Issues Politics & Society

‘Blame the Woman’ Ala Mahfud MD Bukan Pertama Kali Terjadi

Tak hanya pejabat publik, ucapan Mahfud MD yang menyalahkan perempuan atas kasus korupsi juga mencerminkan masyarakat Indonesia yang patriarkal.

Avatar
  • January 10, 2024
  • 6 min read
  • 3815 Views
‘Blame the Woman’ Ala Mahfud MD Bukan Pertama Kali Terjadi

“Di dalam banyak kasus, suami-suami yang terjerumus ke dalam kejahatan itu karena istrinya nggak baik,” kata Mahfud MD. “Banyak koruptor masuk penjara karena tuntutan istri.”

Pernyataan itu diucapkan saat Mahfud menghadiri acara Halakah Kebangsaan dan Pelantikan majelis Dzikir Al Wasilah di Padang, Sumatera Barat, Desember lalu. Ia menyalahkan para istri yang menuntut suami memenuhi keinginan belanja, sehingga harus korupsi karena tidak cukup mengandalkan penghasilan.

 

 

Perempuan yang dianggap sebagai dalang suatu kejahatan adalah fenomena umum, yang dikenal sebagai sindrom blame the woman. Kepada The Washington Post, psikiater forensik Elissa Benedek mengatakan, perempuan bertanggung jawab saat hal buruk terjadi lantaran memiliki kekuatan besar. Karena itu, perempuan mampu memengaruhi orang lain untuk berbuat jahat dan berhak dihakimi maupun disalahkan.

Misalnya saat perempuan diperkosa, penyebabnya adalah sikap provokatif. Atau saat dilecehkan, penyebabnya karena perempuan itu sombong. Sementara jika perempuan tak melakukan suatu kesalahan, ia akan tetap salah bahkan dicap ibu yang buruk.

Baca Juga: Misogini dalam Politik Iriana Jokowi dalang Pemilu 2024

“(Sindrom) ini bagian dari label ‘Bad Woman’ terhadap perempuan. Bagian dari mitos kuno dan sulit dihilangkan,” terang Benedek.

Menurut penulis dan mantan jaksa di Middlesex County, Massachusetts, AS Michelle Charness, cerita Adam dan Hawa yang dikisahkan secara teologis juga berperan dalam melanggengkan sindrom blame the woman di masyarakat sekarang. Hawa disalahkan sebagai dalang yang menyebabkan Adam jatuh ke Bumi, setelah memakan apel terlarang.

Meski sudah ditafsirkan lebih progresif, kisah tersebut masih dominan disampaikan ke setiap generasi. Kemudian menjadi mitos dan bagian dari masyarakat.

Selain menyalahkan perempuan, pernyataan Mahfud di acara tersebut sekaligus memosisikan perempuan sebagai tolok ukur moral sebuah negara. Menurutnya, perempuan yang baik akan mencerminkan negara yang baik.

“Perempuan adalah tiang di suatu negara. Kalau perempuannya baik, negaranya akan baik. Kalau perempuan nggak baik, negaranya juga nggak baik,” ujar Mahfud.

Pernyataan itu menunjukkan masyarakat yang memperhatikan perilaku perempuan dan menuntut untuk beretika baik. Contohnya perempuan yang juga seorang istri atau ibu sebaiknya meninggalkan karier untuk mengurus rumah tangga. Atau ibu bertanggung jawab sepenuhnya dalam mendidik anak karena ayah sudah bekerja.

Hal itu merefleksikan beban gender yang melekat pada perempuan. Ketika perilaku mereka tak sesuai dengan standar yang tak tertulis, perempuan dituduh bersalah dan gagal memenuhi standar. Dengan kata lain, ucapan Mahfud mencontohkan perilaku seksis dan misoginis terhadap perempuan.

Baca Juga: Denny Caknan di Podcast Close the Door Misoginis

Bukan Pertama Kali Pejabat Publik Bersikap Seksis dan Misoginis

Itu bukan kali pertama Mahfud mengucapkan ujaran seksis dan misoginis. Pada 2020, ia mengutip meme berbahasa Inggris dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Meme tersebut menganalogikan penanganan virus corona seperti istri.

Corona is like your wife. Corona itu seperti istrimu, ketika kamu mau mengawini, kamu berpikir bisa menaklukannya. Tapi, sesudah menjadi istri, kamu tidak bisa menaklukan istrimu. Sesudah itu, kamu belajar hidup bersamanya,” tutur Mahfud dalam acara halal bihalal Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Ungkapan tersebut menunjukkan cara berpikir patriarkis, yang menomorduakan perempuan di masyarakat dan melihat kedudukan laki-laki superior. Karena itu, muncul kecenderungan mengontrol—disebutkan Mahfud dengan “menaklukan”—sekaligus mengobjektifikasi perempuan dengan menyamakannya sebagai virus corona.

Kita dapat melihat bahwa perempuan berada di bawah laki-laki dan diharapkan tunduk pada mereka. Itu menunjukkan adanya ketimpangan relasi, dengan laki-laki sebagai pemegang otoritas untuk mengatur anggota keluarga.

Akibatnya, pembagian tugas rumah tangga tidak seimbang—kebanyakan dikerjakan perempuan. Kemudian perempuan dianggap pencari nafkah tambahan, mau melakukan apa pun harus seizin suami—sedangkan sebaliknya tidak, hingga terjadi kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Padahal, dalam wawancara bersama Magdalene, cendekiawan Islam Nur Rofiah menjelaskan, Islam mengkritik laki-laki yang memperlakukan perempuan sebagai hamba. Begitu pun dengan perempuan yang menghambakan dirinya pada laki-laki.

“Dalam Islam, perkawinan itu mesti saling menumbuhkan, bukan memberangus potensi baik di kedua belah pihak,” ucap Nur Rofiah. “Potensi baik itu diolah untuk kemaslahatan bersama. Laki-laki dan perempuan saling menjaga, mendorong, dan menjadi mitra satu sama lain.”

Tak hanya Mahfud MD, ada pejabat publik lain yang seksis dan misoginis. Yakni Mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pada 2021 ia mencari lima ribu anak muda di Jawa Barat, yang bersedia menjadi petani 4.0 di tengah pandemi Covid-19. Lewat Instagram, Ridwan Kamil menuliskan lowongan tersebut dengan sejumlah persyaratan. Salah satunya pilihan untuk menikahi kembang desa.

Kalimat tersebut tak lebih dari objektifikasi. Perempuan diperlakukan sebagai “iming-iming”, agar anak muda tertarik untuk bergabung dalam program tersebut.

Yang enggak disadari, objektifikasi perempuan berdampak pada kesehatan mental perempuan. Di antaranya adalah perasaan malu, cemas, depresi, dan menurunkan tingkat produktivitas akibat menginternalisasi objektifikasi—seperti disebutkan peneliti Barbara Fredrickson dan Tomi-Ann Roberts dalam risetnya pada 1997.

Sama halnya dengan Mantan Bupati Lumajang Thoriqul Haq. Dalam webinar tentang efisiensi distribusi dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2020, Thoriq menyebut pembagian BLT ada yang tak tepat sasaran. Yaitu pada kelompok janda berusia 20-30 tahun.

“Ada (warga) yang mampu, masih dapat bantuan. Sementara ada janda 60 tahun, hidup sebatang kara nggak dapat bantuan. Jika ini tidak dituntaskan akan menjadi masalah sosial. Kecuali janda berumur 20 tahun, jangan dikasih BLT Dana Desa, dicarikan suami saja,” kata Thoriq dilansir dari VOA Indonesia.

Di samping menempatkan perempuan sebagai objek bagi laki-laki, pernyataan Thoriq merendahkan janda dan mengesampingkan kebutuhan mereka selaku kepala keluarga. Anggapannya, menikah merupakan solusi atas tuntutan hidup yang harus dipenuhi, karena kebutuhannya bisa ditanggung oleh suami. Ini juga mempertebal stigma, seperti janda gatel atau janda open BO.

Padahal, sebagai pejabat publik, menjadi tugas mereka untuk memahami dan menyalurkan kebutuhan masyarakat—tak terkecuali perempuan. Masalahnya, ketika pejabat publik berperilaku seksis dan misoginis, mereka mencerminkan realitas di masyarakat.

Baca Juga: Survei: Pejabat Publik Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak

Pejabat Publik Perlu Menyadari Sikap Seksis dan Misoginis

Tak jarang, ucapan pejabat publik yang menunjukkan seksisme dan misoginis disampaikan lewat guyonan. Artinya, keduanya dinormalisasi di kalangan pejabat maupun masyarakat. Alasannya tak lain tak bukan, kepemimpinan politik yang masih berada di tangan laki-laki. Kemudian, laki-laki juga dipandang sebagai sosok yang dihormati dan diteladani.

Lagi-lagi, realitas itu kembali merefleksikan kondisi masyarakat Indonesia yang patriarkal. Masalahnya, pejabat publik merupakan figur yang dicontoh masyarakat. Saat mereka merendahkan perempuan, masyarakat menganggap itu sesuatu yang lumrah.

Di sini pejabat publik seharusnya sadar—bahkan berempati dan mengedukasi masyarakat, guyonan seksis dan misoginis adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi yang seharusnya didorong pemerintah untuk dihapus, ditambah adanya ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW). Sebab, penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan partisipasi seluruh pihak.

Pertanyaannya, apakah pejabat publik sendiri memahami ujaran seksis dan misoginis yang diucapkan adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan?

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.