Data Journalism Environment Issues

#TanahAirKrisisAir: Bagaimana Perempuan Redam Bencana Kekeringan (1)

Krisis air adalah krisis perempuan. Namun, bisa juga jadi momen perempuan untuk tetap berdaya.

Avatar
  • March 7, 2024
  • 10 min read
  • 8822 Views
#TanahAirKrisisAir: Bagaimana Perempuan Redam Bencana Kekeringan (1)

Bagaimana jika air di Indonesia habis? Magdalene mengajukan pertanyaan itu pada Heru Hendrayana, Profesor Hidrogeologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Jawabannya singkat, “Kehidupan kita selesai, tamat.” Jawaban tersebut sekaligus jadi alarm pengingat kita. Sebab, menurut Global Water Security Report 2023 dari United Nations University, water security level Indonesia memang termasuk mengkhawatirkan, dan mendapat nilai 51.

Lalu bagaimana jika air ada, tapi tak bisa dikonsumsi karena kotor atau jumlahnya sedikit sekali? Inilah yang dirasakan oleh sejumlah warga di Jogja, termasuk Sulastri, 45. Ia terpaksa membeli air galon isi ulang setiap empat hari sekali. Sehingga, bikin pengeluaran keluarganya bertambah Rp50 ribu. Hal itu ia lakukan karena air tanah di tempat tinggalnya, Kampung Ledok Tukangan, Jogja krisis air bersih sejak tercemar bakteri E. coli.

 

 

Sebenarnya, air tersebut bisa dikonsumsi setelah dimasak. Namun, anak-anak Sulastri enggan meminum. “Mereka enggakmau minum air rebusan (dari sumur). Kata mereka airnya berasa,” cerita Sulastri pada kami, akhir Januari lalu.

Hidup dengan kondisi air tercemar, dialami sejak 16 tahun lalu, saat Sulastri mulai menetap di kampung kota tersebut. Pemukiman ini berlokasi 900 meter dari kawasan pariwisata Malioboro. Karena itu, pembangunan kota dilakukan secara masif, termasuk mendirikan hotel, apartemen, dan mal.

Baca Juga: Krisis Air Bersih Marak, Orang Kota Serasa Minum Air Sungai

Sampai 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 725 hotel di Kota Yogyakarta—102 hotel bintang dan 623 non bintang. Untuk memenuhi kebutuhan, hotel maupun apartemen mengebor air tanah lebih dari 40 meter. Ini menyebabkan kualitas air yang bagus, dan seharusnya bisa dimanfaatkan warga, tersedot ke hotel dan apartemen. Kemudian, limbahnya pun bermuara ke bantaran sungai.

Pada 2013, warga pernah mengampanyekan gerakan “Jogja Ora Didol”—atau Yogyakarta Tidak Dijual. Gerakan ini digagas oleh warga, sebagai bentuk protes atas maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta. Sebab, pembangunan itu menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Ketersediaan air tanah yang menipis salah satunya.

Di Kampung Ledok Tukangan, krisis air bersih tak hanya disebabkan oleh pembangunan hotel dan apartemen, tetapi overpopulasi di kawasan itu. Sebagai informasi, pendatang dari sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ramai-ramai bermigrasi ke pusat perekonomian Kota Jogja. Mereka mencari pekerjaan di Malioboro dan Pasar Beringharjo, lalu memilih untuk tinggal di kampung kota.

Dengan sekejap, migrasi ini membuat Kampung Ledok Tukangan jadi pemukiman padat penduduk. Ada yang terus membangun rumah bertingkat—karena tak ada lahan, ada juga yang ngekos atau mengontrak. Sebagian rumah memiliki kamar mandi pribadi, tetapi yang ngekos atau mengontrak dan harus mandi, cuci, kakus (MCK)  di toilet umum.

Warga yang membangun rumah tak memperhatikan jarak antara kali, sumur, dan septic tank. Ketiganya berjarak tak lebih dari tiga meter. Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat mengatur, septic tank dan sumur gali mestinya berjarak lebih dari 11 meter. Bahkan, ada rumah yang tidak menggunakan septic tank, sehingga kotoran langsung masuk ke sungai.

Karena letak kampung berlokasi di dekat bantaran sungai, limbah-limbah itu mencemari kualitas air, dan menambah kontaminasi bakteri E. coli. Akibatnya, warga harus membeli atau merebus air untuk dikonsumsi.

Bagi Sulastri, keadaan ini cukup membebani perekonomian keluarga. Namun, ia tak punya pilihan selain membeli air galon isi ulang. Sebagai ibu rumah tangga, Sulastri merasa bertanggung jawab memastikan kesehatan anggota keluarga. Salah satunya lewat konsumsi air minum.

Nilai-nilai tradisional nan patriarkal diyakini telah mengeluarkan perempuan dari proses pengambilan keputusan, termasuk manajemen pengelolaan air. Peran gender perempuan akhirnya dikerdilkan sebatas pengumpul air semata. Karena itulah, saat kondisi krisis air, perempuanlah yang menanggung beban terberat.

Masalah krisis air bersih sendiri telah menjadi persoalan umum di DIY, tak cuma di area kota saja. Di 16 kecamatan di Gunung Kidul pada Agustus 2023 menderita krisis air bersih, buntut El Nino dan musim kemarau panjang.

Lain lagi di Sleman. Tiga padukuhan terimbas kemarau panjang pada September 2023, sekaligus aliran air di Selokan Mataram yang dimatikan selama sebulan untuk pemeliharaan. Dampaknya mengganggu pertanian karena petani sedang mengolah lahan.

Krisis air bersih juga menimpa sebagian warga Bantul. Warga Padukuhan Petung di Kabupaten Bantul misalnya, harus bergantung pada sendang untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka bahkan menghemat penggunaan air untuk mandi dan minum.

Sebenarnya, krisis air bersih tak hanya terjadi di DIY atau Indonesia secara umum tapi juga negara-negara lainnya. Di Dili Timor Leste, Maria de Conceicao, ibu rumah tangga pun mengalami hal serupa. Meski tinggal di ibu kota, kenyataannya, keluarga Maria sulit mengakses air bersih. Terlebih karena bermukim di area perbukitan. Pilihannya dua: Berjalan selama dua jam untuk mendapatkan air bersih di sungai, atau berjalan dengan durasi yang sama menuju tangki air bersih yang disediakan pemerintah.

“Saya dan suami bergantian (ngambil air). Kalau dia kerja, saya membawa anak-anak pergi nyari air,” tutur Maria pada Neon Metin.

Sebagai perempuan, ia pun menekankan pentingnya air untuk menjaga kesehatan organ reproduksi—apalagi saat mengalami menstruasi. Sayangnya, keperluan yang merupakan hak mendasar itu sulit dilakukan. Untuk mandi pun, biasanya Maria lakukan di sungai, sekalian mengambil air bersih. Sementara saat hujan, mau tak mau keluarga Maria menggunakan air hujan untuk kebutuhan hidup. Ini lantaran medan menuju sungai licin dan rawan longsor.

Di Filipina, menurut laporan GMA News, Presiden Ferdinand Marcos pernah mengakui Filipina mengalami krisis air. Sejumlah laporan dari media menunjukkan betapa krisis air bersih tersebut berimbas pada kesehatan bahkan kelangkaan pangan. Pada 2015, kata Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, sebanyak 55 warga setempat meninggal setiap harinya karena penyakit yang bersumber dari tipisnya ketersediaan air bersih, seperti malaria, hepatitis, dan tipus, tulis Channel News Asia. Kondisi ini celakanya berulang lagi pada 2019 di mana warga, mayoritas perempuan antre berjam-jam dengan derigen untuk mendapat air dari truk pengangkut, tulis AFP.

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Perempuan Jadi Korban Terbanyak

Krisis air yang terjadi di Jogja, Indonesia; Timor Leste; dan Filipina ini punya satu kesamaan: Perempuan jadi korban dan selalu lebih rentan. Di Jogja sendiri, kerentanan itu tergambar dari pengalaman Sulastri yang harus memutar otak mencari sumber air sehat dengan membeli galon isi ulang. Ada lebih banyak perempuan di Jogja yang bahkan terdampak lebih parah.

Dalam penelitian John Burgess, Endah Prihatiningtyastuti, dan Kantha Dayaram di Kulon Progo, Jogja disebutkan, perempuan sampai harus berhenti dari pekerjaannya demi mencari air bersih untuk keluarga. Penelitian bertajuk “Women’s Role in Water Management” (2020) itu mengurai, perempuan menghabiskan waktu lebih banyak guna mengamankan pasokan air, sehingga pendapatannya terjun bebas sampai 50 persen.

Nilai-nilai tradisional nan patriarkal diyakini telah mengeluarkan perempuan dari proses pengambilan keputusan, termasuk manajemen pengelolaan air. Peran gender perempuan akhirnya dikerdilkan sebatas pengumpul air semata. Karena itulah, saat kondisi krisis air, perempuanlah yang menanggung beban terberat.

Masalahnya, nestapa perempuan ajeg terjadi di Jogja, mengingat provinsi ini tersandera krisis air yang terus berulang setiap tahunnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jogja membuat analisis situasi krisis air di Jogja pada 2023. Mereka mengutip Kajian Risiko Bencana (KRB) Provinsi DIY 2022-2026 yang menunjukkan, sebanyak 3.675.662 jiwa masyarakat di DIY berpotensi terpapar bencana kekeringan. Tak cuma itu, sejak 2015, melalui Survei Kualitas Air (SKA) Yogyakarta yang dipublikasikan oleh BPS dikatakan, 67,1 persen rumah tangga memiliki air siap minum yang terkontaminasi bakteri E.Coli. Ini dilatarbelakangi oleh aktivitas domestik, pertanian, peternakan, serta industri.

Cemaran air bersih karena bakteri itu juga jadi momok buat warga di sekitar Kali Winongo, Bantul. Yudi Wahyudiana, pengurus Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) Bidang Konservasi Sumber Daya Perairan bilang, banyak warga yang menderita kanker, kemungkinan karena mengonsumsi air sungai yang tercemar. Di Kali Winongo sendiri, cemaran sungainya meliputi BOD, Nitrit (NO2), Nitrat (NO3), Seng (Zn), Klorin Total (Cl2), Fosfat (P), Sulfida, Fenol, dan parameter mikrobiologi, yaitu Total Coliform dan Fecal Coliform, catat Dinas Lingkungan Hidup Jogja pada 2021.

“Sungai Winongo itu tempat sampah terpanjang. Apalagi dengan penutupan Tempat Pembuangan Akhir Piyungan kemarin, ketika masyarakat pusing mau buang sampahnya ke mana, salah satu tempat pembuangan itu ya di Winongo. Belum lagi, banyak sanitasi dari masyarakat yang masuk ke sungai ini. Sekarang banyak Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal yang bisa dibangun, tapi nggak dipelihara. Jadi sumber pencemar dari limbah rumah tangga, seperti septic tank masuk ke sini. Itu yang jadi keprihatinan, karena kita minum dari septic tank teman-teman di hulu,” urai Yudi.

Sebagai informasi, pemerintah memang menutup TPA Piyungan mulai 23 Juli hingga 5 September 2023 akibat kelebihan muatan sampah. Meski sudah dibuka kembali, tapi kuotanya dibatasi. Sehingga, mau tak mau warga bergerilya membuang sampah ke berbagai tempat. Jika kamu kebetulan berjalan-jalan di Jogja saat itu, akan dengan mudahnya menemukan sampah menggunung di lokasi seperti Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, bahkan di sungai-sungai. Orang-orang memilih membuang sampah di sungai saat malam hari, sehingga mencemari air.

Hal itu diamini Endang Rohjiani, Ketua FKWA. “Ya betul saya setuju dan prihatin. Sungai yang dari dulu kita pakai untuk aktivitas sehari-hari, mandi, minum. Sekarang jadi tempat sampah dan membahayakan warga sekitar. Belum lagi karena kami di hilir, jadi sering dapat ‘kiriman’ sampah dari warga di hulu,” ujarnya pada Magdalene.

Jika dibuat peta masalah, sebenarnya faktor pendorong krisis air bersih dan kekeringan Jogja mencakup empat hal, menurut Tadzkia Nurshafira dalam “Sekuritisasi Yang-Umum: Krisis Air dan Masalah Pengelolaan Air di Yogyakarta” (2019).

Baca Juga: Riset: Krisis Iklim Perburuk Separuh Penyakit Menular Manusia

Pertama, ketiadaan regulasi dalam melindungi akses air untuk masyarakat dari pihak swasta dan memastikan keberlanjutan inisiatif dari komunitas. Kalau pun ada regulasi, penegakan tak dijalankan dengan semestinya. Kedua, kurangnya transparansi dari negara dalam hal pembangunan infrastruktur komersial yang berdampak pada kontestasi penggunaan air. Ketiga, kurangnya kontrol sosial dari komunitas untuk mengantisipasi dominasi pasar dalam pengelolaan air. Keempat, keterlibatan yang minim dari masyarakat sipil dalam pengaturan dan kebijakan menyangkut air.

Sementara, dalam film “Jogja Darurat Air” (2017) karya Teguh Supriyadi diceritakan sebab-sebab terjadinya krisis air bersih di Jogja. Gentrifikasi di DIY hampir selalu diikuti dengan pembangunan hotel dan apartemen yang massif. Hal ini tak dibarengi dengan mitigasi atau tata kelola air yang baik dari pemerintah. Warga harus berhadap-hadapan langsung dan ter(di)paksa kalah dari para pengusaha hotel dan apartemen. Misalnya di Karangwuni dan Miliran yang warganya teriak krisis air karena pembangunan hotel yang berimpitan dengan rumah mereka.

Dodo, warga Miliran dalam video itu mengaku, sumur di rumahnya kering usai pembangunan Hotel Fave. Hotel juga menutup tanah dengan beton sehingga cadangan air tak bisa masuk ke perut Bumi. Kondisi kekeringan itu diketahui saat ia tak bisa membuat kopi dan mencuci muka. Sebagai informasi, Dodo termasuk salah satu warga yang ikut andil dalam kampanye Jogja Ora Didol pada 2013.

Di saat bersamaan, warga DIY punya ketergantungan besar pada air tanah—medan tarung tak ideal antara warga akar rumput dan pengusaha hotel. Total ada 3 juta atau 60 persen air tanah yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari termasuk air minum. Data BPS yang dilansir dari Mongabay menjelaskan, pada 2014 sebesar 38,57 persen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menggunakan air tanah sebagai sumber air. Pada 2015, 87 persen sumber air PDAM Yogyakarta, masih dari air tanah.

Masalah air di Jogja makin mengkhawatirkan di tengah krisis iklim saat ini. Dwikorita Karnawati, ketua Badan Meterorologi dan Geofisika (BMKG) dalam acara The 2nd SCM, Bali, Oktober lalu menuturkan, kencangnya laju perubahan iklim yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia, berdampak serius pada krisis air, dilansir dari CNBC Indonesia.

Lagi-lagi, perempuan yang jadi korban.

Ini adalah bagian pertama dari artikel utama soal #TanahAirKrisisAir yang kami kerjakan.

Artikel ini merupakan bagian dari series liputan Krisis Air di Daerah Istimewa Yogyakarta, didukung oleh International Media Support (IMS). Magdalene berkolaborasi dengan dua media, dari Filipina GMA News dan Timor Leste Neon Metin.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky and Aurelia Gracia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *