Issues Opini

Sebab-sebab Tingginya Perkawinan Anak, Krisis Iklim Salah Satunya

Sudah ada kemajuan dalam kebijakan kita tapi itu tak cukup membuat angka perkawinan anak menurun.

Avatar
  • July 6, 2023
  • 6 min read
  • 1154 Views
Sebab-sebab Tingginya Perkawinan Anak, Krisis Iklim Salah Satunya

Kita sama-sama tahu, perkawinan anak bisa membuat masa depan mereka hancur, khususnya buat anak perempuan. Mereka berisiko mengalami gangguan kesehatan reproduksi, kematian ketika melahirkan, putus sekolah, kekerasan, kesehatan mental, dan rentan kemiskinan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan adanya tren penurunan angka perkawinan anak di Indonesia. Proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun selama tahun 2022 sebesar 8,06 persen. Angka ini lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya, yakni 9,23 persen pada 2021 dan 10,35 persen pada 2020.

 

 

Data Badan Peradilan Agama menyebutkan terdapat 50.673 dispensasi perkawinan anak yang diputus pengadilan agama pada 2022. Jumlah ini lebih rendah 17,54 persen dibandingkan 2021. Meski tren tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan, terjadi lonjakan tinggi dispensasi perkawinan anak pada periode awal COVID-19, yakni dari 23.145 pada 2019 menjadi 63.382 pada 2020.

Hasil riset terbaru PUSKAPA Universitas Indonesia terhadap putusan dispensasi perkawinan Pengadilan Agama seluruh Indonesia menunjukkan tren serupa: Penurunan jumlah dispensasi perkawinan anak selama 2020-2022. Terdapat 70 persen perkawinan anak dari 40 putusan pada tahun 2020, 60 persen dari 40 putusan pada 2021, dan 53,66 persen dari 41 putusan pada 2022.

Meski demikian, prevalensi perkawinan anak di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan dan terhitung tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Data UNICEF menempatkan Indonesia di peringkat kedelapan di dunia dan tertinggi kedua di Asia Tenggara dalam hal persentase perkawinan usia anak di bawah usia 18 tahun.

Baca juga: Mencegah Pernikahan Anak Tak Cukup dengan Kenaikan Batas Usia Pernikahan

Kemajuan dalam Kebijakan Perkawinan Anak

Advokasi kebijakan perkawinan anak oleh gerakan perempuan di Indonesia menunjukkan banyak kemajuan. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun. Sebelumnya, dalam UU Perkawinan, batas usia minimal bagi perempuan adalah 16 tahun.

Advokasi perkawinan anak juga berlanjut melalui UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 10 menyebutkan perkawinan paksa sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Perkawinan paksa yang dimaksud termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

Revisi UU Perkawinan dan lahirnya UU TPKS memuat semangat untuk penghapusan perkawinan anak di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020-2024. Dua dari tujuh prinsip Stranas PPA adalah hak anak dan kesetaraan gender. Perkawinan anak ditempatkan sebagai isu kunci pembangunan sumber daya manusia.

Terlepas dari sejumlah kemajuan dalam hal kebijakan dan aturan hukum, angka perkawinan anak di Indonesia masih relatif tinggi. Untuk bisa menghasilkan solusi yang tepat sasaran, perlu kita telaah lebih jauh faktor apa saja yang mendorong terjadinya perkawinan anak.

Baca juga: Bahagia Selamanya yang Semu: Perkawinan Anak Tingkatkan Depresi Perempuan

Faktor Penyebab Perkawinan Anak

Berbagai riset menunjukkan ada beragam faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak.

Riset terbaru menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja menjadi salah satu faktor pendorong perkawinan anak di Indonesia.

Sementara itu, riset PUSKAPA UI (2023) mencatat 36,36 persen dari total perkawinan anak yang diputus Pengadilan Agama pada 2022 adalah karena alasan anak telah hamil. Ini berarti sekitar sepertiga dari pengajuan dispensasi perkawinan diajukan karena alasan kehamilan pada anak.

Salah satu riset di Sukabumi, Jawa Barat, menunjukkan ketakutan akan zina, pendidikan rendah, dan kemiskinan menjadi faktor penyebab tinggi angka perkawinan anak di daerah itu.

