Magdalene Primer: RUU Ketahanan Keluarga yang Super Halu
Dear Wakil Rakyat, peran gender yang kaku bukan jawaban untuk mempertahankan keluarga, kalau memang perlu dipertahankan.
Belum dua bulan kita menjalani tahun 2020, tetapi para pembuat undang-undang kembali membuat pusing karena memunculkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Sebagaimana judulnya, tujuan dibuat RUU yang diusulkan oleh beberapa legislator itu adalah untuk “memperkuat ketahanan keluarga dari ancaman globalisasi yang membuat struktur keluarga tradisional memudar.”
Hal ini pun kembali ditentang keras oleh banyak aktivis gender karena mengembalikan perempuan dalam ranah domestik dan menghambat pencegahan serta penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Apa itu RUU KetaHAnan KeLUarga (HALU)
Bagi beberapa orang yang sudah akrab dengan kampanye ketahanan keluarga, RUU yang sudah diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sejak tahun lalu ini sebenarnya bukan hal yang baru. RUU ini digagas oleh lima orang anggota DPR: Ledia Henifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Endang Maria Astuti dari Fraksi Golongan Karya (Golkar); Sodik Mudjahid dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): dan Ali Taher dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Pada awal tahun ini, RUU Ketahanan Keluarga (HALU) tiba-tiba nyundul masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
RUU HALU terdiri dari 15 bab dan 146 pasal. Dalam naskah akademik yang beredar, disebutkan beberapa hal yang melatarbelakangi urgensi pembentukan RUU ini: Ancaman globalisasi yang mengubah nilai-nilai tradisional keluarga, keluarga menjadi bagian terkecil dari ketahanan nasional, dan masih sedikitnya undang-undang yang mengatur urusan keluarga, itu pun masih parsial dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mengapa RUU ini bermasalah?
Aktivis perempuan Ratna Batara Munti, yang juga pengurus Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), mengatakan bahwa kemunculan RUU Ketahanan Keluarga menunjukkan peningkatan kekuatan konservatisme dan kepanikan moral di kubu pemerintah. Rancangan aturan ini juga menarik segala masalah ke dalam nilai moralitas satu kelompok mayoritas agama, ujarnya.
“RUU ini juga mengabaikan aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang CEDAW,” kata Ratna kepada Magdalene, Kamis (20/2).
Baca juga: Magdalene Primer: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada
Di dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, banyak pasal yang secara kaku mengatur peran-peran gender di dalam keluarga. Pasal 25 ayat 3, misalnya, memuat tiga kewajiban istri, yakni mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, serta wajib memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya, RUU tersebut tidak menjabarkan secara detail apa yang menjadi kewajiban suami, hanya bahwa dia adalah kepala keluarga. Peran laki-laki yang kembali dikukuhkan sebagai kepala keluarga, menurut Ratna, semakin melanggengkan konsep keluarga yang kaku dan tidak mendukung upaya-upaya penghapusan kekerasan berbasis gender.
“Dari banyak penelitian sudah terbukti kok bahwa penyebab banyak kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) adalah struktur perkawinan yang dilandasi oleh ketimpangan gender, di mana laki-laki ditempatkan sebagai pihak yang superior. Hal ini pasti sangat berdampak pada segala aspek,” ujar Ratna.
Ia menambahkan, RUU HALU ini merupakan kemunduran besar dari pihak pemerintah yang sudah melahirkan UU Penghapusan KDRT. Padahal, ujarnya, jika ingin UU PKDRT berjalan dengan baik, pemerintah harus mengamandemen UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait pasal yang mengatur peran kaku laki-laki sebagai kepala keluarga.
Selain itu, RUU HALU ini juga mewajibkan cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan. Sekilas aturan ini terlihat lebih maju dan memberikan harapan bagi perempuan, karena Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 hanya memberikan cuti hamil dan melahirkan selama tiga bulan bagi pekerja perempuan. Namun, ketika ditelaah lagi, pasal ini hanya ditujukan kepada para pekerja di instansi negara, dan tidak disebutkan mengenai pekerja di sektor lain.
Terlalu jauh mencampuri privasi
RUU HALU ini juga menjadi sorotan karena adanya pasal-pasal kontroversial yang akan menyerang hak privasi warga negara. Hal ini terlihat dari pasal yang mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) termasuk dalam kategori penyimpangan seksual yang harus dilaporkan ke lembaga ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi.
Baca juga: Kampanye KemenPPPA Soal Ketahanan Keluarga Hapus Beragam Identitas Perempuan
Menurut Ratna, hal ini sudah terlalu jauh dan melanggar hak privasi dari warga, dan seharusnya sejalan dengan UU PKDRT bahwa negara tidak bisa mengintervensi kecuali ada KDRT di dalamnya.
“Negara baru bisa mengintervensi jika di sana terbukti ada kekerasan, seperti kekerasan psikis, dan fisik. Kenapa malah membuat norma baru yang melanggar hak sipil orang. Itu kan hak personal,” kata Ratna.
“Akhirnya kita tidak merasa aman dalam kehidupan rumah tangga kita, karena negara akan hadir di setiap tempat tidur warganya.”
Waspada dan pantau RUU HALU
Sejumlah media memberitakan bahwa sejumlah wakil rakyat tidak menyetujui RUU ini. Ketua DPR Puan Maharani dikutip mengatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini terlalu jauh mengintervensi ranah privat. Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Fraksi Golkar, Nurul Arifin, menyatakan merasa kecolongan karena ada anggota fraksi yang mengusung RUU tersebut. Ia mengatakan, seharusnya anggota tersebut harus berkonsultasi kepada fraksi untuk menjadi pengusung RUU.
Anggota Fraksi Golkar yang lain, Sufmi Dasco, dikutip media dengan mengatakan bahwa Fraksi Golkar akan memanggil Sodik Mudjahid untuk dimintai keterangan. Selain itu, ia juga mengatakan sebagian besar anggota Fraksi Gerindra menolak adanya RUU ini, dan tengah mengkaji isi dari RUU tersebut.
Meski demikian, masyarakat dan gerakan perempuan harus tetap waspada dan memantau RUU ini, ujar Mutiara Ika dari Organisasi Perempuan Mahardhika.
“Belajar dari kegagalan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), yang awalnya terlihat banyak yang mendukung. Namun yang sangat mengecewakan, ketika RUU PKS ingin dibahas di awal September itu, tiba-tiba enggak ada yang datang. Ini memperlihatkan minimnya keberpihakan terhadap korban,” ujar Ika kepada Magdalene, pada Jumat (21/2).
“Ini bukan hanya masalah RUU Ketahanan Keluarga yang ngawur dan bahasanya yang tidak masuk akal. Tetapi yang utama adalah ini mengaburkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.”