Peringatan pemicu: Gambaran bunuh diri
Saya melihat jam di telepon genggam, sudah pukul 04.35 pagi. Mata saya yang berkaca-kaca mulai meneteskan airnya. Adegan Brooks Hatlen saat memutuskan untuk gantung diri dengan seutas tali tambang dalam film The Shawshank Redemption ternyata memicu ingatan buruk yang belum juga pulih. Saya menghapus air mata dan segera menyalakan laptop. Saya ingin menulis.
***
Senin, 10 Agustus 2020, sekitar pukul 9.30 pagi, saya dibangunkan oleh telepon dari adik perempuan pertama saya. Sebelum sempat diangkat, panggilan itu terputus. Saya melihat ada lebih dari 10 notifikasi pesan di WhatsApp dari adik perempuan dan Mama. Isi pesannya tidak jelas, tapi mengkhawatirkan: “Angkat telepon Mama.”
Tidak lama, ada panggilan video dari Mama dan segera saya terima. Suara Mama terdengar keras, dia menangis.
“Abang, pulang, Bang. Papa, Bang… Pulang, Bang.”
Mama mengalihkan kamera ke arah Papa yang sepertinya sedang terbaring, diam. Saat itu, saya masih belum tahu apa yang terjadi. Saya hanya tahu Papa sedang tidak baik-baik saja.
“Cari tetangga, panggil taksi, minta tolong sama RT, bawa ke rumah sakit,” pinta saya kepada adik ipar yang menemani Mama saat itu.
Dengan sepeda motor, saya bergegas pulang. Perasaan tidak enak, khawatir, takut, dan curiga bercampur. Jantung berdetak sangat kencang, membuat saya terkadang sulit untuk bernapas.
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya saya sampai di rumah. Ada satu mobil polisi dan satu ambulans terparkir di ujung gang. Di depan rumah, warga berkumpul. Setelah motor terparkir, saya berlari dan berteriak, “Di mana Papa?”
“Papa di atas, Bang,” ujar salah satu tetangga yang ada di situ.
Papa terbaring beralaskan tikar. Tubuhnya ditutup dengan selimut kesayangan. Selimut yang selalu dia minta pada Mama saat ingin tidur.
“Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya saya pada semua orang yang ada di sana.
“Tunggu sebentar ya, Mas,” ucap salah seorang petugas dari Polsek Metro Bekasi Selatan.
Tidak lama, satu mobil polisi datang bersama tim forensik. Sekitar lima orang yang saya ingat. Dua berseragam polisi, tiga menggunakan jas putih seperti jas yang dikenakan oleh dokter.
Mereka membuka selimut yang menutupinya, lalu mengambil gambar leher dengan bekas jeratan yang sangat nyata. Mereka lantas berjalan ke sekitar ruangan, menggenggam seutas tali plastik, lalu mengambil gambarnya pula. Saya ikut menemani mereka.
Situasi serbasalah selama krisis
Pilihan Brooks Hatlen untuk mengakhiri hidup bisa dimengerti. Selama 50 tahun di dalam penjara, dia hidup dan memiliki teman yang memahaminya layaknya keluarga di sana. Begitu mendapatkan kesempatan untuk bebas bersyarat, Hatlen justru takut. Dia tidak merasa “hidup” di luar penjara.
Hatlen mendapat tempat tinggal sementara yang diberikan sebagai fasilitas pembebasan bersyarat. Sebuah flat atau seperti kamar kos di Indonesia yang isinya hanya tempat tidur, kaca rias, meja, kursi, dan lemari. Di langit-langit, banyak pesan-pesan kematian yang diukir menggunakan benda tajam oleh orang-orang yang sebelumnya mendapatkan pembebasan bersyarat seperti dirinya.
Baca juga: 3 Cara Hadapi Ketidakpastian di Tengah Pandemi
Meski Hatlen mendapat pekerjaan di sebuah supermarket sebagai petugas yang memasukkan barang-barang belanjaan pembeli ke dalam kantong kertas, ia menjalani hari-harinya dengan rasa takut dan khawatir. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Keahliannya sebagai petugas perpustakaan penjara tidak berguna di “dunia luar”.
Ia frustrasi dan memilih mengakhiri hidupnya.
Dua hari setelah Papa wafat, saya menemukan buku harian di laci meja kerjanya. Saya membuka buku itu dan melihat lima lembar tulisan menggunakan aksara Jepang. Iya, Papa bukan warga negara Indonesia.
Dibantu seorang kenalan, isi buku harian Papa berhasil diterjemahkan. Saya membaca semuanya. Air mata menetes lagi. Saya tidak bisa menahannya.
Usianya 69 tahun saat tragedi itu terjadi. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) betul-betul mengempaskan pekerjaannya. Belum lagi, masa berlaku tinggalnya pun telah habis. Setiap pagi yang dia tanyakan selalu, “Bagaimana COVID? Sudah selesaikah?”
Mendengar kabar bahwa kebijakan Pemerintah Jepang yang tidak memperbolehkan warga negaranya yang berusia di atas 50 tahun untuk pulang semakin membuatnya stres. Padahal, Papa harus segera memperpanjang visanya. Pun apabila berhasil pulang ke Jepang, Papa semakin takut jika tidak bisa kembali lagi ke Indonesia dan bertemu Mama.
“Saya tidak mau pulang. Saya tidak mau nanti saya mati, kamu tidak ada di samping saya,” kata Mama saat mengutip pesan Papa selama pandemi.
Rasa khawatir itu semakin besar saat Papa tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika pulang ke Jepang. Keahlian dia selama di Indonesia tidak bisa digunakan di kampung halamannya yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Kakaknya pun sudah renta. Dia khawatir hanya akan memberikan beban apabila dia menetap di sana.
Apa yang dialami Brooks Hatlen bisa saya pahami. Selama lima menit adegan itu, ingatan saya meluncur pada buku harian Papa. Papa mengalami ketakutan yang sangat besar serupa dengan apa yang dirasakan oleh Hatlen.
Hanya saja, tidak ada satu pun dari kami yang sadar akan kondisi Papa.
Krisis selama pandemi picu depresi dan bunuh diri
10 April 2020, selang satu bulan sejak dua kasus COVID-19 pertama ditemukan, pemerintah DKI Jakarta memberlakukan PSBB tahap pertama. Pemberlakuan PSBB ini ditujukan untuk menurunkan jumlah kasus positif yang terus meningkat saat itu. Belum lagi kurva turun, pada 5 Juni 2020, pemerintah DKI melonggarkan pembatasan dengan menerapkan PSBB transisi.
Sayangnya, pemerintah DKI tidak pernah merilis hasil evaluasi PSBB sebelumnya. Benar saja, tidak perlu waktu lama, kurva kasus positif pun melonjak drastis menembus angka 1000 kasus positif per harinya.
Selama masa PSBB transisi, berbagai pelanggaran protokol kesehatan menjadi hal lumrah yang bisa dilihat di setiap pemberitaan. Dengan alasan bosan, banyak orang mulai ke luar dan berkumpul menciptakan keramaian. Sejak hari itu hingga saat ini, kurva kasus positif pun terus meningkat dan tidak pernah ada tanda-tanda berputar arah.
Kondisi pandemi COVID-19 memunculkan beragam masalah kesehatan mental. Berdasarkan data dari 14.619 individu yang mendapatkan penanganan dari psikolog klinis anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, empat masalah yang paling banyak ditemui adalah kesulitan belajar, kecemasan, stres, dan gangguan emosional seperti depresi.
Baca juga: Anjuran ‘Berpikir Positif’ Saat Pandemi Bisa Bahayakan Nyawa Banyak Orang
Data ini selaras dengan temuan hasil kuesioner swaperiksa masyarakat yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Temuan ini menemukan bahwa 57,6 persen yang melakukan swaperiksa teridentifikasi memiliki gejala depresi. Bahkan, 58,9 persen pasien swaperiksa melaporkan memiliki pikiran bunuh diri dan menyakiti diri sendiri.
Satu temuan lain yang menjadi perhatian, 15,4 persen di antara orang-orang yang melakukan swaperiksa itu mengalami pikiran kematian dan menyakiti diri sendiri setiap hari.
Penyebab yang tidak membuat saya terkejut adalah krisis ekonomi. Saya rasa ini yang terjadi pada Papa.
Saya ingin menimpakan kesalahan, tapi pada siapa?
Saya sangat marah setiap kali melihat pemberitaan dan menyaksikan sendiri di media sosial dan jalan-jalan, mereka yang tidak menerapkan protokol kesehatan.
Setiap kali diajak berkumpul, saya selalu menolak. Saat Idul Fitri pun saya sengaja tidak pulang karena kondisi peningkatan kasus positif masih mengkhawatirkan. Saya merasa lebih baik dianggap “ribet” daripada saya dengan sadar meremehkan virus ini dan menjadi “pelaku pembunuhan” orang-orang yang saya tularkan.
Saya juga kesal dengan kebijakan pemerintah yang sangat tidak konsisten. Belum lagi dengan semua pernyataan dan sikap meremehkan yang pemerintah tunjukkan pada awal kasus ini terjadi di Indonesia.
Andai saja pemerintah memberikan kebijakan dengan tegas dan konsisten. Andai saja, saya, kamu dan semua orang mematuhi dan tidak meremehkan protokol kesehatan.
Dan andai saja, saya dan keluarga menyadari kondisi Papa lebih awal.
Andai saja.