Jerat Kemiskinan Perempuan Penyandang Disabilitas Saat Pandemi
Perempuan penyandang disabilitas, juga perempuan yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas, lebih rentan alami kemiskinan akibat pandemi ketimbang laki-laki.
Mina (65) adalah janda miskin dengan anak disabilitas ganda (disabilitas fisik dan mental). Sehari-hari, ia bekerja di restoran selama 12 jam dengan upah Rp30 ribu. Namun, sejak pandemi menyerang, penghasilan Mina dipotong lebih dari setengahnya, sehingga ia hanya mengantongi Rp10ribu sampai Rp15 ribu per hari. Hal itu membuat kondisi keuangannya, yang semula sudah sulit, menjadi kian sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mina jadi tak mampu membayar biaya transportasi ke tempat terapi anaknya. Dia pun berhenti memberi suplemen makanan untuk anaknya. Hal itu membuat kondisi sang anak memburuk. Ditambah lagi, Mina juga belum menerima bantuan sosial apapun, baik dari pemerintah maupun lembaga lainnya.
“Ketika mengadu ke perangkat desa, jawaban yang saya terima adalah penerima program itu ditentukan di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi,” kata Mina.
Kisah Mina mengemuka dalam panel ‘Diseminasi Hasil Studi: Dampak COVID-19 terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia’ pada (12/8). Mina hanyalah satu dari banyaknya keluarga dengan anggota penyandang disabilitas, maupun penyandang disabilitas itu sendiri, yang terdampak secara drastis pada masa pandemi, khususnya dalam aspek ekonomi.
Penelitian juga menemukan, perempuan penyandang disabilitas mengalami kerentanan yang lebih besar ketimbang laki-laki penyandang disabilitas. Perempuan yang bukan penyandang disabilitas, tapi memiliki anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas, juga memiliki kerentanan lebih ketimbang laki-laki yang bukan penyandang disabilitas.
Baca juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis
Hal itu salah satunya disebabkan oleh peran dan beban ganda yang dialami perempuan. Di satu sisi, perempuan memiliki fungsi pengampu atau pencari nafkah keluarga, termasuk merawat anggota keluarga disabilitas. Ketika anggota keluarga tersebut membutuhkan dukungan penuh waktu, perempuan harus mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk merawat anggota keluarga penyandang disabilitas, sehingga mata pencaharian mereka terbatas.
Sebagian pengampu terpaksa mengambil pekerjaan paruh waktu, alih-alih penuh waktu, yang pendapatannya tak begitu besar agar bisa dilakukan sambil mengasuh anggota keluarga disabilitas. Sebagaimana Mina, yang pergi bekerja sambil membawa anaknya ke tempat kerja. Menurut penelitian, dalam semua kasus, pengampu mengalami tekanan finansial, fisik, dan psikologis yang tinggi karena beban ganda tersebut.
Perempuan penyandang disabilitas sendiri memiliki kerentanan berlapis pada masa pandemi. Dalam aspek ekonomi, misalnya. Menurut penelitian, pada masa pandemi, hanya 40 persen perempuan penyandang disabilitas yang bekerja dengan upah, dibandingkan dengan 50 persen laki-laki penyandang disabilitas. Kebanyakan perempuan penyandang disabilitas, atau lebih dari 50 persennya, juga memiliki pendapatan di bawah Rp500 ribu.
“Pada akhirnya, perempuan penyandang disabilitas jadi lebih rentan menjadi miskin pada masa pandemi. Penelitian kami membuktikan, 45,1 persen perempuan penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan, sementara laki-laki penyandang disabilitas menduduki angka 26,6 persen,” ujar peneliti perlindungan sosial MAHKOTA (Menuju Masyarakat Indonesia yang Kuat dan Sejahtera) Sinta Satriana dalam panel yang sama. MAHKOTA sendiri merupakan program yang didukung Pemerintah Australia untuk meningkatkan sistem perlindungan sosial serta menanggulangi kemiskinan di Indonesia.
Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dan stigma yang bersifat struktural, yaitu minimnya akses pendidikan pada perempuan, terlebih lagi perempuan penyandang disabilitas. Riset Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2018 menemukan, tingkat melek huruf perempuan penyandang disabilitas adalah 44,5 persen, dibandingkan dengan 60,9 persen laki-laki penyandang disabilitas.
