Ukur Bahaya, Selamatkan Hidup: Bagaimana ‘Danger Assessment’ Bisa Cegah Femisida
*Peringatan pemicu: Kekerasan fisik dan femisida
Kasus pembunuhan perempuan karena identitas gendernya atau femisida kembali terjadi. Kali ini korbannya datang dari Purwakarta, Jawa Tengah. DPK, 27, dibunuh pekerja rumah tangganya sendiri, Ade Mulyana, 26. Sebelum dibunuh, selama tiga bulan lamanya DPK kerap diteror. Rumahnya dilempari cat dan ia dikirimi pesan-pesan WhatsApp berisi ancaman pembunuhan yang sengaja dikirim pelaku dengan nomor-nomor tidak dikenal.
Sebelum kematiannya, DPK sudah berusaha melaporkan kekerasan yang ia alami ke aparat penegak hukum setempat. Namun alih-alih mendapatkan perlindungan, ia justru kembali ke rumah dengan rasa cemas yang tak berkesudahan.
“Sudah lapor Babinsa, sampai ke Polsek Jatiluhur, tapi enggak ada yang datang,” kata YL, 55, ibu korban pada Jawa Pos.
Ancaman yang dianggap sepele itu pun perlahan benar-benar menjadi kenyataan. Selang beberapa hari dari usahanya melaporkan kasus, DPK ditemukan tewas sehabis dipukul menggunakan palu di bagian belakang kepala pada Selasa, 12/8. Setelah diringkus oleh pihak kepolisian, Ade Mulyana mengungkapkan motifnya membunuh korban yakni lantaran sakit hati dan dendam.
Setahun sebelumnya, pada 2023, kasus serupa juga menimpa MSD, 24, seorang ibu dua anak yang tewas di tangan suaminya sendiri. Menurut pemberitaan Kompas, MSD sebelumnya telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga pernah melarikan diri dari rumah.
Ketika kekerasan yang dialaminya semakin intens, MSD sempat melaporkan kasusnya ke Mapolres Metro Bekasi, ia bahkan sempat melakukan visum. Namun sayangnya laporan itu tidak pernah bisa ditindaklanjuti lebih jauh.
“Dari pihak pelaku menyangkal dan (polisi) memutuskan buat disetop,” kata kakak kandung korban saat ditemui di Polsek Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.
Baca Juga: Temuan Pantuan Media Magdalene tentang Femisida
Rumah yang Jadi Neraka bagi Perempuan
Apa yang dialami oleh DPK dan MSD tak lain adalah fenomena gunung es dari femisida. Data dari Perkumpulan Lintas Feminis yang melakukan pemantauan pemberitaan media online menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sepanjang 2022 tercatat ada 184 kasus femisida, pada 2023 ada 180 kasus, dan sepanjang 2024 jumlahnya melonjak menjadi 204 kasus. Lonjakan kasus semakin mengkhawatirkan mengingat tak semua kasus femisida terlaporkan atau terangkat ke publik. Data terpilah gender yang harusnya jadi basis pencatatan kasus femisida pun masih belum dikembangkan.
Mayoritas pelaku femisida adalah laki-laki yang merupakan orang dekat korban yakni suami, pacar, mantan pasangan, atau anggota keluarga lain. Hampir 48 persen kasus femisida tercatat melibatkan pasangan intim, sementara lebih dari 50 persen terjadi di rumah korban. Fakta ini membuktikan femisida rumah yang mestinya menjadi pelindung justru berubah menjadi arena paling berbahaya bagi perempuan.
Sayangnya, kasus-kasus femisida terus berulang karena lemahnya sistem pencegahan. Salah satu penyebab utamanya adalah ketidaksensitifan aparat penegak hukum (APH). Dalam peluncuran Laporan Femisida 2024 oleh Jakarta Feminist pada Juni lalu, Kompol Endang Sri Lestari, Kepala Unit PPA Polda Metro Jaya, mengakui banyak APH belum dibekali pemahaman berbasis gender.
Akibatnya, motif kebencian terhadap perempuan, relasi kuasa, serta superioritas gender sering luput didalami dalam penanganan kasus. Tanpa perspektif ini, ancaman yang berpotensi berujung pada pembunuhan pun dipandang hanya sebagai “konflik rumah tangga” biasa.
Lebih buruk lagi, sistem hukum Indonesia belum memiliki mekanisme standar untuk menilai risiko eskalasi kekerasan. Tidak adanya penilaian risiko (risk assessment) membuat aparat dan lembaga layanan gagal mendeteksi tanda-tanda bahaya yang jelas, seperti ancaman pembunuhan berulang, akses pelaku terhadap senjata, atau pola kekerasan yang semakin meningkat.
Baca Juga: Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya
Mengenal Danger Assessment yang Bisa Selamatkan Nyawa
Menurut Siti Aminah Tardi, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), femisida bisa dicegah jika aparat dan lembaga layanan menggunakan metode penilaian tingkat kebahayaan atau Danger Assessment (DA).
“Danger Assessment ini instrumen untuk mengukur tingkat ancaman langsung terhadap keselamatan atau nyawa korban kekerasan, baik dalam konteks KDRT maupun kekerasan berbasis gender secara umum,” jelasnya.
Instrumen ini pertama kali dikembangkan pada awal 1980-an oleh Dr. Jacquelyn Campbell, perawat sekaligus peneliti di Amerika Serikat. Campbell membangun Danger Assessment berdasarkan penelitian mendalam terhadap korban KDRT dan femisida, dengan tujuan menciptakan instrumen berbasis bukti (evidence-based) untuk mengidentifikasi risiko pembunuhan oleh pasangan intim.
Campbell dalam The Danger Assessment Validation of a Lethality Risk Assessment Instrument for Intimate Partner Femicide (2008) merumuskan 20 pertanyaan yang dapat memprediksi tingkat bahaya yang dihadapi oleh seorang korban dan apakah korban tersebut berisiko tinggi dibunuh oleh pasangan intimnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan bersamaan dengan kalender di mana korban menandai hari-hari ketika dia mengalami kekerasan dan menilai tingkat keparahan insiden tersebut pada skala 1 hingga 5.
“Bagian kalender dirancang sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran korban dan mengurangi penyangkalan serta minimisasi kekerasan, terutama karena penggunaan kalender meningkatkan ingatan yang akurat dalam situasi kekerasan,” tulis Campbell.
Sejumlah negara telah menerapkan DA, seperti Amerika Serikat, Kanada (Ontario Domestic Assault Risk Assessment (ODARA) dan Brief Spousal Assault Form for the Evaluation of Risk (B-SAFER)), Inggris & Wales (DASH Risk Checklist (Domestic Abuse, Stalking and Honour-Based Violence)), dan Australia (Domestic Violence Safety Assessment Tool (DVSAT) di New South Wales dan Selandia Baru yang menggabungkan DA dengan Family Violence Risk Assessment Tool).
Dikutip dalam rilis pers Indonesia Femicide Watch (IFW), UN Women dan WHO juga merekomendasikan penggunaan Danger Assessment dalam penanganan kekerasan berbasis gender dan pencegahan femisida. Penilaian berdasarkan sejumlah indikator dalam bentuk pertanyaan yang dibangun berdasarkan pengalaman korban akan menentukan keputusan yang diambil oleh polisi, lembaga layanan korban, korban dan keluarga korban. Seperti diberikan perintah perlindungan, dievakuasi ke rumah aman, penangkapan dan penahanan pelaku atau perlindungan oleh komunitas.
Baca Juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat
Contoh implementasi DA yang nyata adalah Lethality Assessment Program (LAP), dikembangkan oleh Maryland Network Against Domestic Violence (MNADV). LAP mengadaptasi DA menjadi protokol respons pertama (first responder).
Melalui LAP, petugas kepolisian yang merespons insiden KDRT akan mengajukan serangkaian pertanyaan skrining kepada korban. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan untuk menentukan potensi bahaya mematikan dari situasi tersebut.
Tergantung pada jawaban korban, petugas kepolisian dapat segera menghubungkan korban berisiko tinggi dengan program KDRT setempat agar korban dapat memulai perencanaan keamanan langsung. Evaluasi kuasi-eksperimen di Maryland menemukan penurunan jumlah femisida domestik sebesar 32 persen antara 2008 dan 2018 setelah adopsi LAP.
















