December 5, 2025
Culture Gender & Sexuality History Opini

“Lampiran Cyclofemmes”: Merebut Tubuh Mak Lampir, Merebut Tubuh Queer

Sebagai ikon pop horor lokal, Mak Lampir sering direduksi menjadi sosok jahat dan mengancam moralitas. Namun Ishvara justru membalik posisi ini: villain adalah korban sistem patriarki.

  • August 4, 2025
  • 6 min read
  • 3611 Views
“Lampiran Cyclofemmes”: Merebut Tubuh Mak Lampir, Merebut Tubuh Queer

Mengenakan atasan sequin yang dipadukan celana beraksen flare, pada satu titik di paruh awal pementasan, Ishvara Devati berjalan membelah panggung dan turun ke area penonton. Dagu terangkat, melirik tajam ke kanan ke kiri, setiap beberapa langkah sekali ia berhenti, berpose, dan mengembuskan ciuman genit. Dengan penuh keyakinan, ia hentakkan sepatu boots-nya di tiap langkah yang diambil.

Layaknya supermodel Naomi Campbell yang menaklukan setiap runway, Ishvara secara harfiah dan simbolis, mempraktikkan apa yang para fans penampil seni drag kerap lontarkan sebagai pujian: “Slay the house down boots!

Lampiran Cyclofemmes karya Ishvara Devati adalah sebuah perayaan sekaligus pengujian batas, identitas, dan wacana kuasa dalam tubuh pertunjukan. Dipentaskan di Jogja National Museum—yang juga menjadi tuan rumah ARTJOG—pertunjukan tari ini merupakan bagian dari Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival, sebuah festival dua tahunan yang didesain sebagai ruang intervensi artistik yang melampaui estetika konvensional, digagas oleh Garasi Performance Institute.

Mengusung estetika queer-camp, Ishvara mengorkestrasi sebuah karya olah tubuh yang tak hanya reflektif dan personal, tapi juga berlimpah referensi budaya pop. Menyuguhkan sebuah karya pertunjukan tari: tempat tubuhnya hadir sebagai arsip, wahana perlawanan, sekaligus provokasi.

Baca juga: ‘Drag Race UK Vs the World’: Upaya Membuat Minoritas jadi Universal?

The Fabulous Other Body

Camp, menurut Susan Sontag dalam esai seminalnya Notes on Camp (1964), adalah sebuah ragam ekspresi estetika yang berlebihan, berlapis-lapis, penuh ironi, dan memiliki semangat subversif terhadap sesuatu yang dianggap serius. Dalam tradisi queer, camp berfungsi bukan hanya sebagai gaya, melainkan sebagai strategi budaya untuk mencemooh norma heteroseksual dan merebut kembali kekuasaan estetika.

Ishvara memanfaatkan pendekatan ini secara paripurna. Ia mengawali penampilan dengan sebuah pose, sembari berbaring membentuk siluet yang instan mengingatkan kita pada kover album Chromatica milik Lady Gaga. 

Namun, bagi saya yang hidupnya terlalu online, pose ini cukup bikin terkekeh kecil karena mengingatkan saya pada satu meme jenaka tentang Beyoncé, si seniman yang dikenal perfeksionis, meleset mendiami titik di mana semestinya ia berada.

Kamera dari atas menangkap tubuh Ishvara yang membentuk pose rektangular. Dari gambar yang diproyeksikan ke layar besar di belakangnya, ia tampak menyeramkan, samar-samar hampir menyerupai entitas iblis. Namun dari bangku penonton, ia terlihat agung dan anggun. 

Permainan antara citra 2D dan tubuh 3D ini menjadi metafora visual tentang ambiguitas dan kompleksitas tubuh queer. Jukstaposisi 2D versus 3D ini juga bisa diinterpretasikan sebagai komentar bahwa penerimaan masyarakat yang berbeda-beda atas tubuh queer, tidak bisa lepas dari sudut mana mereka melihatnya. Bisa sebagai sekutu yang punya niat memahami, pribadi-pribadi queer yang belum sepenuhnya menyadari, atau mereka yang duduk nyaman di sisi status quo dan dengan mudah memandang queer sebagai liyan.

Dalam Lampiran Cyclofemmes, Ishvara secara penuh mengakui sisi ke-liyan-an tubuhnya, melalui penampilan drag yang mengaproriasi salah satu sosok antagonis paling terkenal di Indonesia: Mak Lampir. 

Tokoh dedemit perempuan yang dimainkan secara ikonis oleh Farida Pasha itu, populer berkat sinetron Misteri Gunung Merapi yang tayang dari 1998 hingga 2005. Sebagai ikon pop horor lokal, Mak Lampir sering direduksi menjadi sosok jahat dan mengancam moralitas. Namun Ishvara, seperti drag queen lainnya di dunia yang kerap mengambil inspirasi dari villain (contoh paling masyhur: karakter Ursula dalam The Little Mermaid yang didesain berdasarkan drag queen Divine), justru membalik posisi ini: villain adalah korban sistem patriarki.

Potongan suara Mak Lampir yang dimasukkan dalam desain suara karya ini memperdengarkan frasa-frasa bijak yang, bila disampaikan oleh, misalnya, tokoh keagamaan, mungkin akan didengarkan. 

Namun karena datang dari perempuan tua, mistis, dan dianggap liyan, ia dijadikan tertawaan dan tetap hadir sebagai ancaman. Ini sesuai dengan argumentasi Rodrigo Peroni dalam Queer Utopia and Reparation: Reclaiming Failure, Vulnerability, and Shame in Drag Performance, bahwa pertunjukan drag, sering kali hadir untuk merebut kembali ruang kekuasaan melalui tokoh yang selama ini dianggap “gagal”, memalukan, atau berlebihan.

Baca juga: ‘RuPaul’s Drag Race Ajari Soal Toleransi, Keberagaman, dan Inklusivitas

Tubuh yang Dipersiapkan, Dipertontonkan

Penampilan Ishvara tidak hanya teatrikal, tetapi juga auto-etnografis. Ia mengangkat pengalaman HRT (Hormone Replacement Therapy) sebagai medan dramatis, menampilkan transformasi literal dan simbolik dari tubuh yang terus bernegosiasi dengan identitas. 

Dalam satu adegan, gerakan tubuh Ishvara menyerupai jarum jam; dalam posisi duduk, tubuhnya berputar secara mekanikal diiringi detakan metronom, mengimplikasikan bahwa waktu, bagi tubuh transpuan, bukan linier tetapi siklus dan penuh lompatan.

Desain suara panggung sengaja menonjolkan hentakan langkah kaki Ishvara; seolah memproklamirkan “aku ada, dan aku di sini!” Dalam pementasan ini, ketika tubuh trans feminin bergerak, baik itu saat melangkah, merangkak, maupun berpose doggy, ia menjadi simbol kekuatan yang primal, erotis, sekaligus komedik. Maka, sebagai nyawa estetika penampilan ini, camp tidak memisahkan antara tawa dan penderitaan; justru melalui kelucuan, ia merebut kembali agensi atas tubuh dan sejarahnya.

Foto: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki
Foto: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki

Salah satu tema mendalam dari Cyclofemmes, sebagaimana tercantum dalam catatan program festival, adalah cinta. 

Cinta yang dikutuk dan ditidakperbolehkan, tapi juga cinta yang tak terjinakkan. Dalam satu adegan transisi, saya mendengar dentuman musik yang menyerupai intro salah satu lagu Kanye West di albumnya Yeezus bertajuk I Am a God; seolah mengamini pernyataan iman yang dikhotbahkan Ariana Grande bahwa, betul, God is a (trans) woman. Tentu hal ini tidak untuk diseriusi sebagai provokasi teologis, tapi lebih pada pengafirmasian eksistensi tubuh trans sebagai ciptaan ilahi yang valid dan layak dicintai. 

Dalam satu momen, pertunjukan tiba-tiba dihentikan dengan teriakan “cut!” dari manajer panggung. Kru naik ke panggung, mengganti kostum, mengatur properti. Semua dilakukan terbuka di hadapan penonton. Pengaburan batas antara ‘act’ dan ‘real life’ ini juga bisa ditemukan dalam karya Josh Marcy bertajuk The Lovers, yang juga tampil dalam festival ini. 

Di tangan Ishvara, tubuh trans tidak lagi menjadi ilusi panggung, melainkan realitas hidup yang terus disiapkan, dikomentari, dan ditonton.

Dengan ditampilkannya “cara produksi” tubuh dan penampilan, Ishvara seolah menolak objektifikasi pasif. Tubuhnya, dalam momen ganti kostum ini, adalah sesuatu yang ia sadari berfungsi sebagai instrumen untuk berkesenian, sehingga ia tak sungkan buka-bukaan.

Foto: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki
Foto: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki

Babak terakhir memberi spotlight pada kolaborator visual Ishvara, yang mengambil alih pertunjukan melalui visualisasi Mak Lampir dengan gaya psychedelic. Suara Mak Lampir yang melengking, di-mix dengan suara tangis dan tawa Ishvara yang diproses dengan efek echo, menjadikan panggung seperti ruang liminal antara ritual mistis dan penampilan drag.

Baca juga: 4 Rekomendasi Film Horor tentang ‘Hagsploitation’

Ishvara tidak lagi menjadi pusat gerak, tetapi tubuhnya menjadi kanvas proyeksi. Dalam tradisi drag, kolaborasi lintas disipliner ini adalah cara menunjukkan bahwa subjektivitas queer tidak tunggal, melainkan kolektif dan cair.

Lampiran Cyclofemmes memberikan saya pengalaman multisensori yang sangat membekas. Ia berfungsi sebagai pernyataan tubuh, arsip budaya, sekaligus ekspresi hasrat. 

Ishvara Devati menggunakan estetika camp, drag, dan figur Mak Lampir untuk menunjukkan bahwa tubuh trans bukanlah deviasi, melainkan kekuatan budaya yang dapat menyembuhkan, menertawakan, dan menaklukkan.

Dalam tatanan masyarakat yang masih melihat tubuh queer sebagai ‘liyan’, karya ini mengajak kita merefleksikan ulang tentang bagaimana selama ini kita didikte untuk membenci sosok-sosok yang ‘berbeda’. Karena mungkin, sosok lampir yang kita takuti itu sebenarnya hanyalah tubuh-tubuh yang ingin bebas ada dan mencinta

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.