Hambatan budaya dan diskriminasi membuat keadaan lebih sulit, sehingga perempuan penyandang disabilitas lebih kecil kemungkinannya untuk mendapatkan pekerjaan yang dibayar. Dan, bagi mereka yang bekerja, upah yang didapatkan lebih rendah ketimbang laki-laki penyandang disabilitas.
“Seperti Mina, kami menemukan ada seorang perempuan yang punya adik penyandang disabilitas intelektual. Dia sudah lulus kuliah dengan predikat baik. Saat sudah diterima di beberapa pekerjaan, jam kerjanya tidak fleksibel, sehingga tidak memungkinkan dia untuk sambil merawat adiknya. Akhirnya, dia tidak bekerja. Gelar dan prestasinya tidak dilihat karena beban gandanya,” tambah Sinta.
Penyandang Disabilitas Rentan Alami Kemiskinan
Sinta juga memaparkan, 81 persen penyandang disabilitas dari semua jenis kelamin mengalami penurunan pendapatan dalam jumlah besar pada masa pandemi. Sebanyak 69 persen penyandang disabilitas bahkan jadi berada di bawah garis kemiskinan, karena pendapatan yang sebelumnya sudah rendah, kini mengalami penurunan pendapatan yang mencapai hampir 80 sampai 100 persen, atau tidak memiliki pendapatan sama sekali.
Baca juga: Survei IBCWE: Beban Perempuan Berlipat Ganda selama Masa WFH
Hal tersebut dibenarkan oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki. Temuannya menunjukkan, pandemi melahirkan kelompok miskin baru.
Terjadi pergeseran status sosial dan ekonomi penyandang disabilitas, dari miskin menjadi miskin kronis, dan dari kelas menengah menjadi miskin. Menurut Maliki, banyak penyandang disabilitas yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan probabilitas kembali kerjanya sangat kecil.
“Padahal, dengan perkiraan penyandang disabilitas itu ada 23 juta orang, sebagian besarnya berada pada usia produktif yang membutuhkan kemudahan untuk bisa jadi produktif,” ujar Maliki.
“Di sisi lain, akses pendidikan belum aksesibel (inklusif). Kurikulum dan pengajarnya terbatas. Fasilitas publik yang memungkinkan mereka jadi produktif juga terbatas, kebanyakan infrastruktur dan operatornya belum tersedia. Dari sisi ketenagakerjaan, upah mereka lebih rendah dan tidak punya jenjang karier yang jelas.”
Sistem Pendataan Belum Terintegrasi
Sinta dari MAHKOTA menambahkan, hal itu diperburuk dengan lemahnya sistem pendataan kelompok disabilitas di Indonesia yang tidak terintegrasi. Dan itu menyebabkan bantuan sosial yang diberikan pemerintah tak diterima oleh semua penyandang disabilitas secara merata.
Pemerosotan pendapatan membuat penyandang disabilitas dan keluarganya berupaya bertahan hidup dengan cara-cara yang memperburuk keadaan, seperti mengurangi kualitas dan kuantitas makanan atau suplemen bergizi, juga pengeluaran khusus disabilitas seperti terapi atau suplemen, ujar Sinta.
Ada pula sebagian yang meminjam uang atau makanan dari orang-orang di sekitarnya. Hal itu membuat kondisi penyandang disabilitas menjadi kian rentan karena berisiko terjerat hutang dan mengalami stres, hingga memperburuk kesehatan mental dan fisik, kata Sinta.
“Dibutuhkan data terintegrasi yang juga memilah penyandang disabilitas, serta manajemen kasus. Data yang ada itu harusnya secara spesifik dibuat berdasarkan disabilitasnya, data berdasarkan kondisi individu, kondisi disabilitasnya.”
Baca juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi
“Data yang sebelumnya ada hanya membahas dan mencakup penyandang disabilitas di keluarga miskin. Waktu disurvei, pertanyaan soal kedisabilitasannya juga terbatas. Hanya, ‘apakah ada anggota keluarga yang disabilitas?’, dan ‘seperti apa kondisinya?’ Itu tidak cukup representatif. Banyak keluarga yang tidak paham keluarganya disabilitas. Ada juga yang menolak mengakui karena stigma,” kata Sinta.