Perjalanan Menerima ‘Hidayah’ sebagai Muslimah Queer di Indonesia
Akhirnya "hidayah" itu datang lewat pergumulan batin yang panjang. Saya tidak berhak menghakimi kamu yang melela sebagai LGBTQ+. Kamu pun demikian.
Seperti kebanyakan orang yang mengaku Muslim di negeri ini, mulanya bayangan akan penerimaan terhadap ekspresi gender selain feminin-maskulin dan orientasi seksual selain heteroseksual terasa absurd bagi saya.
Ketika saya berusia 17 tahun, seorang teman yang melela menanyakan pandangan saya sebagai Muslim terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+). Sejujurnya saat itu saya tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Merasa terdesak, saya jawab saja sebisanya. Saya bilang, “Saya enggak tahu pergumulan batin masing-masing orang. Jadi saya rasa saya tidak berhak menghakimi kamu. Bagaimana saya bisa menghakimi ketika saya tidak tahu dan tidak merasakan sendiri pergumulan batin yang kamu alami?”
Sebelum dia melela, saya hanya tahu gay dari berbagai doktrin orang-orang di sekitar saya yang mengatakan, orang-orang gay itu “agresif secara seksual” dan “menular”. Namun, dengan melelanya teman, saya toh tidak ujug-ujug merasa tertarik pada sesama jenis. Justru saya melihat dia sebagaimana orang yang saya kenal selama ini: Sederhana, murah-senyum, baik-hati, seperti orang pada umumnya. Hanya kebetulan saja dia jatuh hati dengan sesama laki-laki.
Toh, dia pun tidak minta apa pun selain penerimaan dari saya dan orang-orang terdekatnya. Saya juga menilai tidak ada yang salah atau merugikan dari orientasi seksualnya. Bahkan, menurut saya, relasinya dengan pasangan menjadikan dia orang yang lebih baik. Saya sebagai teman, merasa senang melihat dia bahagia dan bisa saling mendukung dengan pasangan.
Meski begitu, pertanyaan dia membuat saya bertanya-tanya. Jika memiliki ekspresi gender dan seksualitas di luar yang diterima masyarakat adalah salah, kok bisa-bisanya ada yang “memilih” mengejar sesuatu yang begitu dikutuk oleh Tuhan dan masyarakat?
Mungkin ada yang akan berdalih “itu adalah bisikan dan godaan yang datang dari setan” – atau semacamnya. Namun, bagi saya argumentasi ini benar-benar tidak masuk akal. Sebab, bayangkan saja, kenapa ada orang yang mau menghadapi semua intimidasi, kutukan, rasa malu cuma karena dianggap melakukan perbuatan yang salah?
Buat saya, lebih masuk akal jika yang disebut sebagai “bisikan setan” adalah pilihan untuk menyembunyikan jati diri yang sesungguhnya, dan berpura-pura menjadi heteroseksual supaya lebih mudah diterima oleh masyarakat. Tentunya ini akan jauh lebih mudah dibandingkan menghadapi pengucilan dan kutukan dari orang-orang terdekat dan tersayang.
Sebaliknya, banyak kekejaman dan perundungan yang saya saksikan datang dari orang-orang yang mengaku beragama. Mereka berusaha memaksa dia menjadi heteroseksual dengan melabeli teman dengan cap yang melecehkan dan menyakitkan.
Baca juga: Queer hingga Lesbian, Riset Ungkap Reaksi Muslim Soal Identitas Gender
Hidayah itu Datang
Saya tahu betul sebagai minoritas gender dan seksual, teman saya sudah berperang dengan dirinya sendiri. Bayangkan saja bagaimana rasanya menyadari bahwa jati diri ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kepercayaan yang ditanamkan selama ini?
Dalam pandangan saya, perjalanan dia menerima dirinya yang paling jujur inilah bentuk nyata “jihad” dan perjuangan “hijrah” yang sesungguhnya. Namun, betapa pun besarnya rasa simpati saya, pemahaman terhadap perjalanan seorang queer dibatasi oleh ketidakmampuan saya untuk relate dengan perjalanan batin mereka.
Lucunya, enam tahun berselang, di umur 23 tahun saya seperti diberi “hidayah” oleh Tuhan. Saya jatuh cinta dengan teman perempuan. Saya yakin betul, itu “cinta” karena rasanya beda dengan hubungan saya sebelumnya dengan beberapa laki-laki, yang memang terjalin karena saya melihat itu yang diharapkan terjadi pada setiap perempuan – jatuh cinta dengan laki-laki, menikah, dan punya anak.
Sampai sini saya yakin akan ada yang akan “berpikir”, akhirnya saya “tertular” juga. Namun, menurut saya tidak bisa dibilang bahwa saya “tertular” karena saat itu saya sudah lost contact dengan teman yang melela. Bahkan saya sudah berpacaran selama empat tahun dan dalam proses perencanaan pernikahan dengan laki-laki.
Hubungan saya dengan teman perempuan saya ini jauh dari ekspektasi hubungan pada umumnya — kami tidak merencanakan untuk jatuh cinta. Sebaliknya kami sangat tidak ingin jatuh cinta. Hubungan kami terjalin begitu saja, karena adanya saling paham antarsatu sama lain. Kami menyediakan ruang komunikasi yang aman, jauh dari berbagai penghakiman, kami mendukung satu sama lain untuk terus berkembang sebagai individu, dan membersamai berbagai kontemplasi dan pertanyaan tentang hidup.
