Culture Prose & Poem

Pemujaan Senyap pada Sahabat

Menyukai sahabat sesama perempuan tidak pernah terpikirkan olehku, tapi itu terjadi.

Avatar
  • September 22, 2020
  • 7 min read
  • 1304 Views
Pemujaan Senyap pada Sahabat

 

Hari ini adalah hari ulang tahun AK. Sebagai teman, aku selalu mengucapkan selamat. Ucapan-ucapan itu pernah datang bersama buku catatan bergambar bunga sepatu yang kuselundupkan di ranselnya yang juga berisi kausnya yang berbau harum. Di lain waktu, dengan sebuah novel Tsukuru Tazaki edisi terjemahan yang pernah ia bilang ia inginkan tapi ia tak pernah benar-benar menabung untuk itu. Dan terakhir, yang sangat kuingat, disertai sepasang kura-kura mungil di akuarium plastik yang kubeli karena ia bermimpi memelihara sugar glider tapi tak diizinkan ibunya. Kura-kura itu mati dua minggu kemudian. Kami berpisah sebulan setelahnya untuk sama-sama memulai kuliah.

 

 

Kusandarkan kepalaku pada lemari kayu, mencium aroma pernis pelapis yang lama-lama enak juga sehingga kuhirup lagi dan lagi. Aku menyaruk tubuhku keluar, melewati pintu, dan menumpukan lenganku pada balkon. Langit cerah, awan berpindah-pindah. Di sisi lain, sehamparan awan raksasa, seputih bedak bayi, tampak anteng sekali. Meski begitu, aku tahu dia bergerak. Pergeserannya amat kecil sehingga aku perlu mengukurnya dengan telunjukku untuk memastikannya. Butuh waktu lumayan lama dari ujung kuku untuk sampai ruas jari pertama. Ketika ujungnya menyentuh garis jariku, entah mengapa semuanya tampak jelas: selama itu, aku amat sangat menyukai AK.

_

Hah? Mustahil.

_

Ucapan selamat ulang tahun ini kukirim aja lah ya: Selamat ulang tahun, AK! Aku pernah suka kamu ternyata!

_

Kasih aku waktu buat melongo. Aku bakal balik lagi besok.

_

Hah aku masih di sini. Pesannya kuhapus lagi. Masih mengagetkan, tapi kupegang. Merunutnya perlahan, Sekarang terang, terang, terang. Semuanya kuceritakan.

_

Menyukai AK, anak perempuan lain di kelas, itu hal yang tak terpikirkan. Berada di dunia yang ketika aku duduk di kelas 5 SD mulai ditanyai mana cowokmu, diceramahi ayahku buat menyapu dengan bersih supaya laki-nya nggak bewokan, atau main jujur-jujuran bareng teman lalu dipaksa untuk menunjuk mana cowok sekelas yang kusuka, mengagumi seorang anak perempuan sungguh-sungguh tak masuk akal, pikirku, bahkan tepiannya sekalipun. Aku dibuat berpusing-pusing dalam pemujaan senyapku pada AK.

Baca juga: Lemari dan Pelakor

Itu bermula pada perjumpaan acak aku dan AK di SMA. Kami kenalan, lalu berteman, lalu berteman dekat. Awalnya kami nyambung gara-gara serial Anna and the Green Gables, lalu kami terkoneksi karena kesukaan-kesukaan lain. Karena rumah kami satu arah, kami pergi dan pulang sekolah bersama. Pulangnya, kami lewat jalan belakang sekolah, menapaki jalur sempit yang dipenuhi rumput panjang sambil nyanyi lagu apa pun yang sedang tenar.

Aku ingat satu waktu langit cerah berawan, kami nyanyi lagu Ed Sheeran. Matahari menyorot tubuh kami, jarak kami begitu dekat, bibir AK berderak, dan tercium olehku wangi jeruk yang tipis menguar dari tubuhnya. Sekonyong-konyong muncul dorongan kuat dalam diriku untuk mendekapnya. Tapi bisa kutahan. Pikiran itu kutiup berkali-kali dan kuyakinkan diriku sendiri bahwa ia tidak pernah ada di kepalaku. Aku belum pernah benar-benar menyukai cowok mana pun dalam hidupku dan pengalaman harian mengharapkan AK sungguh memusingkan. Yang saat itu bisa kulakukan cuma berdoa agar masa-masa itu tidak cepat berlalu.

Namun suatu hari, di hari ulang tahun AK, pulang sekolah, dia mengatakan bahwa ada cowok yang mendekatinya.

“Siapa?” tanyaku.

“Iman!” Anak band.

“Oh.”

“Aku harus gimana ya, hahaha.”

“Kamu suka Iman?”

“Sedikit.”

“Hmmm.”

“Dia tadi hadiahin aku semangka. Katanya kalo besok dia kubawain buah juga, artinya dia boleh ngedeketin aku. Hahaha lucu, ya?”

“Hmmm iya.”

“Buah apa, ya?”

“Huh?”

“Pisang?”

“Jeruk, AK. Kasih dia jeruk.”

_

Aku dan AK kenalan, lalu berteman, lalu berteman dekat dan tahu-tahu dia jadi jijik padaku. Rasa jijik itu tidak pernah dilontarkannya, tapi dapat kurasakan. Mungkin kejijikan itu muncul, sebab, selagi aku melawan gelombang perasaan itu, satu dua pecahan ombaknya pernah menyentuh pantai: sikapku di tahun terakhir pada AK.

Baca juga: Antara BH, Drakor, dan Jemuran Kos

Pertama, aku pernah kasar pada Iman. Aku BENCI Iman. Tentu saja karena Iman suka pada AK dan juga sebaliknya. Mereka pernah bolos sekolah cuma untuk makan mi ayam. Padahal aku mengundang AK ke rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok tepat sebelum ajakan Iman. AK menolak, katanya bakal ada haul, acara 40 hari peringatan meninggal neneknya. Jadi, waktu kulihat Iman berdiri sendirian di tepi lapangan, aku mendesis, “Babi.”

Kedua, waktu AK putus dari Iman, aku pernah merasa punya harapan, menarik pergelangan tangannya dengan cukup keras hingga dia, aduh, mungkin terkilir. Waktu itu ia meminjam uang sebanyak uang jajanku selama seminggu tanpa bilang untuk apa. Anak sekelasku bersaksi, uang itu untuk menyewa kamar losmen murah karena dia bertengkar dengan ibunya. Aku bilang padanya kalau ia bisa menginap di rumahku, aku terus mengoceh bahwa losmen itu mengerikan karena terkenal buat esek-esek, bahwa kamarnya bau, bahwa rumahku nyaman, dan boro-boro mendengarkanku, ia terus berjalan menjauh. Di situlah aku, jengkel, lalu menarik lengannya. Ia tersentak, menepisku, dan bilang, “Bacot.”

AK atau bukan, ceritanya akan sama, aku akan tetap menyukai seorang perempuan lain. Sebab awan berpindah-pindah, tapi langit di situ-situ saja.

Ketika mengembalikan uangku, dia bertanya, “Kamu enggak capek jadi aneh begini?” AK lama menatapku seolah benar-benar ingin jawaban. “Aku kan enggak mungkin banget ke losmen, kamu tau. Ada-ada aja. Uangnya buat nambahin Iman beli gitar. Siapa yang boongin kamu?”

Hatiku terbakar. Pulang sekolah, aku menangis sebentar. Tak lama, AK dan Iman balikan. Itu bulan terakhir kami di sekolah. Kuputuskan untuk sama sekali tidak lagi mengusik AK.

Sebelum kegilaanku ada wujudnya, AK masih membalas hadiahku. Waktu itu AK sudah mulai asyik dengan Iman, tapi ia menghampiriku di pagar sekolah dan diberinya aku kepiting karet miliknya yang tidak tahu untuk apa tapi sebelum tidur aku senang merasakan capitnya dengan telunjuk. Bersama kepiting itu, dibawanya juga sesisir pisang muli (punya neneknya dari rumah sakit) yang kami makan bersama sambil nangkring di pagar. Aku ingat, kami mengobrol tentang rencana mau apa setelah lulus SMA. Dia bilang dia capek sekolah, inginnya nonton Lady Bird saja. Aku bilang aku ingin kuliah dan pacaran (padahal lebih ingin menemaninya nonton apa saja). Lalu pembicaraan berlanjut ke obrolan asal-asalan. Itu hari terindah yang pernah kumiliki.

Lalu kami berpisah. Kura-kura itu hal terakhir yang kuberi, dan diam-diam aku ingin mereka berumur panjang. Kulanjutkan hari-hari. Tahun pertama, aku tak bisa mencabut AK dari kepalaku. Hari-hari warnanya abu, kuliah membosankan, dan jerawatku bermunculan. Tahun pertama adalah yang terberat, tapi tahun-tahun selanjutnya membebaskan. Pada akhirnya, AK berkuliah. Pada akhirnya, aku belum punya pacar. Kudengar AK putus dengan Iman, cowok itu selingkuh. Aku tidak mau tahu.

_

Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua

Kepiting karet pemberian AK kutinggal di rumah dan tak pernah kucoba cari di mana ia terselip. Tidak lagi kupikirkan AK, kecuali satu hari setiap tahun, hari ulang tahunnya. Pemujaanku sudah kering, tapi rasa bersalah yang janggal itu terus memelukku dari belakang. Selalu saja, selepas mandi, ketika aku menemukan tanggal berapa hari itu, sepanjang pagi ke malam aku diliputi perasaan oleng yang tak terjelaskan. Hingga hari ini datang, hari di mana awan putih itu terbentang. Jelas saja perasaanku pada AK bukan obsesi kosong belaka dari seorang teman ke teman lainnya. Aku pernah mencintainya. Cinta monyet? Yang jelas cinta. Yang jelas memusuhi keberadaannya selama bertahun-tahun karena dunia tempat kita berada, itu menyiksa.

Hari ini hari ulang tahun AK. Sebagai teman, aku ingin memberinya ucapan. Mataku masih terpaku pada awan putih lebar di cerah langit Agustus selagi memikirkan apa yang akan kukatakan. Sampai sebuah pesawat melintas dan segera kutangkap ucapan untuknya: Selamat ulang tahun, AK. Semoga bahagia terus, ya. Semoga kapan-kapan kamu bisa kasih jeruk ke cowok yang layak.

Pesan itu terkirim. Kesadaran baru ini mengaduk-aduk perut. Seandainya dari dulu aku mengerti, tentu aku akan berusaha berhenti. Iman, sejak awal, sudah seribu langkah di depan. Teringat hal-hal baik yang pernah dilakukan AK, hari-hari pulang sekolah, caranya berbicara. Dan ingatan itu disapu oleh awan besar yang kuamati tadi. Ketika kuukur dengan telunjuk, ternyata ia telah bergerak jauh. Dipikir-pikir, AK atau bukan, ceritanya akan sama, aku akan tetap menyukai seorang perempuan lain. Sebab awan berpindah-pindah, tapi langit di situ-situ saja.



#waveforequality


Avatar
About Author

Andrea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *