teddy 15 November 2021, di instagram pribadinya. Isinya muka Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang sedang menatap ke arah Teddy—yang sedikit blur, tapi kelihatan sedang bicara.
Foto itu diambil dari salah satu sesi dengar tim sang menteri dengan beberapa aktivis dan ahli tentang pentingnya aturan penanganan kekerasan seksual di level kampus, pada Maret 2020. Pertemuan-pertemuan itu lalu menghasil Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi—sebuah kemenangan besar buat korban dan penyintas kekerasan seksual, terutama di lingkungan kampus, karena akhirnya punya instrumen hukum yang melindungi haknya.
Teddy jadi salah satu dari lima orang yang getol mendorong dan menjelaskan pada tim Nadiem tentang betapa pentingnya aturan itu. Saya salah satu orang yang dihubungi Teddy sejak proses itu terjadi setelah demo anti-kekerasan seksual di depan Kemendikbud Maret 2020. Sampai akhirnya aturan itu disahkan pada Agustus 2021, saya terus berkorespondensi dengan Teddy membicarakan update-nya.
Baca juga: Sepotong Sore Dekat Iduladha Bersama Shinta Ratri
Secara profesional, momen-momen itu adalah upaya Teddy—sebagai salah satu yang melobi dan mengawasi aturan tersebut—untuk mengajak jurnalis mengarsipkan prosesnya. Secara personal, masa-masa itu jadi istimewa, setidaknya bagi saya, karena marah Teddy mulai melunak. Pertemanan kami sempat merenggang. Saya tidak bisa sebutkan detailnya, tapi Teddy si tukang marah, sempat marah besar pada saya.
Momen-momen Permendikbud PPKS disahkan jadi jembatan pertemanan kami membaik lagi. Meski setelah itu, Teddy terbang ke Bali dan berdomisili di sana. Ia bekerja untuk sebuah firma hukum. Dari sana, kerja-kerja Teddy memperjuangkan isu anti-kekerasan seksual terus berlanjut.
Kami masih sering betukar kabar atau cerita lewat instagram. Dan bertemu tiap saya ke Bali, atau dia sedang di Jakarta. Di tengah obrolan kawan pada umumnya (kami berdua penggemar RuPaul’s Drag Race), sesekali Teddy juga merepotkan saya dengan kerja-kerja akademisinya. Juli lalu misalnya, ia meminta saya mengubek-ubek lagi data #NamaBaikKampus untuk membantunya mengurusi PPKS di salah satu kampus besar di Indonesia.
“Makasi banyak yaaa Adam. Pahalamu besar di surga penuh theys and queers,” katanya.
Kini, dia duluan yang pergi ke surga itu. Membacanya lagi, tak bisa bikin saya tidak nangis.
Orang-orang besar, seperti Teddy memang akan dikenang karena kerja-kerja luar biasanya buat banyak orang. Tapi, selain orang besar, Teddy adalah teman baik buat saya. Dari dia saya belajar banyak tentang bagaimana mengelola marah, merawat marah sambil menjaga yang kita cinta.
Sesekali ia akan mengirimkan bahan bacaan, meme seputar drag race, atau bertukar gosip tentang film, budaya populer, dan semacamnya. Suatu kali, sebulan setelah ayah saya meninggal November lalu, ia mengirimkan potongan bab “Grief” dari The Year of Magical Thinking karya Joan Didion.
“Adam, lagi reread The Year of Magical Thinking yang entah keberapa kali, terus this reminds me of you. Hope you’re getting stronger each day,” katanya.
Dua minggu sebelum dapat kabar Teddy meninggal, kami masih berbincang di DM Instagram. Saya baru mengadu putus. Dia menguatkan dan bilang kalau Bali tempat yang asyik buat proses healing—penyembuhan—dari grief, duka. Mengajak saya ke sana, sebentar. Setahun ini kami memang sering membicarakan duka. Sialnya, Teddy si tukang marah yang kali ini cari gara-gara.
Saya jadi teringat potongan kalimat panjang yang ditulis Joan di bab “Grief”:
Grief turns out to be a place none of us know until we reach it. We anticipate (we know that someone close to us could die, but we do not look beyond the few days or weeks that immediately follow such an imagined death. We misconstrue the nature of even those few days or weeks. We might expect if the death is sudden to feel shock. We do not expect this shock to be obliterative, dislocating to both body and mind. We might expect that we will be prostrate, inconsolable, crazy with loss. We do not expect to be literally crazy, cool customers who believe that their husband is about to return and need his shoes. In the version of grief we imagine, the model will be “healing.” A certain forward movement will prevail. The worst days will be the earliest days.
Hari-hari awal itu masih bikin mata panas selalu, Teddy. Kami masih berduka, karena kamu. Tapi, sambil menunggu bertemu lagi, tolong jaga surga kita. Biar perjuangan kamu di sini, kami yang lanjutkan.