Pentingnya Melibatkan Ulama dalam Isu Energi Bersih
Pelibatan tokoh-tokoh agama adalah langkah strategis. Sebab, survei pada 2020 menemukan mayoritas masyarakat lebih mempercayai informasi dari tokoh-tokoh religius.
Laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa bumi terus memanas dan semakin tidak layak dihuni. Komite yang berisi para ilmuwan ini merekomendasikan bahwa kita harus memangkas emisi gas rumah kaca sebanyak dan secepat mungkin.
Salah satu sumber emisi yang harus dikurangi berasal dari sektor energi. Pasalnya, pembakaran bahan bakar fossil dan aktivitas industri menyumbang 78 persen emisi. Karena itulah, transisi menuju penggunaan energi terbarukan yang lebih bersih penting untuk dikebut.
Berbagai negara berlomba-lomba menciptakan terobosan untuk pengembangan energi bersih. Bahkan pemimpin-pemimpin keagamaan juga turut mengimbau agar dunia segera meninggalkan sumber energi fosil guna beralih menggunakan energi bersih.
Paus Fransiskus, misalnya, pada 2018 menyerukan warga dunia maupun pelaku usaha untuk mengurangi bahan bakar fosil serta berupaya meningkatkan konsumsi energi bersih demi kelestarian bumi.
Inisiatif lain juga datang dari Afrika, negara Maroko memperkenalkan Green Mosques Initiative (Inisiatif Masjid Hijau) melalui pemasangan panel surya pada lebih dari 100 atap masjid. Inisiatif ini juga mencakup pelatihan bagi imam masjid setempat maupun para ustazah bagaimana mengedukasi warga tentang pentingnya transisi energi.
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Pemerintah juga melibatkan para kyai dan organisasi keagamaan untuk mempromosikan penggunaan energi bersih. Langkah ini sangat vital mengingat 90 persen populasi Indonesia beragama Islam.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Rugikan Indonesia Ratusan Triliun
Ulama Dapat Dilibatkan untuk Edukasi Energi Bersih
Transisi energi di Indonesia belum berjalan mulus saat ini. Sebab, sektor energi maupun ekonomi negara ini masih tergantung pada sumber daya fossil
Untuk memuluskan upaya tersebut, Pemerintah bekerja sama dengan para pemimpin muslim untuk membantu pencapaian target net zero alias keadaan impas antara pelepasan dan penyerapan emisi karbon pada 2060.
Target tersebut pada dasarnya selaras dengan prinsip Islam yang menekankan pentingnya penggunaan sumber daya yang bersih serta tidak merusak bumi.
Berbasis prinsip tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyepakati nota kesepahaman dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar untuk pengelolaan lingkungan dan kehutanan yang berkelanjutan.
Kemitraan ini merupakan langkah besar – terutama dalam bidang pendidikan – karena ada 28.800 pesantren dengan jutaan santri yang berafiliasi dengan NU.
Pemerintah juga dapat menjalin kerjasama serupa dengan organisasi lainnya seperti Muhammadiyah maupun Majelis Ulama Indonesia untuk mempercepat pemenuhan komitmen iklimnya.
Kerjasama ini sebetulnya tak sulit diterapkan. Sebab, kedua organisasi tersebut memiliki inisiatif hijaunya masing-masing. MUI, misalnya, memiliki gerakan Ecomasjid untuk menggalakkan gaya hidup ramah lingkungan yang berawal dari masjid.
Pelibatan tokoh-tokoh agama adalah langkah strategis. Sebab, survei pada 2020 menemukan bahwa mayoritas masyarakat lebih mempercayai informasi yang berasal dari tokoh-tokoh religius.
Karena itulah, Pemerintah dapat berkolaborasi dengan para ulama untuk berkampanye seputar pentingnya penggunaan energi bersih sebagai bagian dari konsep Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Melalui ceramahnya, mereka dapat berdakwah seputar alasan-alasan mendesak bagi masyarakat Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Para ustaz maupun kiai dapat mengajak warga untuk menggunakan energi terbarukan, misalnya melalui pemasangan panel surya di atap-atap rumah (PLTS atap).
Baca juga: Gerakan Aksi Iklim Indonesia Meningkat, tapi Belum Pengaruhi Kebijakan
Upaya ‘Menghijaukan’ Masjid Juga Tak Kalah Penting
Inisiatif untuk membantu pengembangan energi bersih di Indonesia juga dapat diawali dari masjid. Para pendakwah dapat berkolaborasi dengan para pengurus masjid untuk pemasangan infrastruktur energi terbarukan, misalnya PLTS atap.
Kisah suksesnya pun sudah ada. Masjid Istiqlal di Jakarta baru saja mengantongi sertifikat sebagai rumah ibadah ramah lingkungan pertama di dunia versi International Finance Corporation – lembaga pendanaan di bawah Bank Dunia.
Pada Masjid Istiqlal telah dipasang PLTS atap berkapasitas 150-kilowatt peak (kWp) di atapnya.. PLTS atap ini mampu memasok 16 persen dari total kebutuhan listrik Istiqlal.
Ada 290.000 masjid di seluruh Indonesia. Pemasangan panel surya di atap ratusan ribu masjid ini dapat menjadi penyumbang energi bersih yang signifikan. Apalagi jumlah masjid juga terus bertambah.
Emisi karbon dari PLTS juga sangat kecil,hanya sekitar 50 gram setara CO2 per kWh. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan emisi dari pembangkit listrik batubara – yang saat ini memasok sekitar 60 persen kebutuhan listrik Indonesia – sebesar 1 kg setara CO2 per kWh.
Jika setiap masjid dapat memasang PLTS sebesar 1 kiloWatt peak (kWp), maka dengan potensi produksi listrik minimum 3,4 kilowatt jam (kWh) per kWp, Indonesia bisa mendapatkan tambahan 1 juta kWh dari listrik energi bersih. Angka ini nyaris setara dengan konsumsi listrik per kapita seribu penduduk Indonesia.
Baca juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?
Bagaimana Cara Mewujudkannya?
Sebagai langkah awal, Pemerintah dapat memberikan edukasi dan sosialisasi kepada tokoh agama dan pengurus masjid seputar pentingnya penggunaan energi bersih. Edukasi ini nantinya bisa diteruskan oleh para tokoh tersebut melalui dakwah dan teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, upaya kampanye ini juga harus dibarengi pendanaan yang memadai.
Saat ini ongkos pemasangan panel surya sebesar Rp 15 juta per kWp. Artinya, jika seluruh masjid di Indonesia memasang PLTS sebesar 1 kWp, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 4,3 triliun.
Sebuah studi mengungkapkan pemasangan panel surya di masjid di Indonesia masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan tarif listrik saat ini. Pasalnya, masjid tergolong pelanggan sosial yang mendapatkan subsidi dengan variasi antara Rp 545 hingga 1.120 per kWh (Gambar 2).
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah dapat mengoptimalkan kebijakan insentif pemasangan PLTS atap masjid yang sudah ada, yakni Rp 9 juta. Insentif ini tak hanya berlaku untuk masjid, tapi juga usaha kecil dan menengah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga dapat berkolaborasi dengan Kementerian Agama untuk mendorong “masjid hijau” ini. Misalnya hanya dengan menyisihkan 1 persen dari anggaran tahunannya yang mencapai Rp 67 triliun, Kementerian Agama dapat mendanai program ini.
Jika terealisasi, hanya dalam waktu lima tahun ke depan akan ada minimal 290 ribu masjid yang dapat berkontribusi pada pelestarian bumi Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.