Lifestyle Opini

Podcast Anang tentang Ghea: Benarkah Lama Melajang Bikin Bahagia?

Akankah kamu bahagia jika lama melajang atau justru 'insecure'? Ini jawaban menurut ilmu pengetahuan.

Avatar
  • May 2, 2024
  • 6 min read
  • 899 Views
Podcast Anang tentang Ghea: Benarkah Lama Melajang Bikin Bahagia?

Musisi Anang Hermansyah minta maaf buntut Podcast “Ngobrol Asix” dengan Ghea Indrawari, (8/4). Dalam episode itu, Anang ramai dihujat warganet karena menanyakan perihal kapan menikah kepada penyanyi perempuan tersebut. Dengan santai, Ghea menjawab belum terpikir untuk menikah di usianya yang menginjak 26 tahun. Anang saat itu keheranan dan menganggap keputusan Ghea sebagai hal yang tak lumrah.

Reaksi Anang lahir dari anggapan bahwa semua perempuan yang melajang di usia 20-an, distigma sebagai “tak laku” atau “tak normal”. Pertanyaannya, apakah betul begitu? Apakah semua orang lajang merasa insecure?

 

 

Ketika kita berpikir tentang orang-orang yang sudah lama melajang, kita mungkin berasumsi bahwa itu karena para lajang tersebut memiliki rasa tak yakin dengan dirinya sendiri sehingga sulit menemukan pasangan atau mempertahankan hubungan.

Namun, benarkah demikian? Bisakah orang yang sudah lama melajang merasa aman dan berkembang?

Penelitian terbaru kami yang dipublikasikan di Journal of Personality menunjukkan, hal tersebut mungkin. Namun, tidak semua orang berhasil dalam kehidupan lajangnya. Studi kami menunjukkan bahwa faktor krusial penentunya adalah gaya keterikatan seseorang.

Baca juga: Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

Status Lajang Sedang Tren

Status lajang sedang meningkat di seluruh dunia. Di Kanada, tempat kami mengajar, status lajang di kalangan dewasa muda berusia 25-29 tahun meroket dari 32 persen pada 1981 menjadi 61 persen pada 2021. Jumlah orang yang tinggal sendirian pun menanjak dari 1,7 juta orang pada 1981 menjadi 4,4 juta orang pada 2021.

Orang melajang karena berbagai alasan: ada yang memilih untuk tetap single, ada yang fokus pada tujuan dan aspirasi pribadi, ada yang mengatakan berkencan menjadi lebih sulit, dan beberapa menjadi lajang lagi karena putusnya hubungan.

Orang-orang juga mungkin tetap melajang karena gaya keterikatan mereka.

Teori keterikatan adalah model tentang bagaimana kita membentuk hubungan dengan orang lain yang populer dan banyak diteliti. Pencarian Amazon untuk teori keterikatan menghasilkan ribuan judul. Di TikTok saja, tagar #attachmenttheory telah dilihat lebih dari 140 juta kali.

Baca juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Kata Teori Keterikatan Hubungan

Teori keterikatan menunjukkan bahwa hubungan kita dengan orang lain dibentuk oleh tingkat “kecemasan” (attachment anxiety) dan “penghindaran” (attachment avoidance).

Kecemasan terhadap keterikatan adalah jenis perasaan tak aman yang membuat orang merasa cemas tentang hubungan dan khawatir ditinggalkan. Sementara, penghindaran terhadap keterikatan membuat orang merasa tidak nyaman dengan keintiman dan kedekatan.

Orang yang memiliki tingkat kecemasan dan penghindaran keterikatan yang rendah dianggap “terikat secara aman”. Mereka merasa nyaman bergantung pada orang lain, termasuk dalam hal memberi dan menerima keintiman.

Orang lajang sering kali distereotipkan sebagai orang yang terlalu melekat atau tidak bisa berkomitmen. Penelitian yang membandingkan orang lajang dan berpasangan menunjukkan bahwa orang lajang memiliki tingkat ketidakamanan keterikatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sedang menjalin hubungan.

Pada saat yang sama, bukti menunjukkan banyak orang lajang memilih untuk terus sendirian dan tetap menjalani hidup bahagia.

Baca juga: Menikah untuk Menyenangkan Siapa?

Orang Lajang Pasti ‘Insecure’?

Dalam penelitian terbaru kami, tim psikolog sosial dan klinis kami meneliti gaya keterikatan orang lajang dan bagaimana kaitannya dengan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.

Kami melakukan dua penelitian, satu terhadap 482 orang yang masih single di usia muda dan yang lainnya terhadap 400 orang yang sudah lama melajang. Kami menemukan secara keseluruhan 78 persen dikategorikan “insecure, dan 22 persen lainnya dikategorikan “secure” atau yakin terhadap diri dan pilihannya.

Pengamatan lebih dekat atas hasil ini menunjukkan empat subkelompok lajang yang berbeda:

  • lajang yang secure relatif nyaman dengan keintiman dan kedekatan dalam hubungan (22 persen)
  • para lajang yang cemas (anxious) mempertanyakan apakah mereka dicintai oleh orang lain dan khawatir ditolak (37 persen)
  • para lajang yang menghindar (avoidant) merasa tidak nyaman berada dekat dengan orang lain dan memprioritaskan kemandirian mereka (23 persen dari para lajang yang lebih muda dan 11 persen dari para lajang yang lebih tua dan sudah lama tinggal)
  • para lajang yang takut (fearful) memiliki kecemasan akan pengabaian, namun sekaligus merasa tidak nyaman dengan keintiman dan kedekatan (16 persen dari para lajang yang lebih muda dan 28 persen dari para lajang yang lebih tua dan sudah lama lajang).

Orang Lajang juga Bisa Tumbuh

Temuan kami juga mengungkapkan subkelompok lajang yang berbeda-beda ini memiliki pengalaman dan hasil yang berbeda pula.

Para lajang yang secure dan merasa senang menjadi lajang memiliki lebih banyak hubungan nonromantis dan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan teman. Mereka memenuhi kebutuhan seksualnya di luar hubungan romantis dan merasa lebih bahagia dengan kehidupan mereka secara keseluruhan. Menariknya, kelompok ini memiliki minat yang moderat untuk menjalin hubungan romantis di masa depan.

Para lajang yang cemas cenderung menjadi orang yang paling khawatir menjadi lajang, tak percaya diri, merasa kurang didukung oleh orang-orang terdekat, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang paling rendah di antara semua subkelompok.

Photo of a sad-looking middle-aged man lying in bed alone.
Para lajang dengan gaya keterikatan yang berbeda sering kali memiliki pengalaman yang juga berbeda. Fergus Coyle / Shutterstock

Para lajang yang menghindar menunjukkan minat yang paling kecil untuk menjalin hubungan romantis dan dalam banyak hal tampak puas dengan kehidupan lajang. Namun, mereka juga memiliki lebih sedikit teman dan hubungan dekat, dan umumnya kurang puas dengan hubungan ini dibandingkan para lajang yang secure. Para lajang yang menghindar juga melaporkan bahwa hidup mereka kurang bermakna dan cenderung kurang bahagia dibandingkan para lajang yang aman.

Para lajang yang merasa takut mengalami lebih banyak kesulitan dalam menjalani hubungan dekat dibandingkan para lajang yang merasa aman. Misalnya, mereka kurang mampu mengatur emosinya, dan kurang puas dengan kualitas hubungan dekat mereka agar tetap melajang. Mereka juga melaporkan tingkat kepuasan hidup terendah di seluruh subkelompok.

Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?

Kehidupan Lajang Tak Melulu Suram

Temuan-temuan ini harus dipertimbangkan bersamaan dengan beberapa poin yang relevan. Pertama, meskipun sebagian besar lajang dalam sampel kami merasa insecure (78 persen), cukup banyak orang yang merasa aman dan bahagia (22 persen).

Lebih jauh lagi, menjalin hubungan romantis bukanlah obat mujarab. Berada dalam hubungan yang tidak bahagia dikaitkan dengan kepuasan hidup yang lebih buruk dibandingkan menjadi lajang.

Penting juga untuk diingat bahwa orientasi keterikatan tidak selalu tetap. Orientasi bisa berubah sebagai respons terhadap peristiwa kehidupan.

Demikian pula, perilaku sensitif dan responsif dari orang terdekat dan merasa dicintai dan diperhatikan oleh orang terdekat dapat meredakan kekhawatiran mendasar akan keterikatan dan menumbuhkan keamanan keterikatan seiring berjalannya waktu.

Penelitian kami adalah penelitian pertama yang meneliti keragaman gaya keterikatan di antara orang dewasa lajang. Temuan kami menyoroti bahwa banyak orang lajang merasa aman dan berkembang. Namun, lebih banyak lagi upaya yang dapat dilakukan untuk membantu para lajang yang merasa tidak aman menjadi lebih aman dan bahagia.

Christopher Pepping, Associate Professor in Clinical Psychology, Griffith University; Geoff Macdonald, Professor of Psychology, University of Toronto; Tim Cronin, Lecturer in Clinical Psychology, La Trobe University, dan Yuthika Girme, Associate Professor, Department of Psychology, Simon Fraser University.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Christopher Pepping, dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *