#RuangAmanAnak: Pengalaman Jadi Pendamping Korban Anak Bikin Saya Sadar Pentingnya Pendidikan Seks
Kita sudah harus beranjak dari pikiran: Pendidikan seks sejak dini untuk anak adalah hal tabu.
*Peringatan Pemicu: Cerita kekerasan seksual anak.
Usia “Bunga” masih 6 tahun saat tindak kekerasan seksual itu terjadi. Sebagai konselor yang belum lama bergabung dalam tim pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual di salah satu kelurahan di Depok, saya ingat betul amarah yang terasa saat pertama kali mendengar kasusnya.
Jarang menemui korban anak, saya sempat berdiskusi terlebih dahulu dengan rekan sejawat terkait apa yang harus saya lakukan. Berbeda dengan orang dewasa, korban kekerasan seksual anak punya kebutuhan tersendiri pada proses konseling awal yang mesti saya penuhi dengan tepat. Anak-anak punya pemahaman yang konkret terkait suatu kejadian.
Bersama beberapa rekan, saya melakukan penjangkauan kasus ini ke salah satu rumah warga. Di sana, sudah hadir dua perwakilan warga yang bersedia membantu melakukan pendekatan ke keluarga korban. Pasalnya, setelah Bunga terus terang soal kekerasan seksual yang menimpanya, Ayah Bunga sangat terpukul sampai harus mendapat perawatan khusus di rumah sakit.
Setelah bertemu dan mencoba untuk ngobrol dengan Bunga, ternyata cukup sulit membuat anak berterus terang terkait peristiwa yang mereka hadapi. Butuh waktu yang cukup lama sampai akhirnya Bunga mulai percaya dan membuka suara secara perlahan. Bunga bilang, tindakan yang ia alami itu sesuatu yang tidak nyaman. Makanya, Bunga mau cerita kepada Ayah soal kejadian ini.
Karakteristik anak yang berbeda dengan orang dewasa memerlukan perlakuan khusus dari kita sebagai pendamping. Komunitas sosial, sebagai pihak pendukung, ternyata juga memiliki peran krusial dalam proses penanganan kasus satu ini.
Baca juga: Pendampingan Korban Kekerasan Seksual Anak, Cerita Advokat Gender
Pendidikan Seksual Tak Bisa Lagi Ditawar
Selama melakukan pendampingan kasus anak, saya menyadari betul pendidikan seksual pada anak adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pada proses wawancara, Bunga sebenarnya tahu persis bahwa dia tidak merasa nyaman dengan kejadian yang menimpanya. Hanya saja, ia tidak tahu betul tindakan tersebut adalah kekerasan seksual.
Tidak seperti edukasi kepada orang dewasa, pendidikan seksual pada anak harus dilakukan secara lebih konkret. Pada usia yang lebih muda, pengenalan pendidikan seksual bisa dilakukan dengan simbol atau alat peraga mudah seperti boneka, misalnya. Dengan boneka, anak bisa mulai dikenalkan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh secara sembarangan apalagi oleh orang yang tidak dikenal.
Luh Surini Yulia Savitri (Vivi), Dosen dan Psikolog Anak yang aktif mengajar di Universitas Indonesia sepakat dengan hal ini. Vivi, pada saya, bercerita tentang caranya mengenalkan pendidikan seksual sejak dini kepada anak-anaknya.
“Dulu itu, saya sampai menggunakan boneka ya. Jadi, sebagai orang tua, saya minta untuk ngobrol sama anak menggunakan boneka,” katanya.
Menurut Vivi, anak-anak akan lebih mudah memahami penjelasan dengan bantuan benda konkret. Sehingga ia memasangi stiker dengan warna-warna berbeda pada bagian tubuh boneka, untuk menjelaskan pada anaknya, bagian mana yang boleh dan tidak boleh dipegang orang asing.
Pengenalan pendidikan seksual sendiri perlu dilakukan sejak dini, bahkan bisa dimulai ketika anak mulai memasuki usia 2 tahun. Saya pun mendapat pengetahuan ini setelah lebih dalam membicarakan perkara pendidikan seksual untuk anak bersama Mbak Vivi. Menurutnya, kita bisa mengenalkan pendidikan seksual kepada anak ketika perkembangan kognitifnya mulai berfokus pada perkembangan bahasa.
“Sebetulnya (di tahap ini), banyak hal yang sangat berkembang, salah satunya adalah bahasa, baik bahasa reseptif maupun bahasa ekspresifnya,” jelas Vivi. Ia menjadikan teori Piaget, profesor psikologi Swiss yang terkenal dengan teori perkembangan anak. “Kalau kita ngomongin tentang teorinya Jean Piaget kan mereka sudah mulai masuk ke tahap pra-operasional, nah pada saat itu mereka sudah meng-operate semua informasi yang ada.”
Vivi menambahkan, simbol dan warna-warna yang ditempel pada boneka membantu anak lebih cepat memahami.
“Itu makanya kenapa Aku pakainya boneka dan warna. Karena memang, di usia 2 tahun itu anak-anak sudah mulai memahami tentang sign (simbol). Makanya, untuk anak-anak yang lebih kecil, kasih aja tanda, enggak usah panjang lebar. Vagina enggak boleh, pantat enggak boleh, itu terlalu membingungkan,” tambah Vivi.
Perdebatan tentang apakah pendidikan seks harusnya diajarkan sejak dini atau tidak sebetulnya sudah dijawab banyak sekali penelitian terbaru. Salah satunya milik Christofora Megawati, dari Character Building Development Center, Universitas Bina Nusantara. Dalam “Importance of Sex Education Since Early Age for Preventing Sexual Harassment”, ia menyebut bahwa pendidikan seks dini nyatanya dapat mencegah misinformasi terkait fungsi organ reproduksi yang sering kali terjadi pada anak.
Pendidikan seks sejak dini dapat membekali anak-anak dengan pengetahuan yang akurat terkait fungsi tubuh mereka. Ruang aman antara orang tua dan anak pun dapat terbangun karena anak bisa merasa nyaman untuk mencari bimbingan ketika mereka memiliki pertanyaan atau masalah.
Baca juga: 4 Pelajaran Penting Soal Pelecehan Seksual untuk Anak Perempuan
Komunitas Sosial Punya Peran Krusial
Selain pendidikan seksual, peran komunitas sosial juga sangat krusial pada proses penanganan kasus kekerasan seksual pada anak. Berkaca dari pengalaman menangani kasus Bunga, saya sadar bahwa komunitas sosial perlu punya sensitivitas dan kepedulian lebih agar kasus seperti ini dapat tertangani.
Sinergi yang terbangun antara kami, Satgas (Satuan Tugas), dan warga sekitar sebagai adalah hal yang krusial untuk korban. Lewat koordinasi langsung yang terbentuk, kami sebagai bagian dari komunitas sosial di satu daerah, telah mengakui dan memvalidasi tiap tindak kekerasan seksual yang menimpa seseorang. Tidak ada satupun penderitaan yang boleh terlewat.
Tanpa laporan dari warga sekitar, saya sebagai Satgas, pastinya tidak akan tahu, ada kekerasan seksual yang sedang menimpa seorang anak. Kepekaan komunitas di lingkungan rumah memegang peran yang penting pada kasus ini.
Setelah kurang lebih 2 tahun mendampingi korban anak, sejujurnya, saya masih jarang menemukan masyarakat yang paham pentingnya kesadaran pendidikan seks sejak dini. Meskipun mereka tahu kekerasan seksual pada anak adalah tindakan yang mengerikan, kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa pendidikan seks sejak dini adalah hal tabu. Sebetulnya, cukup menghambat proses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual pada anak. Baik pendidikan seks sejak dini dan juga aksi tanggap dari komunitas, keduanya perlu dijalankan secara beriringan.
Di sana, peran negara diperlukan.
Keterlibatan masyarakat sekitar dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual sendiri sebenarnya merupakan mandat langsung dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022. Pada Pasal 85, disebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan pencegahan, dukungan, pemulihan, hingga pemantauan terhadap kejahatan kekerasan seksual.
Namun, proses sosialiasi dan pemberdayaan masyarakat lewat pendidikan inklusif harusnya bisa lebih diprioritaskan negara.
Keikutsertaan masyarakat sekitar dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, penting dalam pemberian pertolongan darurat pada korban. Sering kali, ketika kasus tidak terdeteksi, pelaku punya banyak kesempatan untuk memengaruhi dan mengancam korban anak agar tidak membeberkan kasusnya. Makin tinggi kesadaran masyarakat harusnya berbanding lurus dengan makin sempitnya ruang pelaku untuk memperdaya korban.
Baca juga: Meski Belum Aktif Seksual, Remaja Bilang Butuh Pendidikan Seks
Vivi pun setuju tentang peran penting masyarakat. Ia percaya, lingkungan aman untuk anak bisa tercipta dengan bantuan komunitas yang sehat.
“Kita ngomongnya mulai dari lingkungan yang terkecil, keluarga dan lingkungan tadi, RT dan RW. Menurutku itu bagus banget,” kata Vivi. “Semuanya itu kan mulai dari orang dewasa. Maka dari itu, karena orang dewasa yang lebih paham, jadi jangan berpikir bahwa semua pembongkaran kasus ini mulainya harus dari anaknya,” jelas Vivi.
Meskipun terbilang cukup baik, memaksimalkan sinergi yang tercipta di tengah komunitas masih perlu terus dilakukan. Kadang-kadang, sinergi itu masih belum terlaksana secara maksimal karena beberapa alasan seperti minimnya sarana prasarana, sampai mandat UU TPKS yang belum tersosialisasi sempurna. Untuk itu, perlu rasanya untuk terus melakukan sosialisasi mengenai hal ini demi terciptanya lingkungan rumah yang aman dan ramah anak.
*Pada Juni 2024, Magdalene memproduksi series artikel tentang #RuangAmanAnak. Liputan ini dimaksudkan untuk mengurai hak anak, terutama yang berkaitan dengan hak atas rasa aman, baik keamanan fisik maupun mental.