Saya merasa kehadirannya seperti secuil surga di hidup saya — seperti oase di padang tandus, tempat di mana saya bisa menjadi diri saya sendiri di antara banyaknya tuntutan dari sekitar. Cinta kami, bagi saya, begitu tulus, karena bukan validasi dari sekitar yang kami harapkan — hanya kebahagiaan satu sama lain.
Sementara, hubungan saya dengan pacar lelaki saya saat itu… ya sekadar begitu saja. Sekadar memenuhi ekspektasi dunia luar terhadap saya sebagai seorang perempuan untuk “menyempurnakan iman saya” untuk “menjadi perempuan seutuhnya”. Rasanya memuakkan. Penuh dengan kepura-puraan.
Baca juga: Praktik Ruqyah terhadap Kelompok LGBT adalah Tindak Kekerasan
Saya kemudian dihadapkan pada dua pilihan: Jujur dan menerima diri saya sendiri apa adanya, atau menikah dengan pacar saya saat itu dan berpura-pura seumur hidup. Pilihan menikah itu tentu saat itu merupakan pilihan termudah. Sebab, dengan menikah saya menghindarkan berbagai kesukaran hidup, tidak perlu takut dihakimi, tidak perlu harus melela, tidak perlu menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Namun, siapa yang mau hidup berpura-pura?
Sungguh saya berkontemplasi hebat, berbulan-bulan saya jauhi teman perempuan itu, dan saya berdoa supaya perasaan saya dihilangkan.
Saat itu saya sangat marah kepada Tuhan karena memberikan perasaan yang tidak saya inginkan. Kenapa saya harus punya perasaan yang begitu kuat dan tulus dengan perempuan, ketika saya bisa punya kehidupan yang jauh lebih mudah dengan pacar lelaki saat itu?
Sungguh puluhan purnama dan ratusan tahajud, salat Dhuha, dan tangis dalam sujud, tidak mampu menghilangkan rasa yang begitu tulus di antara saya dan teman perempuan itu. Hasilnya dari ijtihad yang saya jalani, saya yakin tidak bisa hidup membohongi diri sendiri. Mungkin saya bisa membodohi orang-orang disekitar saya dengan pernikahan, tetapi saya tidak akan bisa hidup dengan membohongi dan membodohi diri sendiri.
Baru-baru ini, saya membaca “Queer Menafsir” yang ditulis oleh Amar Alfikar. Saya merasa “seen” atau dipahami dengan adanya buku ini. Sungguh betapa beruntungnya para queer Muslim di Indonesia saat ini memiliki bacaan yang memvalidasi yang mendorong kejujuran pada diri sendiri. Memang benar bahwa kejujuran, terutama pada diri sendiri sebenarnya dianjurkan dalam Islam. Bagaimana bisa seseorang benar-benar memberi makna pada perjalanan hidup mereka tanpa memberi ruang untuk sepenuhnya jujur kepada diri sendiri?
Melalui berbagai upaya untuk memahami diri sendiri, seiring berjalannya waktu, apa yang dimulai sebagai kebencian dan kemarahan atas kebingungan terhadap perasaan dan seksualitas saya akhirnya berubah menjadi rasa syukur. Saya bersyukur bisa mendapatkan “hidayah” berupa jawaban terhadap pertanyaan yang pernah saya tanyakan bertahun-tahun lalu ketika teman saya menanyakan tanggapan saya mengenai LGBTQ+ di mata Tuhan.
Ketika tiba pada rasa syukur ini, saya ingat menangis dalam sujud seraya berkata, “Ya Allah, sungguh perasaan ini sangat tulus, jujur, dan murni. Hamba meyakini ini sebagai bentuk rahmat dan nikmat-Mu. Hubungan yang saya miliki dengan pasangan saya sungguh terasa seperti secuil surga di Bumi, ruang aman di mana saya bisa menjadi diri saya sendiri seutuhnya di antara himpitan berbagai ekspektasi.”
Rasanya sungguh seperti apa yang dideskripsikan oleh Surat Ar-Rum ayat 21 yang sering dikutip di undangan pernikahan:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Kata pasangan ‘Azwaja’ sendiri di sini tidak memiliki gender (genderless), tetapi yang lebih jelas adalah deskripsi perasaan “cenderung dan tenteram” yang sungguh terwujud dalam hubungan yang saya miliki saat itu dan tidak pernah saya rasakan dengan siapa pun sebelumnya.
Sungguh, rahmat Tuhan adalah untuk seluruh alam, rahmatan lil’ alamin. Saya yakin, di mana cinta yang tulus terjalin, di sanalah rahmat Tuhan hadir, tidak ada rasa takut dan kebingungan dalam mengejar cinta karena sesungguhnya cinta adalah pantulan cahaya ilahi di Bumi. Dari pergumulan ini, saya akhirnya mengerti mengapa pada akhirnya love wins. Sebab menurut saya, cinta yang tulus adalah cerminan Ilahi yang paling murni dan paling sejati di manapun ia ditemukan.