December 5, 2025
Issues Politics & Society

Benarkah Ada Meritokrasi dalam Seleksi Beasiswa LPDP? 

Beasiswa LPDP adalah hak semua warga negara yang lolos seleksi. Namun enggak pernah dipertanggungjawabkan secara terbuka, bagaimana proses penilaian seleksi mereka.

  • July 11, 2025
  • 7 min read
  • 1268 Views
Benarkah Ada Meritokrasi dalam Seleksi Beasiswa LPDP? 

“Saya mau jadi peneliti kredibel, memastikan demokrasi di negara ini berjalan sebagaimana mestinya.” 

Kalimat itu ditulis Anin (bukan nama sebenarnya), dalam esai pendaftaran beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sebuah harapan tulus untuk berkontribusi pada negara justru harus kandas tanpa penjelasan yang memadai. 

Anin mendaftar pada seleksi Beasiswa LPDP Gelombang 1 tahun 2024 melalui jalur Letter of Acceptance (LoA). LoA sudah ia dapatkan sejak Juli 2023, sehingga ia bisa langsung mengikuti tahap wawancara tanpa harus menjalani tes skolastik terlebih dulu. 

Semua kebutuhan administratif dan akademik Anin persiapkan sendiri. Dari sertifikat IELTS, ijazah, hingga dokumen prestasi, ia urus di tengah kesibukan kerja. Tak sedikit dana yang harus ia keluarkan secara mandiri: biaya ujian mandiri kampus sebesar Rp1,3 juta, dan tes IELTS Rp3,3 juta. 

“Kalau gagal ya ulang, bayar lagi. Untungnya saya lulus semua di percobaan pertama,” ujar Anin pada Rabu (25/6). 

Namun, alur yang tampak lancar itu berhenti mendadak di ujung jalan: ia dinyatakan tidak lolos di tahap wawancara. Yang membuatnya lebih terpukul adalah absennya kejelasan. Tidak ada penjelasan skor, apalagi umpan balik dari pewawancara. 

“Padahal dengan mengetahui indikator, skor penilaian, serta diberikan umpan balik merupakan hal penting agar bisa menjadi pembelajaran bagi pendaftar yang gagal. Serta menjadi sebuah refleksi dan evaluasi,” jelasnya. 

Anin juga menemukan bahwa ambang batas skor wawancara pada angkatannya mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya skor minimal berkisar di angka 800, kali ini naik menjadi 1.000, tanpa ada transparansi soal parameter dan bobot penilaiannya. 

Ketiadaan informasi tersebut menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana sebenarnya standar seleksi LPDP? 

Baca juga: Peringkat Kampus Sebagai Kriteria Beasiswa Doktoral, Masih Relevankah?

Transparansi dan Ketimpangan 

Kritik Anin terhadap kurang transparansinya indikator penilaian  seleksi LPDP bukanlah hal baru. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2021, sebanyak 24 persen dosen dan 21 persen mahasiswa berprestasi mengeluhkan bahwa proses seleksi LPDP tidak transparan, terutama pada tahapan wawancara dan penilaian substansi.  

Kritik ini merujuk pada tertutupnya beberapa informasi. Beberapa diantaranya: tidak terbukanya informasi mengenai indikator penilaian, bobot masing-masing komponen seleksi, serta tidak adanya umpan balik yang diberikan kepada peserta yang gagal.  

Hingga saat ini LPDP memang belum memiliki sistem informasi terbuka yang memuat data agregat hasil seleksi, seperti distribusi skor, rincian nilai wawancara, atau latar belakang sosial-ekonomi penerima. Peserta hanya dapat mengakses skor mereka melalui mekanisme permintaan informasi publik (PPID), yang mengharuskan pelamar menyertakan kode registrasi dan waktu pengumuman. Proses tersebut dinilai tidak ramah publik dan menyulitkan peserta untuk mengevaluasi kelemahannya secara objektif.  

Selain transparansi penilaian, LPDP juga kerap dikritik sebab tidak menampilkan sebaran penerima beasiswa pada laporannya. Publik memang diberi Laporan Kinerja (Lakin) LPDP tiap tahunnya, namun hanya berupa angka semata. 

Pada Lakin yang rutin dipublikasikan di website resmi lpdp.kemenkeu.go.id hanya memuat angka penerima. Tidak detail memuat nama penerima, kampus asal dan tujuan, jenis beasiswa, wilayah atau domisili penerima dan latar belakang sosial-ekonomi penerima. 

Gambar Penerima Beasiswa LPDP 2013-2024 
Sumber: Lakin LPDP 2024 

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Rahmat Hidayat Pulungan pernah melayangkan kritik terhadap kurangnya detail informasi mengenai data yang dipublikasikan LPDP pada 2022 lalu. Mengutip Antara, Ia menilai seharusnya LPDP membuka data penerima termasuk identitas mereka agar masyarakat mampu memverifikasi siapa penerima beasiswa dan memastikan penerima amanah melakukan studinya. 

“Sebaiknya, LPDP membuka data para penerima beasiswa, terutama yang berada di luar negeri. Sebab, LPDP dibiayai negara dan semua orang berhak tahu siapa saja yang menerima manfaat dari program ini,” kata Rahmat. 

Terbaru, LPDP kembali menjadi sorotan tajam masyarakat setelah anak Anies Baswedan yaitu Mutiara Baswedan, lolos sebagai penerima beasiswa S2 LPDP ke Harvard University. Banyak masyarakat yang memberikan kritik bahwa dengan kondisi finansialnya, seharusnya Mutiara tidak perlu menerima beasiswa LPDP. 

Polemik tersebut sampai ditanggapi oleh Direktur Utama LPDP,  Andin Hadiyanto. Melansir Kompas, Andin menyebut LPDP merupakan beasiswa untuk putra-putri terbaik bangsa, sehingga semua boleh mendaftar.  

Ia juga menambahkan, status ekonomi pendaftar bukanlah faktor utama yang dipertimbangkan panitia seleksi LPDP. Namun, ia menjelaskan LPDP juga menyediakan jalur khusus bagi masyarakat kurang sejahtera dari daerah 3T dan persyaratannya lebih mudah. 

Baca juga: Cina Gunakan Beasiswa untuk Setir Pandangan Politik Santri Indonesia

Dari Meritokrasi Semu hingga Kurang Transparan, LPDP  Melanggengkan Ketimpangan 

Dosen Sosiologi UNJ, Rakhmat Hidayat  juga turut mengkritik kurangnya transparansi dalam beasiswa LPDP. Bagi Rakhmat, transparansi dalam proses seleksi beasiswa LPDP sangat penting untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas.  

Baginya, tanpa informasi jelas mengenai indikator penilaian, hasil nilai, dan proses wawancara, calon peserta mungkin merasa kesulitan untuk memahami kriteria seleksi. Selain itu peserta juga akan sulit mengukur diri apakah mereka telah memenuhi standar yang ditetapkan.  

“Kalau kita lihat argumentasi dari pihak internal LPDP hal tersebut menjadi rahasia/confidential dari kandidat dan kemudian menjadi milik LPDP. Tapi saya pikir sebaiknya LPDP memberikan panduan lebih rinci mengenai hal ini agar proses seleksi menjadi lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas dan objektivitas LPDP,” jelas Rakhmat  ketika diwawancarai Magdalene pada Kamis (26/6). 

Selain masalah transparansi, Rakhmat Hidayat juga mengkritik narasi meritokrasi yang kerap digaungkan pihak LPDP. Baginya, sistem seleksi LPDP yang berdasarkan meritokrasi hari ini mengabaikan fakta bahwa di Indonesia kesenjangan di masyarakat masih tinggi. Sehingga para pendatar berangkat dari kondisi sosial-ekonomi yang setara.  

“Setiap orang punya hak dan kesempatan yang sama untuk mendaftar, untuk melamar dan sebagainya. Tetapi mereka tidak berangkat dari kondisi yang sama,” ujarnya. 

Ia melanjutkan, mereka yang punya kemapanan ekonomi, dapat mengakses kursus bahasa asing, membayar tes IELTS, bahkan mengulang bila gagal. Sementara bagi kelompok kelas menengah ke bawah, peluang itu tak mudah diraih. 

“Bagi mereka yang secara ekonomi mampu, itu mereka berangkatnya bukan dari angka nol, tapi dari angka dua atau tiga. Nah bagi mereka yang tidak mampu, mereka bukan lagi dari nol, tapi dari minus dua,” katanya. 

Rakhmat menyebut, kondisi ini menjadikan meritokrasi yang selalu digaungkan pihak LPDP menjadi hal yang “semu” tidak nyata. Sebab, terlihatnya sebagai sebuah sistem yang adil padahal tidak. 

Menurut Rakhmat, sistem seperti ini tak akan membangun sumber daya manusia secara merata. Justru melanggengkan ketimpangan. Mereka yang sudah punya modal, diberi lebih banyak. Mereka yang tertinggal, makin jauh tertinggal. 

“Pendidikan mereka itu hanya untuk melakukan mobilitas kapital. Hanya untuk lompatan berikutnya. Jangka panjangnya tidak ada efek untuk komunitas, sosial, atau pembangunan,” ujarnya. 

Ia menilai, seharusnya LPDP memberi ruang bagi mereka yang secara akademik berpotensi, namun terhalang akses dan ekonomi. Seperti dari keluarga petani, buruh, atau masyarakat adat. 

“Yang spesial itu bagi mereka yang tidak mampu, miskin, jatuh di daerah pedalaman, di daerah-daerah pesisir. Itu yang seharusnya prioritas,” tambahnya. 

Sebagai pembanding, Rakhmat menyebut skema beasiswa luar negeri seperti Australia Awards Scholarship yang diberikan Pemerintah Australia khusus untuk Indonesia. Beasiswa tersebut  menerapkan affirmative action dan targeted group. Mekanisme tersebut bagi Rakhmat lebih aktif guna menjaring bibit dari wilayah-wilayah yang terpinggirkan. 

Baca juga: Kasus Suap Kampus Makin Marak, Apa yang Harus Kita Lakukan?

“Salah satu fokus utama dari Australia Awards Scholarships adalah mendukung pengembangan daerah-daerah yang secara geografis atau sosial-ekonomi masih tertinggal. Dalam konteks Indonesia, program ini memiliki prioritas khusus untuk Indonesia Timur, seperti Papua dan Nusa Tenggara. Daerah-daerah ini sering kali menghadapi tantangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur, sehingga program beasiswa ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia di wilayah tersebut,” jelasnya. 

Ia mencontohkan, LPDP bisa melibatkan tim independen untuk turun langsung ke daerah seperti Papua, wilayah pegunungan, atau pesisir, guna mencari calon penerima beasiswa yang punya potensi. Keterbatasan kemampuan bahasa asing, kata Rakhmat, bukan hambatan utama, yang penting adalah potensi dan keinginan mereka untuk berkembang. 

“Uangnya bukan uang LPDP, itu uang rakyat. Dan itu menjadi hak kita sebagai publik untuk mempertanyakannya, mengaturnya, memberikan respons, dan pihak LPDP harus mempertimbangkannya,” pungkas Rakhmat.  

Magdalene mencoba menghubungi pihak LPDP untuk meminta keterangan melalui instagram pada Kamis, 26 Juni. Lalu pada Senin, 30 Juni diarahkan untuk mengirim surat permohonan wawancara melalui email.  

Pada tanggal 1 Juli dikirimkan surat permohonan wawancara melalui email, lalu pada 3 Juli mendapat balasan dan diminta untuk mengirimkan daftar pertanyaan. Ketika mengirimkan daftar pertanyaan pada 3 Juli, Magdalene meminta untuk melakukan wawancara pada keesokan harinya. Namun, sampai berita ini diterbitkan tidak ada balasan dari pihak LPDP. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.