Peristiwa 1998, Titik Balik Persatuan Feminisme dan Islam
Feminisme dan Islam sering dianggap sebagai dua kubu yang berbeda, tapi Orba dan peristiwa 1998 menjadi titik balik persatuan perspektif gender dan agama.
Bagai air dan minyak, feminisme dan Islam kerap dipandang sebagai dua kubu yang bertolak belakang. Meski demikian, aktivis perempuan cum ahli kajian Islam dan gender Lies Marcoes mengatakan, Indonesia berhasil menyatukan dua hal tersebut. Titik baliknya berupa Kongres Ulama Perempuan (Kupi) yang dilaksanakan di Cirebon pada 2017 silam.
Konvergensi ajaran Islam dan pemahaman gender itu menjadi pencapaian besar yang belum terjadi di negara lain, seperti Mesir, Malaysia, dan Iran.
“Di Mesir sampai saat ini konvergensi feminis (dengan) argumentasi kaidah dalam tradisi Islam dan feminis sekuler tak bertemu. Feminis sekuler dengan argumentasi hak perempuan yang pasti sekuler, seperti CEDAW atau perjanjian internasional lain tanpa mau menyentuh argumentasi agama,” ujarnya dalam diskusi “Feminisme Muslim” oleh Forum Spiritualitas Esoterika (31/5).
Lies mengartikan feminisme sebagai filsafat dan cara berpikir untuk mencari jawaban atas ketertindasan perempuan. Akan tetapi, pendekatan filsafat dirasakan sering ditabrakkan dengan pandangan agama.
Dengan demikian, untuk menyatukan keduanya ada dua upaya yang dilakukan: Mengritisi ketertindasan perempuan dengan pendekatan filsafat dan membaca ulang pandangan agama yang sebelumnya ditafsirkan dalam lensa patriarkal. Karena itu, feminis muslim meyakini Islam tidak tak menindas kelompok minoritas ras, orientasi seksual, ekonomi, dan perempuan.
“Kedua cara berpikir (itu) bukan dalam satu tarikan napas, dan agama menjadi inspirasi sumber nilai untuk melakukan pembebasan yang berkaitan dengan feminisme. Sebab, ada ketimpangan relasi, (di mana) perempuan berpotensi mengalami kekerasan dan subordinasi. (Feminis muslim) terus menerus mendekonstruksinya” jelas Lies.
Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?
Feminisme dan Islam dalam Orde Baru
Bersatunya perspektif gender dan ajaran Islam bukan sesuatu yang terjadi dalam kurun waktu singkat. Lies berpendapat, jika membandingkan situasi sekarang dengan tiga dekade lalu ada ketegangan antara aktivis feminis dan ulama perempuan.
“Indonesia berhasil mempertemukan dua domain gerakan feminis, sekuler dan muslim. Apakah itu mudah? Tidak. Sekitar 1991, ada seminar perempuan Islam perempuan Indonesia dan ada ketegangan antara kelompok non-religius dan kelompok lain, seperti organisasi Persatuan Islam (Persis),” kata Lies yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).
Mengamini itu, cendikiawan muslim Budhy Munawar Rachman mengatakan, bahkan membicarakan feminisme secara publik sepuluh tahun lalu masih dinilai tabu. Namun, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada 1998 menjadi titik balik pertama yang menyatukan feminisme dan gerakan keagamaan.
Lies mengatakan, “Ketegangan feminis sekuler dan muslim cair saat 98. Kami merasakan penderitaan yang dialami teman-teman Tionghoa. (Dan) setiap perempuan muslim yang menjadi minoritas (di tempat tinggalnya), juga rentan mengalami kekerasan seksual. Itulah yang menyatukan studi seksualitas dalam Islam dan kajian (peristiwa) 1998.”
Baca juga: Feminisme Muslim Indonesia: Gerakan Perempuan Lawan Konservatisme Agama
Berpadunya feminisme sekuler dan feminisme muslim, imbuhnya, juga terjadi karena ada musuh bersama, yaitu pemerintah Orde Baru (Orba). Saat itu pemerintah mengembangkan narasi perempuan baik adalah perempuan yang selalu ada di belakang laki-laki sebagai pendamping atau pendukung.
“Itu bukan dari (budaya) Jawa atau militerisme saja, tapi interpretasi agama konservatif pada perempuan.”
Selain itu, konvergensi juga semakin didorong dengan hadirnya universitas berbasis keagamaan. Biasanya universitas semacam itu, menerima dan mengembangkan metodologi sosial antropologi feminis atau hukum pendekatan feminis dalam penelitiannya.
“Kita juga beruntung pernah dipimpin Kyai Gusdur (Abdurrahman Wahid) sebagai presiden pada 1999 sampai 2001. Dia menerima dan mengambil tanggung jawab atas pengarusutamaan gender sebagai policy pemerintah dan menyediakan budget khusus, seperti perkawinan anak dan stunting,” jelas Lies.
Baca juga: Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu
Keberpihakan Ulama pada Perempuan
Mengutip cendikiawan muslim Nur Rofiah, Lies bilang, untuk melihat ajaran Islam yang hakiki dan meletakkan laki-laki dan perempuan secara setara, maka harus mengakui peran dan pengalaman, bilogis serta sosial, yang dialami perempuan.
Walaupun ulama yang berperspektif gender semakin banyak di era modern ini, seperti Nur Rofiah, cendikiawan muslim Faqihuddin Abdul Kodir, dan Kyai Husein Muhammad, ulama yang masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat masih terus ada. Oky Setiana Dewi, misalnya, yang dalam salah satu ceramahnya menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga sebagai bentuk kepatuhan istri pada suami yang dianjurkan agama.
Terkait itu, Lies mengatakan, ketika melihat ceramah atau penafsiran ajaran agama yang disampaikan ulama perempuan perlu diperhatikan keberanian untuk mengkritik teks keagamaan dan kebebasan berpikir tanpa menuruti agenda tertentu. Golongan salafi, misalnya, tak akan berani dan mampu keluar dari cara pikir memahami ayat keagamaan secara tekstual.
“Menurut saya yang harus dilihat (adalah) agensi perjuangan berdasarkan agenda mereka untuk mendapatkan kebebasan sendiri, atau (justru mengikuti) peta agenda kaum laki-laki,” ujarnya.
Penerimaan feminisme muslim masih memiliki perjalanan panjang di Indonesia sebab masih maraknya kelompok anti-feminisme. Namun, mengutip feminis muslim pertama Tahirih dari Persia yang mengkritik kelompok elit dan paham keagamaan yang merendahkan perempuan, “Kalian dapat membunuh saya, tapi kalian tak bisa hentikan emansipasi perempuan.”