Environment Issues Opini

Saya Seorang Ibu dan ini Cara Ajarkan Anak Selamatkan Bumi Sejak Dini

Percayakah bahwa pendidikan lingkungan sejak dini bisa dimulai di rumah? Namun, tentu saja orang tua, baik ibu dan ayah harus sama-sama terlibat.

Avatar
  • March 18, 2024
  • 5 min read
  • 1573 Views
Saya Seorang Ibu dan ini Cara Ajarkan Anak Selamatkan Bumi Sejak Dini

Saat bicara penyelamatan Bumi yang semakin renta, kita perlu sepakat, butuh pendidikan sebagai jalan masuknya. Dan pendidikan terbaik bisa dimulai sejak di rumah oleh ibu dan ayah. Meskipun pada praktiknya, perempuanlah yang memegang peran lebih dominan dalam urusan pendidikan.

Pertanyaannya, kenapa perempuan? Dari artikel Magdalene sebelumnya dijelaskan, perempuan lebih punya pengetahuan dan keterampilan kuat dalam memitigasi perubahan iklim. Magdalene mengutip laporan United Nation Women (UN Women) bertajuk “Women, Gender Equality, and Climate Change” (2009), yang menjelaskan lebih lanjut, perempuan bisa punya agensi dalam pengurangan bencana dan jauh lebih adaptif. Tak heran jika perempuan dalam rumah tangga maupun masyarakat berperan lebih baik dalam upaya mengatasi krisis iklim ini.

 

 

Buat saya yang seorang ibu, mengajarkan pendidikan lingkungan memang penuh tantangan. Setelah melewati proses belajar, learn unlearn, cara termudah adalah dengan memberikan contoh konkret pada anak-anak. Lalu bersabar dan terus konsisten, terlebih ketika anak senang mempertanyakan banyak hal.

Saya sendiri mengajarkan tentang gaya hidup berkelanjutan yang tak merusak alam, sehingga tetap menawarkan kehidupan ideal buat makhluk hidup di Bumi. Penerapan konkretnya misal dengan manajemen sampah rumah tangga. Mengelola sampah dengan bijak perlu digarisbawahi mengingat darurat sampah jadi problem yang mewarnai tahun 2023.

Baca juga: Ibu Bumi dan Domestifikasi Perempuan di Tengah Melambungnya Harga Beras

Yang Termudah dengan Manajemen Sampah

Jika tidak ditangani, krisis sampah ini akan berujung pada bencana. Penuhnya kapasitas tempat pembuangan akhir sampah di sejumlah daerah misalnya, menjadi penanda bahwa pengelolaan sampah ini berada di titik nadir. Artinya, pada 2024 persoalan darurat sampah akan makin mengkhawatirkan.

Salah satu yang membuat puyeng pemerintah —bahkan Ketua RT setempat— adalah lonjakan produksi sampah plastik yang tidak terkendali. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan perubahan gaya hidup di masyarakat inilah, yang menyebabkan peningkatan volume sampah plastik secara signifikan. Terutama sampah plastik yang digunakan dalam kehidupan rumah tangga.

Plastik yang kita gunakan, bukan hanya berbahaya bagi lingkungan sekitar, tetapi juga buat manusia. Paparan bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam plastik saat ini belum banyak diperhatikan orang, termasuk oleh kita orang tua yang menggunakan plastik sebagai penyokong rutinitas sehari-hari.

Paparan bahan kimia yang terkandung dalam plastik ini, bisa dengan mudahnya masuk ke dalam tubuh, lewat kemasan makanan dan minuman, produk rumah tangga. Tentu saja yang paling rentan kena imbasnya adalah para pekerja pabrik plastik serta mereka yang bekerja di area pengelolaan sampah —pemulung dan petugas tempat pembungan sampah.

Kesadaran akan berbahayanya penumpukan sampah ini bisa dikampanyekan secara berkala dari rumah. Baik ibu maupun ayah harus punya kemauan untuk memilah sampah rumah tangga. Mana yang bisa didaur ulang, mana yang bernilai ekonomis.

Baca juga: Dear Megawati, Ibu-ibu Tak Cuma Menggoreng tapi juga Turun ke Jalan

Di rumah sendiri, saya sudah berusaha mendaur sampah organik untuk kompos. Jika kesulitan atau tak cukup familier dengan perkara ini, anggota keluarga bisa pula menghubungi usaha-usaha pengolahan sampah. Di Indonesia, kita mengenal Waste4Change, yang memiliki layanan penjemputan sampah organik untuk diolah menjadi kompos (M-1).

Lalu bagaimana dengan sampah plastik yang menyumbang problem serius untuk kerusakan lingkungan? Kita mengenal istilah diet plastik. Itu bukan sekadar mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, tetapi juga memperluas kesadaran akan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bagaimana sampah plastik dapat menghalangi peresapan air dan sinar matahari, sehingga mengurangi kesuburan tanah dan dapat menyebabkan banjir. Plastik juga merupakan penyumbang 90 persen sampah yang ada di lautan.

Para orang tua, bisa membiasakan keluarganya untuk mengganti botol air plastik sekali pakai dengan botol air minum yang dapat digunakan ulang. Selain itu, membiasakan membawa tas belanja kain, karena sampah kantong plastik dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara. Selain itu yang sering saya lakukan adalah mengajak keluarga menghindari penggunaan sedotan plastik, dan beralih ke sedotan logam atau bambu.

Karena plastik ini tidak berasal dari senyawa biologis, maka ia memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable). Dibutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun agar sampah plastik dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Bisa terbayang kan bagaimana berbahayanya, jika kita membiarkan kehidupan serba plastik ini membuat kita bergantung terus menerus.

Urusan sampah plastik, yang punya dampak buruk —bisa timbul kapan saja— karena materialnya tidak akan pernah hilang dari Bumi. Meskipun sudah masuk ke dalam laut sekali pun, sampah plastik hanya akan berubah jadi ukuran lebih kecil (mikroplastik).

Baca juga: Niamh Shaw, Perempuan Ilmuwan Serba Bisa yang Ingin Selamatkan Bumi

Kontribusi Perempuan dan Tantangannya

Di awal tulisan ditekankan betapa perempuan memang andil lebih besar dalam urusan rumah tangga. Ini punya dua makna. Pertama, perempuan punya agensi dalam penyelamatan Bumi, alih-alih korban yang rentan dari krisis iklim. Kedua, ada konstruksi dalam masyarakat patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai poros tunggal. Sementara, peran lelaki atau ayah dalam tugas domestik dikecualikan, termasuk dalam urusan pendidikan lingkungan.

Tafsiran kedua ini punya dampak langsung pada perempuan. Salah satunya, ketika terjadi kondisi krisis, maka perempuanlah yang lebih dulu disalahkan. Perempuanlah yang harus pontang-panting menyelesaikan krisis tersebut. Ini ironis, sebab di saat bersamaan, tugas perempuan yang direduksi sebatas pengurusan rumah tangga, telah mengecualikan mereka dari strategi yang lebih sistematis, termasuk dalam pengambilan kebijakan negara.

Faktanya, baik ayah maupun ibu, dua-duanya dapat menjadi penentu sekaligus agen perubahan tentang pola hidup yang ramah lingkungan. Emak-emak atau bapak-bapak dapat turut mengampanyekan gaya hidup berkelanjutan yang konsisten dan persisten. Perjuangan para orang tua environmentalis ini, punya efek positif bagi Bumi yang sedang “menangis”.

Jika orang tua mau mengambil peran dalam pendidikan lingkungan, maka saya optimis usaha penyelamatan Bumi bisa sedikit lebih ringan.

Foggy F F adalah novelis dan cerpenis. Penulis buku anak. Ibu dari dua orang putri dan dua ekor kucing.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Foggy F.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *