KemenPPPA dan ILO Luncurkan Peta Jalan Ekonomi Perawatan
Lewat peluncuran Peta Jalan Ekonomi Perawatan, harapannya dapat mendorong investasi kebijakan dan layanan perawatan komprehensif di Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) didukung oleh International Labour Organization (ILO), meluncurkan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Perawatan pada Kamis (28/3). Peluncuran yang dilaksanakan di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat ini, dihadiri oleh Menteri PPPA Bintang Puspayoga dan Direktur Kantor ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, Simrin C Singh.
Dalam sambutannya, Bintang Puspayoga mengatakan peta jalan menjadi komitmen bersama dalam merumuskan strategi konkret, untuk memajukan peran perempuan dan melindungi hak-hak anak di ranah ekonomi.
Baca Juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan
“Harapannya, (dari peta jalan ini bisa) terwujud berbagai kebijakan strategis, program, hingga inisiatif di akar rumput, yang makin memperkuat dukungan dari kerja perawatan,” tutur Bintang.
Sebab, sampai saat ini kerja perawatan—berbayar maupun tidak—belum dilihat sebagai kerja produktif yang berkontribusi pada ekonomi. Anggapannya, kerja perawatan adalah bagian dari kewajiban perempuan. Ini dilatarbelakangi oleh peran gender tradisional di masyarakat, membuat tugas pengasuhan dan domestik melekat sebagai tanggung jawab perempuan.
Hal itu dapat dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Indonesia berdasarkan jenis kelamin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2023 terdapat 84,26 persen TPAK laki-laki, sedangkan perempuan sejumlah 54,52 persen.
“Kesenjangan itu jadi tantangan dalam meningkatkan tingkat partisipasi pekerja perempuan, yang ditargetkan mencapai 55 persen pada 2024—sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024,” ujar Bintang.
Untuk mengurangi kesenjangan berdasarkan gender dalam TPAK, peta jalan kerja perawatan menggarisbawahi tujuh isu strategis: layanan pengasuhan anak, perawatan bagi lansia, perawatan berbasis inklusi untuk penyandang disabilitas dan kelompok rentan lain. Kemudian ada perlindungan maternitas, cuti paternitas, pengakuan perlindungan terhadap kerja perawatan, serta jaminan sosial dan ekonomi perawatan.
Baca Juga: Pentingnya Rekognisi Pekerjaan Perawatan
Tujuannya untuk mendukung peningkatan kesetaraan dan transformasi gender—termasuk memperluas kesempatan kerja layak untuk masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan. Di samping itu, peta jalan juga ditujukan menjadi landasan penyusunan program, dan kegiatan setiap pembuat kebijakan untuk mencapai Indonesia Emas pada 2045.
Namun, dalam implementasinya, Peta Jalan Ekonomi Perawatan membutuhkan perspektif gender, untuk mendobrak peran gender tradisional yang patriarkal.
Pentingnya Perspektif Gender
Tanpa disadari, masyarakat menginternalisasi peran gender tradisional sehingga masih berlaku di masyarakat—bahkan masuk ke kebijakan. Misalnya perusahaan yang mengutamakan laki-laki dalam rekrutmen dan kenaikan jabatan, karena perempuan dianggap akan mengesampingkan karier karena bertanggung jawab mengurus keluarga.
Maka itu, peran reproduktif sering kali tak diakui. Berbeda dengan peran produktif yang dipandang bernilai, dan mayoritas dilakukan oleh laki-laki. Padahal, keduanya punya nilai yang sama.
Dalam diskusi di acara yang sama, akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, peran gender tradisional itu perlu dibongkar dalam ekonomi perawatan. Sebab, pemahaman masyarakat tentang ekonomi perawatan hanya untuk perempuan, akan membekukan peran gender.
“Memang (ekonomi perawatan) akan meningkatkan partisipasi kerja perempuan. Tapi dengan pengakuan terhadap kerja-kerja reproduktif, mereka jadi pekerja yang diakui,” terang Sri.
Baca Juga: Reduksi dan Retribusi Kerja Perawatan Perempuan
Lagi pula, kerja perawatan enggak hanya dilakukan oleh perempuan. Freddy, salah satu audiens di acara peluncuran Peta Jalan Ekonomi Perawatan, menceritakan pengalaman merawat istri yang sakit dan anak-anak di rumah. Waktu itu, Freddy meminta cuti ke atasan, supaya bisa mengurus istri dan anak. Kemudian, atasan Freddy mengizinkan dan berpesan agar ia fokus untuk mengurus keluarga dahulu.
“Saya berharap cuti ayah bisa lebih dari dua hari, biar bisa merawat anak atau istri kalau sewaktu-waktu sakit kayak kemarin,” ungkapnya.
Pengalaman Freddy menggambarkan kerja perawatan bukan hanya tanggung jawab perempuan. Lewat pengakuan kerja perawatan yang sama pentingnya dengan pekerjaan lain, harapannya dapat mendorong investasi kebijakan dan layanan perawatan yang komprehensif di Indonesia, perlindungan sosial, dan penyediaan aksesibilitas layanan.