Issues Opini

Jangan Jadi Lansia di Indonesia

Masyarakat lansia sulit gapai hidup nyaman di Indonesia. Penyebabnya dari tak ada tabungan hingga buruknya badan pengelolaan dana pensiun.

Avatar
  • October 15, 2024
  • 7 min read
  • 754 Views
Jangan Jadi Lansia di Indonesia

Kita kerap mendengar, Indonesia digadang-gadang sebagai tempat ideal menghabiskan masa tua. Bahkan, negara ini berada di urutan ke-9 dunia sebagai destinasi impian buat hidup nyaman para lansia. Dalam laporan itu, Tanah Air memikat para pensiunan dari seluruh dunia untuk jadi tempat peristirahatan terakhir lantaran murahnya harga-harga, keindahan alam, dan budayanya.

Tren tersebut sebenarnya sudah terasa sejak 2015 silam. Kala itu, salah satu destinasi pariwisata dunia Bali diserbu oleh lansia asing untuk menetap. Pemerintah Indonesia pun menyambut minat ini dengan mengeluarkan kebijakan visa khusus bernama second home.

 

 

Sayangnya, impian tersebut tak bisa dirasakan oleh warga lokal itu sendiri. Sekitar 30 juta jiwa lansia eksisting dan para calon pensiunan terancam tidak bisa menikmati hari tuanya hingga akhir hayat karena minimnya sistem jaring pengaman sosial untuk hari tua.

Warga asing yang ingin menghabiskan masa tua di Indonesia, diberi visa khusus bernama second home. Sementara rakyat sendiri “disia-sia”.

Belum lama ini The Conversation Indonesia bersama Badan Riset Inovasi Indonesia, dan The Prakarsa mengadakan diskusi publik bertajuk “Pensiun Aman dan Nyaman? Perjuangan Seumur Hidup Karyawan” secara daring. Diskusi tersebut turut dihadiri oleh Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Indonesia Financial Group, serta para pemangku kepentingan dan masyarakat umum.

Dari diskusi tersebut kami menemukan beberapa kondisi terkini mengenai jaminan pensiun nasional. Temuan-temuan tersebut kami harap bisa dijadikan rujukan bagi pemerintahan baru kabinet Prabowo-Gibran dalam menciptakan kebijakan agar masyarakat Indonesia bisa menikmati hari tuanya dengan damai dan tentram.

Baca juga: ‘Aging Society’ dan Kesejahteraan Lansia yang Dipandang Sebelah Mata

Uang Pensiun Kecil dan Meninggalkan Pekerja Informal

Untuk bisa hidup nyaman di masa tua, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menetapkan rasio pendapatan pekerja saat pensiun dibandingkan saat masih aktif bekerja minimal 40 persen. Sedangkan di Indonesia, rasio tersebut hanya 10 persen.

Jika gaji bulanan seorang pegawai di akhir karirnya mencapai Rp20 juta. Angka tersebut terbilang tinggi jika merujuk pada rata-rata pendapatan bulanan masyarakat yang hanya di kisaran Rp5,9 juta perbulan. Di saat pensiun orang tersebut hanya mendapat manfaat pensiun senilai Rp2 juta saja. Bisa dibayangkan bagaimana seseorang dengan gaji bawah tersebut harus jungkir balik memenuhi kebutuhannya sehari-hari mengingat bahwa upah minimum provinsi ada di kisaran Rp2-5 juta. Belum lagi adanya potensi tergerusnya nilai uang akibat inflasi.

“Biaya maintanance untuk elderly itu sebenarnya jauh lebih mahal ketimbang yang masih produktif karena ada permasalahan kesehatan,” kata Senior Research Associate IFG Progress yang sekaligus pengajar FEBUI Ibrahim Kholilul Rohman.

Hal itu tentunya akan diperparah dengan kebutuhan keluarganya. Hal inilah yang mendorong terciptanya istilah sandwich generation, yakni ketika anak para pensiunan terpaksa harus membantu keuangan orang tuanya. Siklus tersebut bahkan banyak terjadi sejak para pensiunan tersebut masih aktif bekerja.

Tidak hanya masalah nominal pundi-pundi pendapatan di hari tua semata. Keistimewaan tersebut hanya dirasakan segelintir golongan saja. Golongan-golongan tersebut antara lain pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, hingga para mantan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adapun karyawan swasta mendapat pesangon dengan skema putus di akhir karirnya semata.

Persoalannya kini jumlah penerima manfaat masa pensiun tergolong amat rendah. Melansir data BP Jamsostek (sebelumnya BP Ketenagakerjaan) per 2023 ada sekitar 41 juta jiwa yang aktif ikut program. Padahal ada 147,71 juta orang yang tercatat bekerja.

Artinya, ada lebih dari 100 juta jiwa pekerja yang tidak memiliki tabungan pensiun. Para individu-individu inilah yang disebut pekerja informal. Mereka bekerja pada badan usaha tidak terorganisasi, tidak ada izin usaha. Para pekerja informal juga banyak dipekerjakan dengan sistem mitra seperti ojek online. Bahkan ada juga yang sebagai wirausaha.

Tidak ada sistem mandatori negara untuk mengikutsertakan individu-individu ini mendapat akses dana pensiun. “Pekerja informal pernah masuk dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan, tapi hanya berlaku sebulan dan langsung dicabut,” kata Anggota DJSN Subiyanto.

Baca Juga: Seperlima Penduduk Indonesia Berusia 60 Tahun pada 2045, Apa Artinya?

Tabungan Pensiun Habis untuk Kebutuhan Mendesak

Salah satu ancaman besar sulitnya masyarakat bisa pensiun nyaman adalah situasi ekonomi yang tidak kondusif. Tren tersebut terlihat dari pergerakan klaim JHT sedekade terakhir dalam tabel di bawah ini.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, rasio pencairan dana dini dibandingkan masa program yang selesai sangat tinggi. Fenomena ini jadi pembuktian bahwa situasi ekonomi nasional sedang tidak baik-baik saja seperti keruntuhan berbagai industri padat karya seperti tekstil dan berkurangnya resapan tenaga kerja dalam investasi.

Para pekerja yang mengajukan pencairan dana dini tersebut harus menggunakan dana pensiunnya untuk kebutuhan darurat pascamengundurkan diri atau kehilangan pekerjaan. “Kalau pun mereka mendapat pekerjaan baru, tabungan pensiunnya harus dimulai lagi dari nol karena mungkin saja sudah habis memenuhi kebutuhan sehari-harinya,” kata Anggota DJSN Subiyanto.

Selain itu dalam riset yang dilakukan OCBC dan Nielsen kondisi keuangan jangka panjang masyarakat pada umumnya cukup rentan. Sebab mereka dihadapkan dengan kewajiban jangka panjang seperti KPR. Kerentanan keuangan masyarakat terlihat dari rasio pemasukan pasif dan kepemilikan investasi jangka panjang yang masing-masing hanya 8 persen dan 9 persen.

Baca Juga: Ketika Mama Menua dan Tak Bekerja, Maukah Kamu Menampungnya?

Buruknya Badan Pengelolaan Pensiunan

Sepanjang kurun waktu sedekade itu pula, publik disajikan berbagai skandal hukum besar beberapa badan pengelola dana pensiun besar seperti Jiwasraya, Asabri, dan Taspen. Ketiga badan pensiun tersebut mengelola ratusan triliun dana pensiun masyarakat.

Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan, dan Perlindungan Sosial BRIN Yanu Endar Prasetyo mengatakan di tengah lemahnya daya ekonomi masyarakat terhadap produk keuangan pensiun, peran lembaga pengelola dana pensiun sangat krusial.

Namun harapan tersebut jauh panggang dari api. Selain rawan terjadi penyelewengan dana, kinerja investasi pengelolaan dana pensiun juga kurang menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari infografis di bawah ini.

Melansir OJK, entitas dana pensiun yang aktif beroperasi pada 2022 sebanyak 201 dana pensiun. Adapun jumlah kepesertaan dana pensiun turun sekitar 2 persen atau sebanyak 60.447 peserta menjadi sebanyak 3.929.787 peserta dengan total dana kelolaan mencapai Rp344,878 triliun dengan total aset Rp1.231,31 triliun.

Entitas-entitas dapen ini diharapkan bisa menginvestasikan dana kelolaan untuk bisa memberikan manfaat lebih bagi peserta. “Selain diskriminasi antar pekerja formal dan informal, kita masih memiliki persoalan terhadap ketahanan dana pensiun,” kata Yanu.

Sebagai perbandingan, jika kita melihat salah satu lembaga pengelola dana pensiun terbesar di dunia ABP mengelola aset senilai US$550 miliar atau senilai Rp9 ribu triliunan di 2021. Dana masyarakat dikelola dengan sedemikian prudent dan profesional melalui diversifikasi investasi saham, obligasi, hingga properti di penjuru dunia sambil menjaga rasio imbal hasil investasi yang tidak pernah kurang dari 7 persen selama 20 tahun terakhir.

Baca Juga: Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan

Literasi Masyarakat Rendah

Urgensitas tinggi dalam memiliki dana pensiun masyarakat juga berbanding terbalik dengan tingkat literasi masyarakat. Deputi Direktur The Prakarsa Victoria Fanggidae bahkan mengatakan literasi para pekerja terhadap dana pensiun tergolong memprihatinkan.

“Dalam riset yang kami lakukan kepada 600 pekerja di enam provinsi 67,3 persen responden tahu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, hanya 36,5 persen dan 11,5 persen di antaranya yang tahu jaminan hari tua dan jaminan pensiun,” kata Victoria.

Minimnya pemahaman terhadap manfaat dana pensiun itulah yang membuat masyarakat lebih memiliki instrumen tabungan dan aset fisik semata untuk bekal hari tua mereka.

Dari hasil riset tersebut bisa kita simpulkan manifestasi uang tabungan sebagai bekal hari tua kurang ideal. Sebab jika kita simulasikan tabungan deposito di BCA, misalnya, bunga deposito yang dihasilkan dari Rp1 miliar dengan bunga 3,25 persen tenor 1 bulan hanya menghasilkan imbal hasil bunga senilai Rp2,1 juta setelah dipotong pajak bunga sebesar 20 persen. Nilai tersebut hanya senilai upah minimum Kota Solo.

Akan sulit bagi mayoritas masyarakat Indonesia untuk memiliki tabungan Rp1 miliar. Merujuk pada Lembaga Jaminan Simpanan, jumlah rekening di bawah Rp100 juta berporsi 99 persen dari total 550 juta rekening terdaftar.

Kesimpulannya, mayoritas masyarakat Indonesia akan kesulitan menggapai hidup tenang dan nyaman di masa pensiunnya yang bisa mencapai 20 tahun seusai pensiun di usia 55 tahun. Sudah saatnya pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap topik ini. Diperlukan pembenahan sistemik dan holistik agar bisa menjamin kehidupan seluruh warganya tidak hanya semasa usia produktif tapi hingga di hari tuanya.

Andi Ibnu Masri Rusli, Economy Editor, The Conversation.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Andi Ibnu Masri Rusli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *