Perusahaan hingga Keluarga, Investasi Cuti Ayah Untungkan Semua
Ketika Hary Pratama, 26, tahu istrinya akan melahirkan pada pertengahan 2024, ia terpaksa bolos kerja beberapa jam untuk mendampingi proses persalinan. Setelah itu, ia tetap masuk kerja seperti biasa. Bukan karena enggan mendampingi lebih lama, tapi karena tempatnya bekerja tak memberikan hak cuti ayah.
“Gue waktu itu punya newborn, kerja dari pagi pulang malam. Boro-boro cuti, perusahaan gue nggak ada cuti malah, ditambah beban kerja. Wah enggak nyaman banget gue, waktu sama anak terbatas sekali, cuma pas libur aja hari Minggu,” katanya kepada Magdalene, (14/7).
Bagi Hary, pengalaman itu cukup membekas. Ia merasa gagal menjalani peran sebagai ayah secara utuh karenanya. Tak berselang lama, ia memilih pindah kerja di perusahaan lain. Sebuah perusahaan yang mengakomodasi kebijakan cuti ayah yang memadai untuk lelaki pekerja sepertinya.
Berlawanan dengan Hary, Sadly Mohamad, 39, beruntung mendapatkan cuti yang layak dari tempatnya bekerja. Waktu cuti ini sangat berarti baginya untuk membangun ikatan emosional dengan anak-anak, apalagi setelah istrinya meninggal dunia.
Baca Juga : Hapus Bias Gender di Perusahaan dengan Kebijakan Inklusif
“Ibaratnya kita sama-sama punya peran yang sama, antara ibu dan ayah untuk mengasuh anak, karena itu penting membangun kedekatan kita,” katanya.
Sadly kini membesarkan dua anak yang masih berusia tujuh dan tiga tahun. Ia menjadi figur ganda, ayah dan ibu, sekaligus harus menjelaskan kematian istrinya kepada anak-anak.
“Kalau dulu enggak dikasih cuti sama tempat bekerja, wah itu bisa berat lagi saya mendekatkan diri sama anak, beruntung mereka mengerti setelah dijelaskan. Makanya cuti untuk ayah itu krusial menurut saya, ditambah itu dukungan untuk istri ketika lahiran,” ujarnya.
Meski pengalaman Sadly positif, ia menyadari kebijakan seperti itu masih jarang ditemukan di Indonesia. Meski begitu, masih ada perusahaan yang berkomitmen mengambil kebijakan macam ini. Unilever Indonesia salah satunya.
Kebijakan ini dirasa positif oleh Priyo Ajie, 33, Senior Global Brand Manager di Unilever Indonesia. Selain cuti, biaya persalinan, pemulihan pasca-kelahiran, dan kebutuhan kesehatan anak pun ditanggung oleh perusahaan.
“Makanya fase persiapan sebelum anak lahir itu penting, ditambah support dari perusahaan untuk kita cuti juga jadi penambah kekuatan, dan Alhamdulilahnya aku bisa hadir di sebelah istri ketika pada saat lahiran, termasuk pertama kali saat anakku nangis,” katanya.
Ia pun langsung mengadzani anaknya, menyadari perjuangan istri untuk melahirkan. Baginya, keterlibatan ayah sejak hari pertama bukan cuma bentuk kehadiran, tapi juga penghormatan dan tanggung jawab.
Tak hanya sebagai ayah, Ajie juga merasa cuti ini membantunya menjalankan peran sebagai suami. Terlebih ia menyadari, di momen-momen pasca-persalinan, istri membutuhkan support system untuk pemulihan fisik dan mental.
Dengan fleksibilitas kerja yang diberikan, ia bisa menemani istri, berbagi peran mengurus anak, mendampingi istri kontrol kesehatan, membersihkan rumah, bahkan sekadar menemani istri makan siang di rumah. Hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia pikirkan sebagai hak, kini menjadi rutinitas penuh makna.
Baca Juga : Dari Ibu hingga Perusahaan, Cuti Ayah Bermanfaat buat Semua
Saat Norma Patriarkal Bertabrakan dengan Realitas
Di banyak rumah tangga Indonesia, pengasuhan masih dianggap sebagai wilayah ibu. Ayah kerap kali hanya berfungsi sebagai pencari nafkah. Mereka terasing dari urusan botol susu, imunisasi, dan malam-malam tanpa tidur. Norma ini bukan terjadi begitu saja, melainkan dibentuk oleh konstruksi sosial yang telah mengakar kuat.
“Jadi ada norma-norma gender yang berlaku di masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan misalnya hanya mengurusi soal domestik alias di rumah saja, dan laki-laki bagian di ruang publik atau mencari nafkah. Ditambah perempuan ada stereotip yang hanya berkutat pada persoalan sumur, kasur, dan dapur,” kata Jamaluddin Mohammad, peneliti senior di Rumah KitaB, saat diwawancara Magdalene (17/7).
Menurut Jamal, konstruksi tersebut tidak hanya membebani perempuan, tapi juga menjauhkan anak dari peran pengasuhan ayah. Ia mengingatkan bahwa dalam Islam, anak lahir dalam keadaan fitrah—ibarat kertas putih—yang akan dibentuk oleh kedua orang tuanya secara seimbang.
“Jadi fa’abawahu bahasanya, ayah dan ibunya itu tugas pengasuhan yang ideal menurut saya ya. Jadi saya tidak setuju dengan norma-norma yang ada hari ini antara istri dan suami. Seperti misalnya ketika seorang istri mencari nafkah keluarga menjadi kepala keluarga seolah-olah keluar dari norma adat atau norma agama,” ujarnya.
Maka ketika negara hanya menyediakan dua hari cuti bagi ayah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, pertanyaannya bukan hanya soal durasi, tapi seberapa serius negara mengakui dan mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Jamal menegaskan cuti ayah bukan sekadar hak administratif, melainkan kunci keadilan dalam keluarga.
“Intinya pengasuhan seorang anak itu harus dilakukan bersama-sama dengan mengedepankan kesetaraan dan keadilan, ini menjadi kunci sebuah keluarga,” ujarnya.
Tanpa kehadiran ayah, risiko baby blues pada ibu semakin besar, padahal berbagai tantangan pasca melahirkan seharusnya bukan beban yang ditanggung sendirian oleh perempuan.
Kritik terhadap minimnya durasi cuti ayah juga datang dari Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
“Kenapa satu bulan setengah? Karena itu adalah waktu yang cukup kritis, bolak-balik untuk rutin melakukan check-up, belum kesehatan bayinya, urusan di dalam rumahnya. Jadi satu bulan setengah ini minimum sekali, agar menghindari terjadinya baby blues,” ujarnya kepada Magdalene (18/7).
Bhima juga mencatat dalam konteks keluarga urban yang jauh dari dukungan extended family, kehadiran ayah menjadi krusial. Tanpa cuti ayah, keluarga dipaksa menyewa pengasuh, yang secara ekonomi bisa jadi membebani.
“Kalau dia meng-hire pengasuh anak pasti kan biayanya bervariasi, misal sehari tiga puluh lima ribu terus dikalikan selama dua puluh lima hari kerja itu sudah lumayan. Dengan perusahaan memberikan paternity leave, sebenarnya meringankan beban biaya pada pekerjanya,” jelasnya.
Sayangnya, menurut Bhima, mayoritas perusahaan masih menganggap cuti ayah sebagai pengeluaran ekstra.
“Justru nanti karyawan main belakang atau izin tanpa pemberitahuan, tiba-tiba sering bolos kerjanya. Soal ini kalau tidak dibicarakan begitu yang rugi adalah perusahaan sebenarnya,” imbuhnya.
“Kalau gitu kenapa enggak sekalian kasih cuti perusahaan, kan begitu faktanya.”
Ia menyarankan agar perusahaan menjadikan cuti ayah sebagai bagian dari kebijakan sumber daya manusia, bukan sekadar bonus.
Baca Juga: Perempuan Masih Nomor Dua di Dunia Kerja, ini yang Harus Dilakukan Perusahaan
Komitmen Perusahaan: Investasi pada Peran Ayah
Di tengah minimnya peraturan juga penerapan yang serius, tetap ada perusahaan dan organisasi yang mendukung keterlibatan ayah melalui kebijakan progresif dalam hal cuti orang tua.
Jika di banyak perusahaan ayah hanya diberi waktu dua hari atau bahkan tak ada sama sekali, perusahaan tempat Ajie bekerja memberi cuti ayah hingga tiga minggu. Selain itu, cuti melahirkan bagi ibu selama empat bulan, fleksibilitas waktu kerja (agile working), program pendampingan orang tua baru, dan penyediaan daycare di kantor pusat.
Berbagai kebijakan ini dirancang dengan basis pemikiran, karyawan lebih fokus, loyal, dan produktif saat merasa didukung untuk menjaga kesehatan fisik maupun mental dan dapat menjalani peran dalam keluarga dengan baik.
“Jika cuti ayah hanya dilihat sebagai hak simbolik, kita gagal memahami urgensinya. Bukan hanya ayah dan ibu yang dirugikan, tapi juga anak-anak yang tumbuh dengan figur ayah yang absen. Sektor privat harus lebih berani mengambil posisi,” tandas Bhima.
Sonia Kharisma Putri berkontribusi dalam artikel ini melalui wawancara narasumber.
















