Dari Kampung TikTok Sukabumi Kita Belajar, Penanganan Judi ‘Online’ Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah
Pemerintah aktif membasmi judi ‘online’ dengan menangkap ‘influencer’ gurem. Namun, pesohor besar yang lebih terang-terangan mempromosikan, lolos dari hukuman.
Gunawan Sadbor jadi tersangka usai kedapatan mempromosikan judi online dalam aksi siaran langsung (Live) TikTok-nya, (26/10). Melansir Narasi, penangkapan ini dilakukan usai akun itu mendapat saweran dengan jumlah relatif besar. Ia pun diklaim melanggar pasal perjudian online dalam aksi itu.
Meskipun kini status tersangkanya telah ditangguhkan, penanganan judi online yang cenderung menyasar masyarakat kelas bawah ini masih terus terjadi. Menyitir Republika, selebgram di Cirebon, Jawa Barat, ANS, harus mendekam di penjara lantaran mempromosikan situs judi online di media sosialnya. ANS mengaku awalnya dihubungi oleh orang yang tidak dikenal melalui media sosial. Ia lantas ditawari bayaran Rp1,5 juta hingga Rp2 juta setiap bulannya.
Selain ANS, menyadur Kompas, DFA, selebgram kesil asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat, juga ditangkap setelah didapatkan mempromosikan situs judi daring di akun media sosialnya. DFA mengaku mendapatkan Rp1,5 juta per dua pekan. Ia sudah aktif mempromosikan situs judi daring selama dua bulan. Dari perbuatannya, DFA dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan ancaman hukuman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp10 Miliar.
Sayang, gencarnya aparat penegak hukum dalam membasmi promotor judi online tidak berlaku pada artis papan atas. Beberapa pesohor Indonesia yang beberapa kali terang-terangan mempromosikan situs judi online justru dibiarkan saja. Mengutip Pikiran Rakyat, mereka adalah Denny Cagur yang mempromosikan Agen 138 pada Desember 2020, Jessica Iskandar yang mempromosikan WYM BET pada Desember 2020, juga Young Lex yang promosikan Indo Genting pada Oktober 2022.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Judi ‘Online’ di Indonesia
Pemerintah Pilih Kasih
Andi Syafrani, Pakar Hukum dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, menyebutkan layaknya fenomena gunung es, penanganan judi online terkesan hanya menyasar permukaan dan cenderung tebang pilih. Semestinya, dengan landasan hukum yang sama, para artis besar yang mempromosikan judi online juga ditahan seperti selebgram kecil lainnya.
“Kalau memang berbicara hukum, berarti kita juga berbicara koridor asas. Harusnya, semua orang sama di depan hukum. Apalagi dalam kasus pidana, kika memang memenuhi unsur-unsurnya, semua orang yang diduga melakukan tindakan pidana (promosi judi online), harusnya diproses dan ditahan,” jelas Andi kepada Magdalene.
Tak cuma itu, imbuh Andi, latar belakang terduga pelaku tidak seharusnya jadi penghambat dalam proses penahanan. Siapa pun dia, apabila didapatkan mempromosikan judi online, sudah semestinya mendapatkan penahanan. “Harusnya ada daftar dari penyidik tanpa melihat latar belakang mereka.”
Tindakan promosi ini sendiri tergolong ke dalam proses pendistribusian informasi tentang judi online. Secara hukum, perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE mengenai larangan perjudian. Siapa saja yang melanggar bakal dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1 Tahun 2024.
Tidak hanya itu, tindak pidana judi online juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 55, tentang ancaman hukuman bagi orang atau kelompok yang ikut serta atau bersekongkol dalam suatu tindak kejahatan. Siapa pun yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan kejahatan, termasuk judi online, dapat dipidana berdasarkan hukum yang berlaku.
Baca juga: Yang Tak Dibicarakan dari Darurat Judi ‘Online’: Kekerasan hingga Nihilnya Perlindungan Korban
Yang Bersalah, Dijadikan Duta
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, terdapat aliran dana hingga Rp155 triliun rupiah terkait judi online sejak 2019 sampai 2022. Di media sosial sendiri, berdasarkan data Populix, paparan iklan terkait judi online masih banyak bertebaran. Dari 84 persen responden yang pernah melihat iklan judol, hampir dari setengahnya mengaku melihat iklan ini di Instagram. Kemudian, setengah lainnya, mengaku pernah melihat iklan judol di Youtube, dan juga di Facebook.
Bagi Andi, penanganan judi online gencar dilakukan aparat masih jauh dari kata ideal. Banyak ketidakadilan dalam penanganannya bahkan belum menyentuh akar masalah. Selama ini, penanganan judi online masih bertumpu pada prinsip “no viral no justice”, kata Andi.
Misalnya pada kasus Gunawan Sadbor kemarin, Andi melihat aparat penegak hukum cenderung bergerak berdasarkan opini masyarakat semata. Kecurigaan Andi cukup beralasan setelah status tersangka Gunawan Sadbor ditangguhkan, dan ia diangkat sebagai Duta Anti Judi Online oleh pihak kepolisian.
“Kalau memang benar Gunawan ini seorang tersangka secara hukum, bagaimana bisa diberikan kehormatan dan dijadikan duta? Penekanan opini masyarakat bahkan sebenarnya bukan ke sana. Ada penanganan hukum yang bermasalah (dari awal). Ini proses cuci tangan yang salah dari aparat kepolisian,” jelas Andi.
Pada akhirnya, tindakan ini bisa mengakibatkan ketidakidealan dalam penumpasan judi online. Alih-alih menyelesaikan permasalahan judi online dari akarnya, ketidakadilan dan juga penanganan yang setengah-setengah ini hanya akan menimbulkan efek domino ke depan, imbuh Andi.
Baca juga: Bagaimana Pandemi Tingkatkan Risiko Kecanduan Belanja ‘Online’ Anak Muda
Lalu Bagaimana Seharusnya?
Andi menuturkan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menumpas judi online. Kepolisian tidak bisa terus berkutat pada penumpasan judol yang sifatnya seremonial, seperti menangkap para selebgram saja. Sebaliknya ia memberikan beberapa imbauan kepada aparat soal ini.
Pertama, kepolisian dan pihak terkait bisa memulai dengan serius menumpas situs judi online secara komprehensif. Hal ini meliputi pemblokiran langsung pada situs slot yang bertebaran di media sosial.
Kedua, perlu ada transparansi terkait data penegakan hukum judi online. Aparat penegak hukum perlu menuturkan apa saja langkah yang dilakukan, sampai berapa bandar yang sudah terjerat. Menurut Andi, aparat tidak bisa hanya berkutat pada penanganan di lapis kedua atau di luar lapis utama saja.
Terakhir jangan sampai muncul ironi di tengah pembasmian ini, justru pemerintah andil sebagai promotor judi daring. Kita berharap keterlibatan sepuluh pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di Sleman jadi tamparan keras agar pemerintah berbenah. Ini termasuk pula melakukan bersih-bersih di lembaganya.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari