Environment Technology

Sulap Tinja Sapi Jadi Biogas untuk Masak dan Pupuk: Kisah Sukses Energi Terbarukan

Pasangan suami-istri ini sulap tinja sapi jadi biogas untuk menyalakan kompor. Upaya mereka bisa bantu hemat pengeluaran bulanan.

Avatar
  • January 27, 2024
  • 4 min read
  • 4117 Views
Sulap Tinja Sapi Jadi Biogas untuk Masak dan Pupuk: Kisah Sukses Energi Terbarukan

Di Kampar, Riau, rumah Suramti dan Sudarman mungkin terlihat seperti rumah tangga pada umumnya. Dari luar, pasangan suami-istri ini terlihat seperti keluarga petani biasa. Namun, di dapur mereka, sudah lama Suranti memasak dengan biogas yang diolah Sudarman dari tahi sapi-sapi milik mereka.

Sekitar 100 meter di belakang rumah, mereka punya sembilan sapi. Di sebelahnya, terpasang beberapa instalasi yang terhubung satu sama lain. Setahun terakhir, Sudarman mengolah kotoran sapi mereka jadi biogas dari sana. 

 

 

Baca juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya

Awalnya, ia adalah seorang petani sawit. Dulu sempat mengikuti sekolah pertanian yang digagas Pemerintah Kampar, lalu memilih fokus belajar ilmu peternakan sapi. Kala itu dia langsung beli dua sapi, yang kini sudah beranak-pinak menjadi 17 ekor. Kini, sapi-sapi ini jadi sumber ekonomi baru yang menopang rumah tangga mereka.

Setiap harinya, saat tak kelelahan sepulang bertani, Sudarman mengeruk 70-80 kilogram kotoran sapi dari kandang. Kotoran itu ia campur air dengan takaran satu banding satu. Misalnya, 80 kilogram kotoran, memerlukan 80 liter air. Setelah diaduk lima menit, sampa tidak banyak gumpalan. Makin lembut bentuk kotoran, makin bagus proses fermentasinya. Terlalu banyak gumpalan akan berpengaruh pada jumlah gas metan yang dihasilkan.

Setelah jadi bubut, kotoran itu akan dialirkan ke biodigester, sebuah sumur dengan kedalaman dua meter dan keliling tiga meter. “Bisa menampung delapan kubik kotoran sapi,” kata Sudarman, seperti dikutip dari Mongabay. Kotoran itu lalu diendapkan selama tujuh sampai 15 hari sampai menghasilkan gas metan.

Gas metan ini yang lalu diolah Sudarman untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga mereka. “Biasa beli gas melon (LPG 3 kilogram), jadi gak beli. Malahan tabung gas dipinjamkan ke tetangga. Biasa masak diirit-irit, sekarang enggak. Gak ada beda kualitas biogas dengan LPG,” kata Suramti pada Mongabay.

Dengan pemakaian gas metan yang diolah sendiri ini, Suramti dan Sudarman bisa menghemat pengeluaran belanja bulanan mereka. Rumah mereka juga punya instalasi petromaks biogas yang bisa menghemat pemakaian listrik sampai 15 persen. 

Tinja yang diolah tak hanya bisa jadi biogas, ampasnya juga dimanfaatkan Sudarman untuk pupuk cair. Ampas hasil fermentasi kotoran yang kadar metananya sudah berkurang ini bahkan ia jual Rp1000 untuk satu jeriken ukuran lima liter.

Peran Perempuan dalam Energi Terbarukan

Mengadopsi energi terbarukan adalah tentang memanfaatkan sumber energi alami yang ada di sekitar kita, yang diisi ulang pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dikonsumsi. Misalnya biogas, tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, panas laut, ombak, dan pasang surut air laut—seperti dijelaskan pada laman United Nations (UN).

Lewat pemanfaatan sumber energi alami, diharapkan dapat menghasilkan energi yang tidak menimbulkan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil, dan mengurangi polusi udara. Jika dibicarakan secara umum, dampak yang diharapkan dari energi terbarukan tampaknya menjadi kebutuhan seluruh masyarakat. 

Pemanfaatan energi di sekitar yang bisa diolah jadi energi terbarukan seperti yang dilakukan Sudarman dan Suramti adalah contoh nyata yang bisa dilakukan.

Dalam banyak penelitian, krisis energi dan perubahan iklim ternyata bikin perempuan jadi kelompok paling rentan yang terdampak. 

Dalam laporan berjudul The Role of Women in Sustainable Energy Development (2000), peneliti Elizabeth Cecelski menyebutkan beberapa kebutuhan kita—masyarakat—terhadap energi terbarukan. Di antaranya adalah krisis memasak biomassa yang mencakup kelangkaan bahan bakar, kesehatan, dan keselamatan. Energi terbarukan juga bisa membantu usaha mikro yang memegaruhi pendapatan dan ekonomi mereka, serta juga bisa membantu sektor modern yang melingkupi substitusi bahan bakar dan efisiensi transportasi yang ramah lingkungan.

Dari keempat hal di atas, dapat terlihat bagaimana peran perempuan dalam kesehariannya sangat dekat dengan energi terbarukan. Contohnya terkait krisis memasak dan kelangkaan bahan bakar. Tak dimungkiri, perempuan masih menjadi sosok yang bertanggung jawab untuk memasak. 

Menurut Cecelski, cara mencapai situasi itu bukan hanya dengan memperbarui kompor sebagai alat memasak. Misalnya memperbarui desain dapur. Selain itu, cara mempersiapkan dan memproses makanan, serta peningkatan teknologi untuk pengumpulan dan pengangkutan kayu bakar yang ergonomis pun diperlukan. 

Lebih dari itu, perempuan juga harus mengerti konsumsi energi dalam penggunaan alat elektronik. Sehingga dapat dikatakan, mereka memainkan peran kunci dalam penggunaan energi, setidaknya di lingkup rumah tangga. 

Baca juga: ‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci

Dari sini kita dapat melihat bagaimana energi terbarukan membutuhkan keterlibatan perempuan. Pemanfaatan energi terbarukan di rumah tangga yang dikerjakan masyarakat sendiri bisa jadi solusi untuk mengurangi kerentanan perempuan dan keluarga, seperti yang dilakukan keluarga Sudarman dan Suramti.

Di level ekonomi rumahan, para pengguna energi terbarukan ini juga bisa lebih menghemat pengeluaran rumah tangga. “Dapat tambahan penghasilan dari penjualan pupuk. Sebulan bisa 1.000 liter. Cukup beli beras. Satu tahun ini, juga tidak pernah beli pupuk kimia. Lumayan menghemat pengeluaran,” kata Sudarman pada Mongabay. Duit pun bisa dialokasikan untuk biaya kuliah anak dan beli minyak kendaraan buat nyari rumput pakan sapi.

Sudarman berharap, masyarakat di desanya beralih ke energi ini. Dia masih meyakinkan tetangganya bahwa kotoran sapi tidak melulu jorok. Saat ini, baru anggota Kelompok Bhina Mukti Sari, terutama yang berternak sapi, punya instalasi biogas untuk menyuplai energi di rumah masing-masing.



#waveforequality


Avatar
About Author

Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *