RUU PKS Hadapi Ketidakpastian
Setelah dikeluarkan dari daftar RUU Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS sedang mengalami ketidakpastian hingga Oktober mendatang.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhirnya resmi dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Marwan Dasopang, anggota Komisi XIII DPR yang membawahi urusan agama dan sosial termasuk isu perempuan, dalam kutipan berbagai media mengatakan bahwa langkah tersebut diambil karena menurutnya pembahasan RUU PKS agak sulit dilakukan untuk tahun ini.
Langkah pengeluaran ini disayangkan sejumlah pihak, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa Ansor mengatakan kasus kekerasan seksual terus tinggi dari tahun ke tahun. Dalam periode 2011 hingga 2019, ujarnya, Komnas Perempuan mencatat 46.698 pelaporan kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di ranah personal maupun publik.
“Data yang terhimpun in merupakan fenomena gunung es yang belum menggambarkan keadaan sesungguhnya, karena ini data yang terlapor. Dan setiap tahun datanya konsisten mengalami peningkatan. Kami menganggap hal ini merupakan bentuk dari pembiaran negara terhadap korban,” ujar Maria dalam diskusi daring “Pro Kontra RUU PKS: Mau Dibawa Ke Mana?” yang diselenggarakan oleh Organisasi Rumah Kebangsaan (23/7).
Ia menambahkan bahwa masih banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum karena belum adanya jaminan hukum yang akan melindungi korban dan hak korban dalam mendapatkan pertolongan juga pemulihan.
Anggota DPR Diah Pitaloka mengatakan, RUU PKS memang sangat mendesak, namun tidak semua anggota DPR memahami isu kekerasan seksual. Akibat dari perbedaan cara pandang dan literasi mengenai isu kekerasan seksual ini, pembahasan RUU melebar ke isu perzinaan dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), ujarnya.
Baca juga: Mengapa Indonesia Perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual
“Karena pembahasannya waktu itu di dalam definisi kekerasan seksual ada unsur pemaksaan, pihak kontra langsung mengambil kesimpulan kalau tidak ada pemaksaan atau suka sama suka itu boleh alias melanggengkan perzinaan dan LGBT. Padahal substansi RUU ini untuk membantu korban mendapatkan kepastian hukum,” ujar Diah, anggota Komisi XIII DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), dalam acara diskusi yang sama.
Munculnya diskursus seperti ini, menurut anggota DPR Taufik Basari, salah satunya karena dalam periode sebelumnya, RUU ini dibahas dalam Komisi XIII yang membidangi agama, sosial, dan perempuan, oleh sebab itu dua diskursus tersebut pun muncul.
“Maka dari itu dalam periode sekarang, di rapat Badan Legislasi (Baleg) lalu, kami mengusulkan agar pembahasan RUU PKS dilakukan di Baleg atau Panitia Khusus (Pansus) saja, agar pembahasannya bisa lintas komisi karena memang RUU PKS ini kan isinya beragam, ada isu kesehatan, pendidikan dan pidana,” kata Taufik, yang merupakan anggota Komisi III DPR yang membawahi urusan hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.
Walaupun saat ini mengalami sedikit ketidakpastian, Taufik mengatakan bahwa saat ini sudah ada dukungan-dukungan dari anggota DPR dari beberapa fraksi. Namun, hal ini belum cukup dan mereka masih menunggu dukungan secara resmi dari fraksi partai lainnya terhadap RUU PKS.
“Ketika Prolegnas prioritas 2020 dievaluasi, Nasdem melakukan lobi yang akhirnya mendapatkan kesepakatan politik bahwa di Oktober nanti RUU PKS bisa kembali masuk ke prioritas 2021. Kami mengajak kepada fraksi-fraksi lain untuk bersama-sama menjadi pengusul RUU PKS ini karena semakin banyak yang mengusulkan maka akan semakin baik,” kata Taufik yang berasal dari Partai Nasdem.
Baca juga: Komnas Perempuan: Sahkan RUU PKS atau Risiko Dipermalukan di Dunia Internasional
Meluruskan narasi keliru
Taufik mengatakan saat ini pekerjaan rumah untuk semua pihak yang mendukung RUU PKS adalah meluruskan kembali narasi-narasi keliru yang terlanjur beredar di masyarakat.
“Ini juga karena di periode sebelumnya, pembahasan RUU PKS juga mendekati masa-masa kampanye Pemilu 2019. Maka dari itu banyak juga yang menggunakan narasi keliru ini untuk komoditas politik mereka,” ujarnya.
Sependapat dengan Maria dan Diah, Taufik mengatakan RUU PKS memang sangat diperlukan karena sebagian besar itu tidak masuk ke ranah pidana, sehingga para korban tidak mendapatkan jaminan keamanan hukum.
“Apalagi realitasnya saat ini ketika korban menjalani proses hukumnya, banyak juga dari mereka yang menjadi korban untuk kedua kalinya. Nah, kondisi ini yang menunjukkan bahwa masih adanya kekosongan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual,” tambah Taufik.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Ansor mengingatkan kembali enam elemen penting yang menjadi substansi dari RUU PKS, termasuk aspek pemulihan, aspek pencegahan, aspek pendampingan, dan sembilan jenis kekerasan seksual.
“Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kita yang saat ini, definisi kekerasan seksual belum mencakupi realitas di lapangan. Apalagi saat ini bentuk kekerasan seksual semakin beragam. Maka dari itu RUU PKS ini sangat penting untuk disahkan,” kata Maria.