Kenapa Perempuan Paling Dikorbankan di Tengah Hilangnya Hutan Papua?
Perampasan hutan Papua akan membuat perempuan semakin rentan. Tak cuma miskin dan kesakitan, perempuan juga berpotensi jadi korban KDRT.
Kalau pernah menonton film dokumenter “Defending Paradise: Hutan Ibu Kami, Rumah Cendrawasih” (2022), kamu akan lihat betapa pentingnya hutan buat rakyat Papua. Dalam film kolaborasi Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) dan The Cornell Lab of Ornithology itu dijelaskan, hutan bagi masyarakat adat Papua layaknya ibu. Hubungannya sangat erat. Sebab, hutan menyediakan segala yang mereka butuhkan, dari sumber makanan, udara, obat-obatan, rumah, hingga budaya.
Karena itulah, ketika hutan dirusak, maka rusak pula kehidupan warganya. Celaka dua belas, perempuan Papualah yang menanggung beban lebih berat ketimbang lelaki. Cendekiawan dan aktivis lingkungan India Vandana Shiva menyebut perempuan yang tinggal di negara-negara berkembang paling merugi jika hutan rusak.
Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia
Dalam konteks ini, perempuan adat yang bergantung pada hutan dan menjadi penangggung jawab domestik, akan berkurang penghasilannya. Perempuan bakal kesulitan mencari ranting-ranting dan dahan-dahan kering sebagai bahan bakar untuk memasak. Jika kehilangan ini, mereka harus mengeluarkan tambahan uang untuk membeli minyak atau gas.
Tak cuma itu, kerusakan dan raibnya hutan juga bisa mengurangi cadangan persediaan air tanah. Kelangkaan air tentu mengakibatkan itu punya nilai ekonomi lebih tinggi. Dalam hal ini, alam yang tadinya menyediakan air secara melimpah dan gratis, akhirnya membuat banyak orang mengeluarkan kocek lebih untuk mengaksesnya. Sebab jika tidak, mereka akan kesulitan memenuhi berbagai kebutuhan hidup, seperti memasak, mencuci, mandi, minum, memelihara ternak, mengairi sawah, dan menyirami tanaman.
Selanjutnya, kerusakan hutan juga berpotensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya pada perempuan. Mengapa begitu? Sebab, beban ekonomi yang semakin berat berpotensi meningkatkan konflik serta kekerasan dalam kehidupan rumah tangga. Jika pada mulanya kebutuhan sehari-hari dapat dikonsumsi dengan mudah dengan memanfaatkan barang-barang yang tersedia di sekitar, hal itu takkan terjadi ketika semuanya itu menjadi langka.
Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung
Penghasilan keluarga yang tadinya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup harian menjadi kurang karena semua yang dikonsumsi harus dibayar dengan uang. Dalam banyak kasus yang terjadi, perempuan berpotensi menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga akibat himpitan ekonomi yang semakin berat.
Masih belum cukup menderita? Bayangkan ketika hutan seluas separuh Jakarta itu hilang? Yang terjadi adalah cadangan air bersih untuk sanitasi perempuan jadi terabaikan. Kita tahu, perempuan mengalami menstruasi, mengandung dan menyusui. Perempuan pun harus menjaga kesehatan reproduksi lebih intens ketimbang lelaki. Kebutuhan air bersih perempuan tentu saja lebih banyak dibanding laki-laki.
Kekurangan air pada saat perempuan mengalami menstruasi rentan memicu gangguan kesehatan pada perempuan. Perempuan membutuhkan air bersih lebih banyak untuk menjaga, merawat, dan memelihara kesehatan reproduksi. Perempuan memerlukan air yang lebih banyak untuk menjaga tingkat kelembapan dan kebersihan. Dalam hal ini air yang terkontaminasi bakteri coli dapat mengganggu kesehatan alat reproduksi perempuan seperti mengalami keputihan maupun gatal-gatal pada alat kelamin.
Pun, saat perempuan hamil, tingkat kebutuhan airnya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Mereka tak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga janin dalam kandungan. Mengonsumsi air yang tercemar atau dengan jumlah kurang, akan memengaruhi kualitas kesehatan si bakal bayi di masa mendatang.
Sementara itu, semasa menyusui, perempuan juga butuh asupan cairan lebih banyak. Namun, jika air sedikit, maka yang dikorbankan lagi-lagi adalah ibu dan anaknya sekaligus. Saya ngeri membayangkan ketika kebutuhan dasar perempuan, dari menstruasi hingga memastikan pangan untuk anak tak tergapai, jangan-jangan bayang kepunahan perempuan tak cuma pepesan kosong.
Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah
Ajakan untuk Bersolidaritas
Dari banyaknya bayang-bayang kerugian perempuan, negara jelas tak boleh abai. Jangan sampai hutan rusak lebih banyak akibat keserakahan pemerintah dan cukong-cukong. Karena itu pula secara terbuka, saya mengajak teman-teman untuk bersuara lebih kencang melawan penindasan, perampasan, dan penghancuran hutan di Papua.
Saya ingin teman-teman terus berisik dan mengarusutamakan solidaritas kepada masyarakat adat Papua lewat tagar #AllEyesonPapua. Dengan menjadikan media sosial sebagai megafon pribadi, maka seruan agar pemerintah lebih peduli pada rakyat bisa terus kita gemakan di ruang percakapan.
Terlebih, dengan bersolidaritas, kita juga andil mencegah krisis iklim semakin buruk. Sebagai informasi, proyek perkebunan sawit yang merampas hutan Papua juga merugikan lantaran menghasilkan emisi 25 juta ton CO2. Jumlah emisi ini sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030, dalam hal ini dampaknya tidak hanya dirasakan oleh seluruh warga Papua, tetapi berdampak ke seluruh dunia.
Jadi, bagaimana, sudah siap melawan bersama?
Uswah Sahal Adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga