Kenapa Dugaan Pelanggaran HAM Oriental Circus Indonesia Enggak Bikin Kita Kaget?
“Itu saya dijejali tahi gajah. Pokoknya mereka (memperlakukan saya) tidak manusiawi sama sekali.”
Begitulah pengakuan Butet, eks pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) saat menemui perwakilan Kementerian Hak Asasi Manusia di Jakarta Selatan, (15/4) lalu. Sejak 1975, ia diambil oleh keluarga pemilik OCI. Tanpa tau siapa orang tua bahkan nama aslinya, ia lantas dijadikan pemain sirkus.
Kepada Tempo.co, Butet bilang sejak tergabung dalam sirkus itu, rangkaian kekerasan terus dialami. Ia mengalami pemukulan dan dirantai kakinya dengan rantai gajah kalau melanggar aturan hingga kesulitan buang air kecil. Saat hamil besar sekitar delapan bulan dan setelah melahirkan, Butet juga dipaksa atraksi di panggung sirkus.
“Sampai saya tidak menyusui sama sekali,” katanya.
Ida, rekam kerja Butet mengalami hal senada. Ia pernah terjatuh dari ketinggian sekitar 15 meter saat melakukan atraksi sirkus di Lampung pada akhir 1989. Kejadian itu bikin dia patah tulang belakang dan lumpuh permanan. Namun bukannya dibawa langsung ke rumah sakit untuk diberikan penanganan, ia justru dibiarkan saja oleh manajemen OCI.
“Karena kondisi semakin parah, saya bengkak dan saat itu hanya ditempatkan di belakang panggung, baru akhirnya dibawa ke rumah sakit di Kota Lampung,” ucap Ida di pertemuan yang sama.
Baca Juga: Kesalahan Pamer Satwa Liar di Medsos: Mencintai Tak harus Memiliki
Lagu Lama
Butet dan Ida adalah beberapa eks pemain sirkus anak di OCI yang jadi korban kekerasan dan eksploitasi sejak kecil. Mereka melakoni kerja paksa, dipisahkan dari orang tua, dan menjadi korban kekerasan fisik selama bertahun-tahun di bawah pengelolaan OCI dan Taman Safari Indonesia.
Cerita mereka kini tengah jadi perbincangan hangat masyarakat. Keberanian mereka pula yang bikin rahasia kelam lama kembali terungkap. Sebelum dihebohkan dengan cerita Butet, Ida, dan sejumlah eks pemain sirkus lain, ternyata OCI pernah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Semendawai dalam wawancara bersama Detik.com mengungkapkan, pernah menerima aduan serupa pada 1997. Semendawai menyampaikan, hasil investigasi Komnas HAM pada 1997 mencatat kekerasan, tidak dipenuhinya pemenuhan hak atas pendidikan, hingga eksploitasi ekonomi serta silsilah anak. Dari temuan itu, Komnas HAM sempat membuat sejumlah rekomendasi kepada pihak-pihak terkait tapi kasus berakhir mandek.
“Waktu itu juga kepolisian sudah melakukan penyelidikan terkait penggelapan silsilah anak-anak tersebut, namun dihentikan oleh pihak kepolisian. Atas tindak lanjut tersebut, kelihatannya pihak korban merasa belum terpenuhi sehingga tahun 2004 melaporkan lagi ke Komnas HAM dan juga pada akhir tahun 2024,” ungkap Semendawai.
Dengan mencuatnya kembali kasus OCI, Komnas HAM meminta pelanggaran HAM terhadap para pemain sirkus OCI diselesaikan melalui jalur hukum, termasuk kompensasi yang ditutut para korban.
Baca Juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim
Industri Sirkus yang Rawan Eksploitasi
Hingga saat ini, kasus dugaan pelanggaran HAM terhadap pekerja sirkus di Indonesia yang paling menonjol dan terdokumentasi secara luas adalah kasus OCI. Namun walau cuma OCI, industri sirkus memang sudah lama dikenal eksploitatif.
Hal ini tercermin dari dua kasus besar dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Italia dan Selandia Baru tiga tahun terakhir. Reuters melaporkan pada akhir 2020 lalu, “Sirkus Madagaskar”, sirkus terbesar di Italia mengeksploitasi empat pekerja India yang tidak berdokumen.
Penyelidikan kepolisian dimulai April 2023 ketika pekerja asal India dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma. Ia dilaporkan mengalami kecelakaan di tempat kerja di kota barat laut Genoa, tempat sirkus tersebut berada.
Pihak sirkus awalnya mengaku, laki-laki tersebut terjatuh dari truk. Namun, penyelidikan memastikan ia jatuh dari ketinggian 18-20 meter. Korban yang akhirnya terbangun dari koma dan selamat mengonfirmasi versi kejadian ini kepada petugas.
Dari titik ini, penyelidikan mulai dapat titik terang dan menemukan sejumlah fakta. Bahwa pihak sirkus membuat mereka mengalami kondisi kerja dan tempat tinggal tidak manusiawi. Mereka dipaksa tinggal dalam satu karavan dengan 10 orang lainnya, cuma menggunakan satu kamar mandi, dibayar 180 hingga 250 euro per minggu untuk bekerja tujuh hari seminggu selama setidaknya 10 jam sehari, dan tidak diberi peralatan keselamatan.
Di Selandia Baru, kondisinya sebelas dua belas. Business and Human Rights Resource Center melaporkan, Sirkus Zirka asal Selandia Baru melalui investigasi multi-lembaga besar pada 2022 kedapatan melakukan eksploitasi anak. Enam pemain aktobatik sirkus muda diambil dari orang tuanya di Tiongkok.
Mereka dipekerjakan dengan upah murah atau bahkan tidak dibayarkan sama sekali. Fisik mereka juga tidak terawat, yang dideskripsikan oleh Oranga Tamariki, Kementerian Anak-anak di Selandia Baru sangat kotor akibat pengabaian. Kebutuhan medis mereka terabaikan dan mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak saat melakukan tur di Selandia Baru selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Film ‘Upstream’ Kupas Realitas Pahit Pekerja ‘Gig Economy’
Sejarah Kelam Sirkus
Rangkaian kasus pelanggaran HAM dalam industri sirkus tidak terlepas dari sejarahnya. Sirkus modern berakar dari Inggris pada akhir abad ke-18, dengan Philip Astley sering disebut sebagai “bapak sirkus modern” karena pertunjukan kudanya yang dipadukan dengan akrobat, badut, dan musisi di arena bundar (ring). Konsep ini kemudian menyebar ke Eropa dan Amerika, berkembang menjadi sirkus keliling yang besar pada abad ke-19, seperti Ringling Bros dan P.T Barnum di Amerika Serikat. Di masa inilah unsur eksploitasi mulai terlihat secara lebih nyata.
Sejak 1870-an, sirkus besar di Amerika mulai memanfaatkan kereta api untuk tur lintas negara—mengangkut menagerie hewan, panggung, dan kru hingga ratusan orang tiap harinya. Model bisnis ini menciptakan “Kota Tenda” (tent city) – tata perumahan sementara yang dibuat dengan menggunakan tenda atau bangunan sementara lainnya yang semakin membuat pekerjanya rentan mengalami berbagai jenis diskriminasi hingga eksploitasi.
Dalam penelitian Big Top Labor: Life and Labor in the Circus World (2018), kerentanan ini tercipta karena komunitas sirkus menjadi sangat tertutup. Perusahaan sirkus bisa mengontrol total lingkungan hidup dan kerja. Ini mulai dari tempat tinggal, makanan, hingga logistik, sehingga pekerja bergantung sepenuhnya dan sulit menuntut hak. Sistem ini memungkinkan pengusaha menghindari regulasi ketenagakerjaan dan menekan upah tanpa pengawasan eksternal.
Selain itu, model bisnis macam ini menuntut mobilitas ekstrem. Bongkar‑pasang tenda, pengangkutan peralatan berat hingga 12–16 jam per hari, dengan waktu istirahat minimal. Tenda sementara seringkali sesak, tanpa privasi atau sanitasi memadai.
Tak cuma itu, di era yang disebut “masa kejayaan” sirkus modern ini, sirkus memperluas jenis atraksinya, yakni atraksi “manusia aneh” atau dikenal dengan freak shows. P.T Barnum yang kisahnya diromantisasi dalam film The Greatest Showman jadi kunci penting dalam mempopulerkan freak show.
Mereka memanfaatkan orang-orang dengan kondisi medis langka, orang-orang kulit berwarna, atau disabilitas untuk dipertontonkan demi hiburan masyarakat kulit putih. Dalam buku Freak Show: Presenting Human Oddities for Amusement and Profit (1990) orang kulit berwarna sering dipaksa mengenakan kostum “primitif” dan diberi narasi palsu. Misalnya, Barnum memasarkan William Henry Johnson (Zip the Pinhead) sebagai “makhluk setengah monyet dari Afrika” padahal ia adalah laki-laki Afrika-Amerika dengan Mikrosefalus –kondisi kepala bayi yang lebih kecil dari ukuran normal.
Ada pula Joice Heth, perempuan Afrika-Amerika tua yang diperkenalkan oleh Barnum sebagai “perawat George Washington” yang berusia 161 tahun. Padahal, usia dan kisah hidupnya sepenuhnya direkayasa. Heth dipaksa tampil berjam-jam setiap hari dalam kondisi kesehatan yang buruk hingga meninggal, dan bahkan jenazahnya diautopsi secara publik demi keuntungan hiburan semata.
Orang dengan disabilitas pun tak luput dari manipulasi narasi dan penyiksaan emosional demi hiburan publik. Praktik-praktik ini bukan saja mengobjektifikasi manusia, tetapi juga memperkuat stereotip rasial dan sosial yang mendalam karena menciptakan struktur kekuasaan yang meletakkan individu “berbeda” sebagai pihak subordinat dalam dunia hiburan kapitalistik.
Freak show mulai dilarang dan ditinggalkan terutama di Amerika Serikat dan Eropa secara bertahap sejak pertengahan abad ke-20, khususnya pada era 1950-an hingga 1970-an karena berbagai faktor perubahan norma sosial dan etika serta perlindungan hukum dan sipil yang didorong oleh gerakan masyarakat sipil.
Pentingnya Serikat Pekerja Sirkus
Kendati sudah dilarang, freak show nyatanya masih jadi elemen yang susah dihilangkan dari sirkus. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sirkus yang meluas pesat. Enggak cuma di masyarakat Barat, tapi masyarakat Asia.
Nandini Ria dalam penelitiannya Colonial Spectacles: The Evolution of Indian Circus in the 20th Century (2015) menyebut perkembangan sirkus modern di Asia dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tepatnya ketika perusahaan sirkus dari Amerika dan Eropa melakukan tur ke berbagai kota jajahan kolonial, dan memperkenalkan konsep pertunjukan arena dan akrobat profesional.
Pengaruh ini mendorong kemunculan sirkus-sirkus lokal di negara seperti India dan Indonesia. Freak show yang sudah jadi bagian terintegrasi dalam sirkus pun tidak luput diperkenalkan. Sehingga meski sudah dilarang di negara asal, di negara-negara jajahan pertunjukan ini sering kali masih dilakukan.
Misalnya saja orang dengan dwarfisme – kondisi medis yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dari rata-rata tinggi badan orang, atau disabilitas lain masih dipertontonkan dalam pertunjukan. Berbagai jenis eksploitasi para pekerja sirkus pun masih terus berlanjut.
Ini yang kemudian mendorong beberapa pekerja sirkus memutuskan untuk berserikat. Salah satu serikat pekerja sirkus yang terkenal adalah Indian Circus Employees Union (ICEU) yang didikan pada 1977 sebagai respons terhadap kondisi kerja buruk dan eksploitasi yang dialami oleh pekerja sirkus di India.
Dalam Circus Workers and Trade Unions (2020) dijelaskan ICEU adalah serikat pekerja sirkus pertama di India yang sejak awal pendiriannya fokus pada memperjuangkan hak-hak dasar pekerja sirkus, termasuk upah yang adil, jam kerja yang wajar, kondisi kerja yang aman, dan perlindungan sosial.
Serikat ini juga menentang praktik eksploitasi, seperti penggunaan pekerja anak dan kurangnya jaminan kesehatan bagi pekerja sirkus. ICEU berupaya meningkatkan kesadaran publik dan pemerintah tentang kondisi kerja di industri sirkus, serta mendorong reformasi kebijakan yang lebih berpihak kepada pekerja.
Salah satu pencapaian signifikan ICEU adalah keberhasilannya dalam mendorong pemerintah India untuk melarang penggunaan pekerja anak di sirkus pada tahun 2011. Larangan ini merupakan langkah penting dalam melindungi hak-hak anak dan meningkatkan standar kerja di industri sirkus.
Selain itu, ICEU juga berhasil meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja sirkus, meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan. Meskipun industri sirkus di India mengalami penurunan popularitas, ICEU tetap aktif dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
