Riset terhadap suku Dayak Mali di Kalimantan Barat menunjukkan, kemiskinan menjadi faktor perempuan di suku tersebut yang melakukan perkawinan di usia anak. Ketiadaan akses pekerjaan dan mengalami kehamilan di usia anak juga menjadi faktor pendorong perkawinan anak.

Ada pula riset yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya berpengaruh terhadap praktik perkawinan anak, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Praktik perkawinan anak pada umumnya terjadi melalui mekanisme merariq (lari bersama). Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk merariq adalah kedewasaan. Sementara itu, anak perempuan di komunitas adat Sasak dianggap telah dewasa dan siap menikah apabila telah mampu menenun dan mengolah mutiara meskipun baru masih berusia 14 tahun.

Secara garis besar, sebagian besar faktor yang mendorong perkawinan anak berakar pada budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat dalam berbagai aspek. Anak perempuan dari keluarga miskin, misalnya, sering kali tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi dan dianggap menjadi beban ekonomi keluarga. Di sisi lain, akses pekerjaan layak dan pendidikan seksual komprehensif (Comprehensive Sexuality Education/CSE) masih belum tersedia secara memadai di Indonesia.

Baca juga: Tokoh Agama, Adat Pegang Kunci Pencegahan Perkawinan Anak

Krisis Iklim

Selain faktor-faktor di atas, krisis iklim juga berpengaruh terhadap ketidakadilan gender.

Perempuan dan anak perempuan sering kali dibebankan tanggung jawab untuk mengumpulkan air dan bahan bakar, mencari makanan, dan menyiapkan makanan untuk keluarga. Dalam situasi bencana, perempuan bekerja dengan waktu yang lebih lama untuk mengakses sumber pangan dan air bersih. Beberapa diantaranya harus bermigrasi sebagai bentuk adaptasi terhadap krisis iklim.

Contoh nyatanya adalah perempuan di wilayah pesisir Lombok dan Jawa Timur yang harus menanggung beban kerja berlapis dan kesulitan ekonomi akibat kekeringan ekstrem dan banjir.

Krisis iklim bisa menjadi persoalan gender, karena perempuan sering kali mengalami dampak lebih buruk dibandingkan laki-laki. Krisis iklim memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada sebelumnya bagi perempuan dan anak perempuan. Krisis iklim juga secara spesifik berkorelasi terhadap meningkatnya angka perkawinan anak.

Hasil riset menemukan, bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir, badai, tanah longsor, letusan, kekeringan, kebakaran, dan air pasang) meningkatkan kerentanan perempuan untuk menikah di usia anak. Menikahkan anak perempuan menjadi salah satu pilihan dan strategi keluarga untuk keluar dari dampak negatif bencana.

Baca juga: Penghentian Perkawinan Anak Terkendala Kelonggaran Dispensasi Kawin

#GerakBersama Hapus Perkawinan Anak

Perkawinan anak adalah persoalan multidimensi, sehingga diperlukan #GerakBersama semua pihak. Kebijakan yang tersedia menjadi instrumen penting, tetapi itu saja tidak cukup. Diperlukan perubahan cara pandang yang radikal, mulai dari tingkat individu, keluarga, komunitas, pasar tenaga kerja, hingga negara.

Di level individu, anak-anak harus mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya perkawinan anak. Di level keluarga, suara dan aspirasi anak perempuan atas pendidikan perlu juga didengar sama halnya dengan anak laki-laki. Di tingkat komunitas (masyarakat, adat, agama) perlu dibangun ruang aman bagi anak untuk mewujudkan cita-citanya.

Di level pasar, peluang pekerjaan layak harus lebih banyak lagi tersedia bagi perempuan, alih-alih menjadikan perempuan sebagai buruh berupah murah. Di level negara, perlu memastikan, semua kebijakan dan instrumen tidak sekadar dokumen dan ceklis saja tetapi juga implementatif.

Agenda penghapusan perkawinan perkawinan anak perlu menjadi arus utama dan melibatkan suara anak.

Andi Misbahul Pratiwi, PhD Student, University of Leeds.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Andi Misbahul Pratiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *