Memahami ‘Consent’ Lebih Jauh untuk Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual
Payung hukum yang ada sekarang memiliki keterbatasan dalam pengertian ‘consent’ sehingga belum cukup untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Ketika membicarakan kasus kekerasan seksual, banyak orang di Indonesia masih cenderung menyalahkan korban atau mempertanyakan apakah mereka “memancing” ataupun “memungkinkan” kekerasan tersebut terjadi. Tidak jarang orang bertanya pada korban, “Apa baju yang kamu pakai?”.
Selain itu, masih ada bentuk tindakan yang tidak dianggap sebagai kekerasan seksual, seperti jika terjadinya di ranah daring, korbannya adalah laki-laki dewasa, atau terjadi di dalam pernikahan. Ketiadaan pengakuan bentuk kekerasan seksual semacam itu semakin menghambat penyelesaian kasus kekerasan seksual dan pemberian pemulihan serta keadilan bagi korban.
Di Indonesia, banyak orang yang masih belum memahami perihal persetujuan atau consent dalam suatu relasi. Padahal, konsep ini merupakan elemen penting yang menentukan apakah suatu hal disebut sebagai kekerasan seksual atau bukan.
Jika korban berpakaian dengan cara tertentu, apakah artinya ia mengizinkan seseorang untuk “bertindak”? Jika korban mengizinkan satu hal, apakah itu dapat diartikan sebagai undangan untuk melakukan lebih? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merujuk kepada permasalahan persetujuan atau “consent”, yang nampaknya masih kurang dipahami atau dipedulikan di Indonesia.
Apa Itu Consent dan Mengapa Consent Penting
“Persetujuan” atau “consent” secara general dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan antar pihak dalam suatu aktivitas, termasuk interaksi seksual. Menurut sebuah organisasi anti kekerasan seksual di Amerika bernama Rape, Abuse & Incest National Network (RAINN), persetujuan dapat ditarik kembali setiap saat.
Hal ini juga harus diberikan ketika ada perubahan dalam suatu aktivitas seksual, karena ketika seseorang mengatakan “iya” ke satu hal, bukan berarti yang sama berlaku kepada hal lain. Ketika seseorang pasif ataupun tidak mengatakan “tidak”, hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai consent, karena consent harus dengan jelas dinyatakan.
Definisi dan elemen-elemen penting dalam consent seperti yang disebutkan tadi dapat ditemukan dalam hukum di beberapa negara lain. Di Swedia misalnya, yang jadi penentu utama apakah sebuah kekerasan seksual benar-benar terjadi bukanlah keberadaan paksaan, ancaman, atau kerapuhan korban, melainkan sesuatu yang sangat mendasar, yaitu tidak adanya consent. Mereka memiliki istilah “negligent rape” dan “negligent sexual abuse”, yakni kasus-kasus di mana pelaku “tidak bermaksud” melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tetapi tidak mendapatkan consent jelas dari korban dan tetap menjalankan aktivitas seksual.
Selain menetapkan legislasi yang menghukum kekerasan seksual, Swedia juga pernah melakukan riset yang menemukan bahwa 70 persen perempuan yang diperkosa mengalami significant tonic immobility, dan 48 persen mengalami extreme tonic immobility. Tonic immobility adalah respons alami otak yang membuat badan lumpuh karena rasa ketakutan berlebihan. Pada saat ini terjadi, kerja area prefrontal otak yang bertanggung jawab untuk berpikir rasional terganggu. Itulah sebabnya sikap “pasif” atau “tidak menolak” tidak diakui sebagai consent di Swedia.
Tidak hanya di negara-negara Barat, di negara Asia seperti Singapura juga mengakui pentingnya consent dalam menentukan apakah ada sebuah kasus kekerasan seksual dalam hukumnya.
Baca juga: Manipulasi dalam Pacaran Rentan Lahirkan Kekerasan Seksual
Lingkup Kekerasan Seksual dan Consent yang Terbatas
Di Indonesia, kekerasan seksual tergolong sebagai sebuah kejahatan kesusilaan, dan istilah tersebut sebenarnya tidak ada di dalam hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), jenis kekerasan seksual yang diakui hanya perbuatan cabul dan pemerkosaan. Lebih lanjut dalam hukum kita sekarang, dikatakan bahwa pemerkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang laki kepada seorang perempuan dan terbatas pada penetrasi alat kelamin.
Dari pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan kekerasan seksual, yakni Pasal 285 hingga 290, faktor-faktor penentu utama adanya kekerasan antara lain adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, korban tidak sadarkan diri atau tidak berdaya, korban berumur di bawah 15 tahun atau umurnya tidak jelas, serta jika pelaku dan korban tidak dalam hubungan menikah. Secara tersirat, KUHP mengatur bahwa persetujuan untuk berhubungan seksual tidak bisa diberikan hanya dalam keadaan-keadaan ini saja.
Di KUHP, tidak dikenal istilah pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape). Pada tahun 2018, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa ada sebanyak 195 laporan kasus marital rape.
Meskipun UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengakui adanya marital rape di Pasal 8, yang melarang pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap di sebuah rumah tangga, KUHP lebih sering dikedepankan. Di samping itu, menurut laporan dari Komnas Perempuan, walau UU PKDRT sudah diberlakukan selama 14 tahun, hanya 3 persen kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan akhirnya sampai ke pengadilan.
Mengenai perbuatan cabul, masih banyak perdebatan tentang apa yang masuk dalam kategori itu. Sebagai contoh, perbuatan cabul secara verbal seperti catcalling, kekerasan berbasis gender online (misalnya pengeditan foto tidak senonoh), atau sentuhan fisik tertentu masih dianggap sebagian orang bukan bentuk kekerasan seksual. Ini terjadi karena ada multitafsir terhadap definisi “menyerang kehormatan kesusilaan” seperti tercantum di pasal 289 KUHP.
Baca juga: Manipulasi ‘Consent’ dan Relasi Kuasa di Balik Kekerasan Berbasis Gender Online
Consent dalam RUU PKS
Permasalahan-permasalahan inilah yang mendorong munculnya inisiatif membuat Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam RUU ini, kekerasan seksual didefinisikan secara lebih luas demi menjamin perlindungan bagi korban.
Di sana dikatakan bahwa kekerasan seksual merupakan “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya atau politik.”
Definisi ini lebih baik karena lebih menyoroti perkara consent yang merupakan elemen utama dalam menentukan adanya kekerasan seksual. Karena itu, RUU PKS sangat penting untuk disahkan mengingat urgensi saat ini, di mana kekerasan seksual terus terjadi dan banyak yang tidak terselesaikan karena keterbatasan payung hukum yang ada.