Diskusi KUPI 2: PRT juga Manusia, Islam Larang Kita Semena-mena
KUPI 2 dibuka lewat tiga ‘halaqah’ kebangsaan yang kedepankan visi misi keislaman. Salah satunya adalah ‘halaqah’ soal pentingnya memanusiakan PRT.
Kita tentu masih ingat penyiksaan pekerja rumah tangga (PRT) R di Desa a Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat oleh majikannya. Ia dipukul berkali-kali dengan tangan kosong juga perabot rumah tangga. Alhasil, badan PRT tersebut penuh luka lebam. Ini belum sebanding dengan trauma psikis yang ia rasakan akibat disekap selama berbulan-bulan.
R tak sendiri. Menurut catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) yang dilansir dari VOA Indonesia, ada lebih dari 400 PRT menjadi korban kekerasan sejak 2012 hingga 2021. Dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual, hingga perdagangan manusia, PRT masih menjadi pihak yang rentan.
Kerentanan ini makin bertambah, mengingat mereka biasanya punya jam kerja panjang, tak punya hari libur, tak dapat jaminan sosial, kesehatan, juga ketenagakerjaan. Tak jarang, PRT juga dibebani pekerjaan yang menguras tenaga dengan upah yang tak setimpal.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Padahal PRT juga manusia yang mana kepadanya melekat hak-hak sebagai warga negara. ”Pekerja rumah tangga juga manusia. Mereka adalah warga negara dan memiliki hak yang sama, dan islam melarang kezaliman kepada manusia,” tegas Direktur Rahima, dikutip dari siaran pers yang diterima Magdalene.
Dalam salah satu halaqah kebangsaan yang digelar di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II disebutkan, Islam juga mengecam segala bentuk kekerasan, termasuk terhadap PRT.
“Islam melarang siapa pun manusia di dalam relasi kuasa (melakukan kekerasan). Kita tahu pekerja rumah tangga itu dalam relasi sangat rendah, sehingga rentan mendapatkan kekerasan,” ujar Ketua III KUPI II Pera Sopariyanti
Pera berkali-kali bilang, PRT adalah kelompok rentan dengan jam kerja yang relatif panjang. Karena itulah dalam forum yang digelar di Semarang dan Jepara itu, ia mendesak agar RUU PRT segera diketok palu. Pasalnya, RUU ini mengatur perlindungan PRT, termasuk soal upah hingga relasi kerja.
“RUU PPRT diatur soal pembagian upah, bagaimana relasi bekerja saya kira menguntungkan kedua belah pihak. Ini upaya mendorong PRT mempunyai hak-hak untuk bekerja, hak berlibur, hak mendapatkan upah yang layak,” imbuhnya.
Halaqah ini sendiri diikuti oleh Luluk Nur Hamidah (anggota DPR RI), KH. Abdullah Aniq Nawawi (Pengasuh Pondok pesantren Salafiyah Safi’iyah), dan Ari Ujianto (JALA PRT).
Rosidin dalam konferensi pers berharap, halaqah ini bisa menjadi refleksi bersama pada sejumlah titik lemah advokasi. Titik lemah yang membuat RUU PPRT ini masih belum kunjung disahkan bahkan sejak perumusannya pada 2004 silam.
“Rumusan dan rekomendasi yang didapatkan ini akan kita ambil dan kita tindak lanjuti agar RUU PRT ini bisa kita lanjutkan. Merefleksi lima pasca pelaksanaan KUPI I di Cirebon, KUPI berhasil mendorong disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan anak,” ungkapnya.
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
KUPI 2 dan Isu-isu yang Diangkat
Isu PRT adalah satu hal. Dalam perhelatannya yang akan diselenggarakan hingga (26/11) akan ada lima isu utama meliputi peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme, pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
Kelima isu ini selama kongres digelar akan mengedepankan pengalaman perempuan yang tentunya dikuliti melalui tiga pendekatan KUPI, mubadalah (kesalingan), ma’ruf (kebaikan/kebajikan), dan pendekatan keadilan hakiki perempuan.
Harapannya, KUPI dapat membawa isu-isu yang ada bisa jadi lebih membumi. Pun, bisa disampaikan tidak hanya dengan ulama perempuan di ponpes dan majelis taklim.
“Apa yang kita capai bersama-sama di KUPI tak akan terputus. Dibawa oleh semua teman-teman dengan berbagai latar belakang. Bersama-sama kita berkolaborasi tak hanya di grass root tapi harapannya juga di level struktural,” ungkap Pera.
Baca juga: Konferensi Internasional KUPI II: Teguhkan Eksistensi Ulama Perempuan
Setelah perhelatan pertamanya yang diselenggarakan lima tahun lalu pada 2017, KUPI II diadakan di Pondok Pesantren (ponpes) Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara. Pesantren ini dipilih karena itu dikelola oleh tokoh ulama perempuan yang memiliki visi misi sama dengan KUPI. Ulama perempuan tersebut adalah Nyai Hindun Anisah, pemimpin ponpes Hasyim Asy’ari.
“Beliau punya concern pada membangun dan mengembangkan pengetahuan adil gender. Ada figur yang punya visi misi yang dimiliki kupi. Nyai hindun ini adalah advokat korban perempuan KDRT. Beliau melakukan upaya grass root pada pencegahan perkawinan anak. Peran ini penting untuk KUPI dalam menetapkan perhelatan kali ini di ponpes Hasyim Asy’ari,” jelas Rosidin, Direktur Fahmina Institute sekaligus penyelenggara KUPI II dalam siaran pers.