Lifestyle

Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

Ada yang hidupnya baru dimulai di usia 30 tahun, sehingga “terlambat” menikah. Ada pula yang memilih jomblo karena beberapa alasan. Semuanya sah-sah saja.

Avatar
  • September 22, 2021
  • 7 min read
  • 1514 Views
Ramai-ramai ‘Waithood’, Tak Apa Menikah di Atas Usia 30

“Aku bahagia kok.”

“Amalia” memulai obrolan dengan saya di suatu siang, (22/9). Tahun ini usianya menginjak 31 tahun dan ia menegaskan, belum ada keinginan untuk menikah sama sekali. Perempuan yang baru saja merampungkan studi S2-nya di sebuah kampus negeri Depok itu mengaku nyaman dengan keputusannya untuk tetap jomblo sejauh ini.

 

 

“Masih banyak hal yang mau aku capai dalam hidup. Masih mau bikin usaha, mencapai kemandirian finansial, dan mungkin mau sekolah lagi,” ujarnya.

Ada alasan kenapa perempuan asal Surabaya itu memilih untuk menunda pernikahan. Selain karena ingin memastikan pasangannya adalah orang yang benar-benar satu visi serta mendukung untuk saling bertumbuh, ia juga menganggap urusan pernikahan di Indonesia relatif njlimet.

“Di atas kertas, saat aku akad nikah, mengucap janji sehidup sematinya cuma sama suami, tapi kenyataannya, dua keluarga bisa saja merasa ikut terlibat dalam sumpah itu. Lalu mereka ikut campur, mengatur-ngatur, mendikte hidupku sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu kelak sesuai standar mereka. Daripada menambah drama yang enggak perlu, jadi aku enggak buru-buru dan enggak mau salah pilih,” terangnya.

Amalia sendiri mengaku sedang dekat dengan seseorang, dan ia masih membuka diri seluas-luasnya untuk jejaring pertemanan. Buatnya, di usia yang sudah kepala tiga, ia menjadi lebih realistis memandang hidup.

“Dulu waktu masih kuliah, masih paruh 20-an awal, aku ambisius banget mau nikah umur 25, mau punya rumah usia 27, mau punya anak dua di usia sekian. Lalu saat kenyataan kadang enggak berjalan semulus harapan, aku jadi mikir, ngapain sih harus sekeras itu pada diri sendiri?”

Akhirnya, kini Amalia memilih untuk menjalani hidupnya sebagaimana adanya. Ia tak memaksakan harus menikah di usia sekian, karena ia memutuskan untuk memprioritaskan hal lain. Kepada saya, dia bilang, pernikahan bukan kebahagiaan tunggal. Ada yang bahagia karena bisa ngajak ibunya jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri. Ada juga yang bahagia dengan hidup cukup, bisa nyicil rumah di kota satelit Jakarta. Sementara, yang lain bahagia ketika bisa hidup mandiri dan dikelilingi sahabat yang enggak cepu, ungkapnya. Dalam kasus Amalia, kebahagiaannya sekarang sudah bisa dipastikan bukan pernikahan.

Senada, “Putri”, 33, juga memilih untuk menunda perkawinan meskipun ia memiliki pacar jangka panjang dan sudah hidup bersama selama lima tahun terakhir. “Simpel, sih, kami belum siap memasuki institusi pernikahan. Bukan berarti kami menghindari komitmen ya, tapi buat kami, pernikahan itu enggak cuma soal seks kayak jualan penceramah-penceramah misoginis. Ada tanggung jawab besar di sana. Tanggung jawab untuk memangun keluarga, dengan atau tanpa anak. Tanggung jawab untuk hidup setia secara monogamy,” jelasnya, (22/9).

Baca juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Putri pernah gagal menikah sekali dengan mantan pacarnya karena bertengkar terus, bahkan pertengkaran mereka mengarah pada kekerasan fisik. Sehingga, kali ini, imbuhnya, dia sengaja menunda pernikahan sampai benar-benar merasa siap lahir batin. “Orang-orang berpikir bisa menikah sesuai standar umur kebanyakan, 25-26 tahun adalah prestasi, padahal tiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.”

“Enggak takut distigma atau di-julid-in tetangga atau tante-tante waktu Lebaran,” tanya saya padanya.

“Dulu iya, gampang banget overthinking, baper kalau udah disindir-sindir kapan kawin, kenapa pemilih sekali. Ibu saya sampai sedih. Namun, lama-lama kebal juga. Ibu juga sekarang sudah menyerah menanyakan pertanyaan yang sama,” ujarnya.

Lagipula, lanjutnya, jika memilih nikah buru-buru lalu gagal atau justru kita enggak nyaman, memang orang-orang yang sinis itu mau tanggung jawab? “Mereka yang julid mendesak kita cepet-cepet kawin, mereka juga yang mungkin bakal tepuk tangan paling keras saat kita tersungkur,” ucapnya.

Baca juga: Menikah untuk Menyenangkan Siapa?

Memilih Waithood, Apa Itu? 

Waithood sebenarnya bukan fenomena baru. Jauh sebelum laporan Economist berjudul “Asia’s Lonely Heart” (2011) yang menyebutkan keengganan anak muda Korea Selatan untuk menikah rilis, Singerman, profesor American University, Washington DC telah meneliti hal serupa pada 2007. Dalam risetnya di Timur Tengah berjudul, “The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East”, ia memetakan sejumlah sebab kenapa orang memilih untuk menunda pernikahan atau tak menikah sama sekali. Ada yang bilang, mereka menunda pernikahan karena alasan finansial: Mendamba hidup mandiri tanpa tinggal di pondok mertua indah, bisa membiayai resepsi sendiri, dan menafkahi keluarga. Celakanya, untuk bisa mencapai cita-cita itu, butuh waktu yang tak sebentar, sehingga keputusan menunda pernikahan jadi masuk akal di sini.

Ada juga yang menjadikan faktor psikologis sebagai dalih menunda perkawinan. Helen Fisher, seorang antropolog yang mempelajari romansa dan konsultan situs kencan Match.com, telah menemukan ungkapan “seks cepat, cinta lambat” untuk menggambarkan masa penjajakan dan pacaran panjang sebelum pasangan memutuskan terikat dalam pernikahan.

Kepada The New York Times dia berujar, orang dewasa di Amerika membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengenal satu sama lain. Bahkan, sebagian menghabiskan waktu sampai lebih dari satu dekade untuk memutuskan bahwa “inilah orang yang mau aku nikahi”. Ini mengafirmasi temuan eHarmony yang mencatat, pasangan Amerika berusia 25 hingga 34 tahun saling mengenal rata-rata enam setengah tahun sebelum menikah, dibandingkan dengan rata-rata lima tahun untuk semua kelompok usia lainnya.

Ini agak mirip dengan yang terjadi di Korea Selatan di mana para anak muda di sana memutuskan untuk menunda pernikahan atau tak menikah sama sekali, dan melibatkan diri dalam hubungan kasual saja. BBC menyebutnya generasi Sampo, yakni kondisi di mana orang sudah abai dengan tiga hal jamak: Hubungan, pernikahan, anak. Selain menganggap yang memikat bukan lagi romansa tapi karier yang moncer, para perempuan biasanya agak alergi tersandera peran gender konvensional di mana perempuan harus jadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab pada urusan domestik. 

Baca juga: Benarkah Perempuan Berpendidikan Lebih Tinggi Selalu Susah Menikah?

Bagaimana Jika Memilih Menikah Setelah Usia 30 Tahun?

Sejarawan Stephanie Coontz, penulis “Marriage, a History and The Way We Never Were” mengurai perkembangan historis yang mengarah pada kepuasan pernikahan yang lebih besar di usia matang. Masalahnya siapa yang menentukan standar kematangan itu. Pada 1960-an, orang bisa menikah lebih muda dan itu akan berhasil karena tidak banyak yang bisa dilakukan seorang perempuan selain ikut suami. Namun, zaman sudah berubah, perempuan punya kesempatan yang sama besarnya untuk punya karier tinggi, penghasilan lebih banyak, pendidikan yang setara, dan hal-hal lain yang bahkan dulu memikirkannya saja tak pernah.

Karena itulah perempuan harus dibiarkan untuk menentukan standar dan garis waktunya sendiri, bukan disetir orang tua, keluarga, tetangga, influencer kawin muda, apalagi mantan yang lebih dulu menikah. Tak peduli bagaimanapun kata orang, pernikahan adalah salah satu hal yang terbilang sulit (Percayalah, saya mengalaminya sendiri).Dibutuhkan waktu, usaha, kesabaran, kedewasaan, dan kerja keras kedua belah pihak. 

Jadi, jika rasanya semua orang di sekitar kamu mulai menikah di usia 20-an, kamu enggak perlu ikut arus jika tak ingin dan tak siap. Sebagai informasi, usia rata-rata untuk menikah di Inggris di angka 30 tahun. Di Amerika Serikat (AS), usia rata-rata pernikahan juga meningkat—banyak yang menunjukkan bahwa usia rata-rata pria adalah 29 tahun dan perempuan 27 tahun. Namun sekali lagi itu sekadar angka yang tak berarti jika bukan kamu yang memberikan makna.

Kamu boleh menikah di usia di atas 30 tahun jika itu membuatmu bahagia. TIME sendiri menjelaskan, menikah setelah usia 30 tahun membawa sejumlah manfaat, termasuk memberimu perpanjangan waktu agar bisa memutuskan yang terbaik dalam hidup. Jika kamu tahu siapa orang yang kamu inginkan dalam hidup saat berusia 21 tahun itu sah-sah saja, tapi perubahan karakter, kata TIME akan terus terjadi, dan usia 30 tahun dipandang sebagai usia ambang yang tepat untuk menunjukkan sejauh mana perubahan drastis karakter seseorang.

Kedua, fakta perempuan yang menunda pernikahan sampai usia 30 tahun ke atas adalah sinyalemen bahwa perempuan punya banyak hal yang bisa diraih demi mencapai kebahagiaan. Silakan googling perempuan-perempuan sukses yang melajang di usia 30 tahun ke atas. Ini tak lagi jadi hal yang langka, sebab semakin banyak perempuan yang melek bahwa pernikahan tak jadi standar satu-satunya yang membuat dia jadi pribadi sukses dan berkualitas.

Berikutnya, menikah di usia 30 tahun juga cenderung membuatmu lebih siap secara psikologis saat membuat keputusan-keputusan besar atau menghadapi problem rumah tangga. Keputusan untuk melahirkan dan membesarkan anak, keputusan untuk mengatur keuangan bahkan di saat-saat sulit, keputusan untuk bisa terus mendukung karier masing-masing tanpa dibayangi rasa cemburu berlebihan juga jadi soal.

Terakhir, jika kamu memutuskan untuk terus melajang bahkan di usia 30 tahun lebih, tak perlu merasa canggung. Sebab, saat melihat kaca dan mengingat bahwa dirimu yang sekarang terbentuk dari pengalaman personal, pemikiran, dan cobaan yang beragam, kamu tentu tak akan membiarkan orang asing berak di kepalamu lalu mendiktemu untuk menikah di usia 21, 25, atau 27. Itu pilihanmu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *