Siapa yang Sebenarnya Culik Paksa Aktivis 1997/1998?
Sebanyak 23 aktivis telah diculik paksa: 1 orang ditemukan tewas, 9 orang dibebaskan, 13 orang tak tahu rimbanya. Prabowo Subianto disebut-sebut terlibat, benarkah?
Muhidin M. Dahlan, penulis buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 (2024) dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu) oleh kelompok advokat LISAN, (12/2). Ketua Umum LISAN Hendarsam Mantoko menyebut pria yang akrab disapa Gus Muh itu telah melakukan kampanye hitam.
“Di mana pada intinya terlapor berusaha menggiring opini jika Prabowo ikut terlibat dalam kekerasan Negara di Tragedi 1998,” ucap Hendarsam saat dihubungi oleh CNN Indonesia.
Gus Muh, kata dia, melanggar Pasal 280 c UU Nomor 7 Tahun 2017 yang melarang setiap pihak menghina seseorang, etnis, suku, agama, dan peserta Pemilu yang lain. Dalam hal ini, karya Gus Muh dianggap telah merugikan Prabowo sebagai salah satu calon presiden (capres) yang sedang berlaga di Pemilu 2024.
Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 sendiri adalah buku kliping dokumentasi dan arsip sejarah 1998 setebal 518 halaman. Gus Muh menyampaikan tragedi penculikan dan penghilangan paksa para aktivis 1997-1998 dalam lima babak. Mulai dari perkenalan tokoh utama yang di antaranya tokoh militer terkenal yang terlibat, masalah dan alasan-alasan kenapa kekerasan ini terjadi, jalan cerita dari tokoh, dan ditutup oleh proses pengadilan.
Nama Prabowo Subianto tak luput disebut dalam karya Gus Muh. Sebab, saat kekerasan itu terjadi, Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus). Namun, tidak hanya menyajikan soal pemberitaan mengenai Prabowo Subianto, buku ini juga menceritakan perjuangan Munir Said Thalib, pembela HAM yang dibunuh oleh negara dengan racun arsenik.
Dalam buku tersebut, terdapat penggalan arsip dan dokumentasi keberanian Munir dalam mengungkap kebenaran dan mengadvokasi kasus Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Keberanian yang membuatnya mendirikan organisasi bersama keluarga korban penghilangan paksa, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998
Atas Nama Stabilitas Negara, Mereka Diculik dan Dihilangkan
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, terjadi pada masa Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) untuk periode 1998-2003. Mengutip laporan KontraS (2017), laporan khusus Tirto (2020), dan laporan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) (2012), terdapat dua agenda politik besar kala itu. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang pada saat kasus ini terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Soeharto.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menggelar operasi Mantap Brata sebagai langkah preventif menjaga “stabilitas nasional”. Sebelumnya, sejak peristiwa 27 Juli 1996, ketika para preman didukung tentara menduduki kantor dan menyerang simpatisan PDI pro-Megawati di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, ABRI memburu kelompok yang mereka sebut “radikal”.
Dari intelijen di kalangan ABRI kelompok itu dikatakan tengah berencana menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR. Danjen Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto mengambil tindakan cepat dengan menugaskan secara khusus melalui perintah lisan kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42 di bawah Grup 4/Sandi Yudha Kopassus bawahan Kolonel Chairawan Kadarsyah Nusyirwan untuk menjabat Komandan Satgas Merpati.
Mayor Bambang kemudian memanggil Kapten Fauzani Syahril Multhazar, Kapten Nugroho Sulistyo Budi, Kapten Yulius Selvanus, dan Kapten Dadang Hendra Yudha. Mereka diperintahkan menganalisis informasi dan membentuk tim khusus pada pertengahan Juli 1997. Tim khusus ini kemudian dibentuk menjadi tiga tim terpisah, yakni Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung.
Tim Mawar bertugas mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan dan teror karena memang mandat utamanya mengumpulkan data dan informasi tentang kegiatan kelompok radikal. Tim Garda Muda bertugas menggalang organisasi kelompok muda di daerah tertentu. Sementara, tim pendukung membantu satuan bawah kendali operasi (BKO) dalam tiap-tiap komando daerah militer.
Bambang kemudian memerintahkan Kapten Fauzani memilih para komandan detasemen dan beberapa nama dan bintara anggota Yon-42 untuk terlibat dalam Tim Mawar. Total, Tim Mawar terdiri atas Komandan Mayor Bambang Kristiono, Wakil Komandan Kapten Fauzani, Pa Intel Tim Kapten Nugroho, Kapten Untung Budi Harto, Kapten Djaka Budi Utama, Kapten Fauka Noor Farid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi.
Pada 18 Januari 1998, terdengar ledakan di rumah susun (rusun) tanah tinggi Jakarta pusat. Menurut hasil pemeriksaan kepolisian, bahwa ledakan terjadi diakibatkan oleh bahan peledak yang dibuat disalah satu kamar di rusun tersebut. Ledakan tersebut mendorong Mayor Bambang untuk mengintensifkan kerja timnya. Ia khawatir ada peningkatan kegiatan aktivis kelompok radikal.
Mereka lantas menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat bom yang tak sengaja meledak tersebut. Lewat data intelijen yang didapatkan Mayor Bambang, terdeteksi sembilan nama diprioritaskan untuk ditangkap oleh Tim Mawar. Mereka adalah Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Riza, Raharja Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Andi Arief.
Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan
Mayor Bambang kemudian menyiapkan tempat penyekapan sekaligus markas Tim Mawar di Pos Komando Taktis (Poskotis) di Markas Kopassus, Cijantung yang terdiri dari ruang briefing, interogasi, dan enam sel. Dalam operasi yang bergerak secara rahasia dan dengan menggunakan metode hitam atau undercover, target pertama Tim Mawar adalah Desmond, aktivis dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN) yang diculik pada 3 Februari 1998. Disusul oleh Pius (4 Februari), Haryanto (2 Maret), Faisol dan Raharja (12 Maret), Aan, Mugiyanto, dan Nezar (13 Maret), serta Andi (28 Maret).
Desmond, Pius, Haryanto, Raharja, dan Faizol Riza yang disekap selama kurang lebih 1,5 – 2 bulan dipulangkan ke kampung halamannya. Sedangkan Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama tiga hari, diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret. Ketiganya baru dibebaskan pada 5 Juni 1998.
Sayangnya, dari sembilan aktivis yang dipulangkan, ternyata ada 13 aktivis lainnya yang juga ditahan oleh Tim Mawar di Markas Kopassus Cijantung. Mereka adalah Dedy Hamdun, Hermawan Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Nova Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani Afri, dan Wiji Tukul. 13 aktivis ini sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Dalam pengakuan mereka yang kembali, berbagai jenis penyiksaan dilakukan selama proses interogasi. Mengacu langsung pada laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006, mereka berkali-kali ditinju dengan kepalan tangan, ditendang dengan sepatu lars, disetrum dengan menggunakan alat electrical shock, dicambuk dengan tali tambang, ditodong senjata laras panjang di area leher, dan ditidurkan di balok es.
Nezar misalnya, mengaku dipukuli dan ditendang sampai kursi lipat tempat ia duduki patah, dan diganti dengan satu kursi, yang kemudian juga patah. Ia juga mengalami siksaan disetrum selama sekitar 3-4 jam terus-menerus yang ditempelkan ke kaki, jempol kaki, dan di bagian belakang paha. Lalu, Faisol ditidurkan di atas balok es selama berjam-jam, hanya untuk diminta berdiri dan dipukuli, dan kembali ditidurkan di atas balok es.
Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah
Prabowo Dicopot Jabatannya, tapi Kasus Tak Pernah Tuntas
Banyak pendukung Prabowo mengatakan tuduhan atas terlibatnya Prabowo dalam kekerasan ini cuma fitnah yang sengaja digunakan untuk menjatuhkan namanya. Namun, dalam pada 3 November 2013 kepada Tempo, Prabowo mengakui bahwa benar ia terlibat dalam operasi ini atas dasar perintah atasannya.
“Ya, saya katakan, kadang dalam pemerintahan, kita sebagai alat pemerintah menjalankan misi yang dianggap benar. Begitu ada pergantian pemerintah, pemerintah baru menganggapnya tidak benar. Saya kan hanya petugas saat itu,” kata Prabowo.
Prabowo sendiri selaku mantan Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) pada 24 Agustus 1998 diberhentikan dari dinas kemiliteran. Pencopotan jabatan ini terjadi lewat putusan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dalam rangka menindaklanjuti salah satu keputusan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Puspom ABRI.
Namun, pada 4 Februari 1999 KontraS bersama keluarga korban mengkritisi proses peradilan yang dianggap tidak adil karena tidak bisa mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Terdakwanya dibebaskan saja lewat atau dicopot dari jabatannya dengan duduk alasan sesungguhnya mereka hanya melaksanakan perintah atasan, bukan pengambil keputusan.
Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pun menemui babak barunya ketika pada 1 Oktober 2005 Komnas HAM membentuk Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998. Tim ini bertugas melakukan penyelidikan pro yustisia berdasarkan Undang-Undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam pengakuan mereka yang kembali, berbagai jenis penyiksaan dilakukan selama proses interogasi. Mengacu langsung pada laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006, mereka berkali-kali ditinju dengan kepalan tangan, ditendang dengan sepatu lars, disetrum dengan menggunakan alat electrical shock, dicambuk dengan tali tambang, ditodong senjata laras panjang di area leher, dan ditidurkan di balok es.
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa selaku Danjen Kopassus pada waktu itu (Desember 1995 hingga 20 Maret 1998) Prabowo bertanggung jawab atau setidak-tidaknya mengetahui terjadinya peristiwa penghilangan orang secara paksa terhadap setidak-tidaknya yang dilakukan oleh Tim Mawar.
Adapun keterlibatan dari yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Antara lain dalam bentuk pemberian perintah kepada pelaksana operasi, membentuk Tim Mawar atau setidak-tidaknya mengetahui dan membiarkan terjadinya tindakan penculikan, dan penahanan di Poskotis Cijantung yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah kendali yang efektif dari yang bersangkutan.
Sayang, proses penyelidikan Komnas HAM yang awalnya dianggap bisa jadi titik terang malah menemui jalan buntu. Jaksa Agung tak pernah menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dan proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pun tak pernah terealisasikan. Dalam pernyataan Zumrotin K. Susilo Aktivis yang jadi bagian Tim ad hoc dalam acara peluncuran buku Gus Muh pada Kamis (1/2/2024) lalu, salah satu kendala besarnya terletak pada tokoh-tokoh militer yang tidak memenuhi panggilan Komnas HAM. Prabowo bersama Wiranto, Sjafri Sjamsodein, Feisel Tanjung sudah pernah dipanggil oleh Komnas HAM.
Sayangnya, tidak pernah satu kali pun mereka mau datang memenuhi panggilan Komnas HAM. Panggilan Komnas HAM selalu hanya diwakili oleh kuasa hukum yang keliru dalam memahami Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang No. 26 tahun 2000 – yang menganggap harus lebih dahulu dibentuk Pengadilan HAM ad hoc sebelum adanya tim penyelidik.
“Bagaimana tahu pengadilan ini dibentuk duluan tanpa penyelidikan? Kan tentu saja tidak bisa. Itu harus diputuskan pengadilan ad hoc melalui Keppres (Keputusan Presiden) melalui usul DPR. Nah ini tidak bisa kita lakukan, (penyelidikan) mentok di sini,” katanya.
Magdalene menyusun artikel-artikel sejarah, yang diolah dari berbagai sumber terpercaya. Misi kami agar para pembaca, khususnya Gen Z yang tidak mengalami langsung berbagai peristiwa di masa lalu, tak tercerabut dari akar sejarahnya. Yang terpenting juga agar tidak menjadi generasi yang “lupa”.