Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih
Pemerintah belum juga memberikan solusi konkret atas pencemaran udara di Jabodetabek. Sementara, warga yang rentan, sibuk memutar otak untuk bertahan.
Rute perjalanan dari rumah ke kantor maupun sebaliknya, tak pernah mudah bagi Olip, 28. Sepanjang hampir 60 kilometer, perempuan yang bekerja di pabrik otomotif itu perlu ekstra hati-hati setiap mengendarai motor. Sebab, Olip harus melalui jalanan berlubang di antara kendaraan besar, sambil mengantisipasi debu dan polusi udara yang menampar wajah.
Kondisi itu sudah jadi bagian dari rutinitas Olip selama sepuluh tahun terakhir. Terutama setiap melintas dari rumahnya di Tegal Danas, menuju pabrik di Deltamas, Bekasi, Jawa Barat. Belum lagi tempat kerjanya merupakan kawasan industri, sehingga kualitas udara tak lebih baik. Yang jadi korban adalah kesehatan fisik Olip.
“Ya batuk, pilek, sama mata agak gatal atau berair karena debunya ngebul,” tutur Olip. “Jadi saya suka minggir dulu (kalau lagi mengendarai motor), buat bersihin mata sampai agak kering dan enggak perih.”
Dalam Laporan Kualitas Udara yang dirilis pada Mei 2023, Nafas Indonesia mencatat, Bekasi merupakan wilayah kedua paling berpolusi di Jabodetabek—15 persen lebih buruk dibandingkan DKI Jakarta. Peringkat itu ditentukan berdasarkan kadar Particulate Matter (PM) 2,5 di setiap wilayah.
Baca Juga: Selain di Laut, Udara Jakarta juga Mengandung Mikroplastik
Kalau kamu belum familier, PM2,5 adalah partikel udara yang ukurannya lebih kecil, atau sama dengan 2,5 mikrometer. Tingginya nilai PM2,5 ditandai dengan jarak pandang yang semakin berkurang, dan terlihat agak berkabut.
Kondisi ini perlu diwaspadai, karena semakin tinggi nilai PM2,5, semakin buruk untuk kesehatan manusia, baik jangka pendek atau panjang. Sebab, ukuran partikel tersebut 30 kali lebih kecil dibandingkan lebar rambut manusia, sehingga membuatnya bisa masuk ke dalam paru-paru.
Dalam publikasi yang sama, Departemen Kesehatan New York menyebutkan dampak kesehatan jangka pendek polusi udara. Di antaranya, batuk, pilek, sesak napas, iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Sementara, dalam jangka panjang, polusi dapat meningkatkan kematian akibat penyakit jantung, peningkatan kanker paru-paru, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru-paru.
Menurut laporan Nafas Indonesia, angka PM2,5 di Bekasi mencapai 53—dengan polusi tertinggi berada di Kecamatan Tarumajaya, Nilainya mencapai 85 mikrometer, atau 17 kali di atas pedoman World Health Organization (WHO).
Laporan tersebut menjelaskan, kualitas udara di Bekasi tergolong dalam dua kategori: Tidak sehat dan tidak sehat bagi kelompok sensitif—mencakup ibu hamil, balita, anak-anak, dan lanjut usia (lansia). Orang-orang yang termasuk kelompok ini rentan terkena penyakit, akibat terpapar udara yang kotor.
Karena itu, Olip khawatir menularkan penyakit pada anaknya yang berusia lima tahun. Ini pernah terjadi ketika Olip pilek. Di samping itu, jika sakit, ia juga takut enggak bisa menemani anaknya bermain di luar rumah.
“Hari libur, kan waktunya aku anter anak main di luar rumah. Waktu itu enggak enak badan, enggak bisa pergi, jadinya anak main di rumah. Padahal di hari kerja, dia juga di rumah, dirawat sama orang tuaku,” cerita Olip.
Selain mencemaskan kesehatan anak, Olip yang merupakan tulang punggung keluarga, tak ingin gangguan kesehatan menghambat pekerjaan. Ini mengingat ia harus memenuhi kebutuhan anak dan orang tua yang bergantung padanya.
Mirisnya, tak hanya kesehatan Olip yang dipertaruhkan dengan polusi udara. Ada jutaan warga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) yang dikorbankan. Perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir mencatat, per (16/8) terdapat 86,4 mikrogram per meter kubik polutan halus, terkandung dalam udara Jakarta—17,3 kali lebih besar dari nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Bahkan, IQAir menobatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar secara global.
Berdasarkan keterangan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka pada (14/8), pekatnya polusi udara di Jabodetabek disebabkan oleh beberapa faktor: Musim kemarau—membuat peningkatan konsentrasi polutan tinggi, serta emisi dari transportasi dan aktivitas industri terutama yang memanfaatkan batu bara di sektor manufaktur.
Lalu, bagaimana respons pemerintah dalam menyikapi situasi ini?
Baca Juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka
Warga (Masih) Tunggu Kebijakan Pemerintah
Setidaknya seminggu terakhir, warga Jabodetabek enggak berhenti membicarakan polusi udara di media sosial. Mereka menunggu respons dan upaya penanggulangan oleh pemerintah, yang ternyata justru merespons dengan bantahan.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro, misalnya. Dalam siaran YouTube KLHK terkait kualitas udara di Jabodetabek, ia menilai klaim bahwa Jakarta merupakan kota paling berpolusi adalah framing.
Menurut Sigit, pada 2018 hingga 2023, kualitas udara Jakarta tergolong dalam kategori baik dan sedang. Ia pun menekankan, enggak bisa merujuk pada satu atau dua sumber dalam mengukur kondisi kualitas udara di Jakarta. Ini lantaran dalam pengukurannya terdapat metodologi dan kriteria ideal.
Di samping itu, pemerintah masih membebankan datangnya solusi dari masyarakat. Entah mengurangi kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum, membeli bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, serta mencontoh Jerman dan Belanda yang kebanyakan warganya mobilisasi dengan sepeda. Bahkan di kesempatan yang sama, Sigit cuma bisa mengajak warga berdoa agar hujan turun, guna mengurangi polusi udara.
Dalam wawancara bersama Magdalene, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung, mengungkapkan alasan pemerintah kerap membantah polusi udara di Jabodetabek. Salah satunya adalah tarik-menarik kepentingan, dalam menargetkan industri yang terlibat, sebagai motor penggerak ekonomi. Suci menuturkan, hal itu melatarbelakangi lambatnya dan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara. Sementara jika proses hukum tidak disangkal, kemungkinannya saat ini sudah masuk tahap lanjutan.
“Seharusnya pemerintah memproses data yang ada.Ini kan berkutat di permasalahan yang udah jelas, tapi ngoyo mencari bantahan benar atau enggak,” ungkap Suci. “Belum ada willingness dan pembacaan masalah yang enggak clear, jadi lama prosesnya.”
Padahal pada 2021, jajaran pemerintah dinyatakan bersalah atas pencemaran udara di Jakarta. Di antaranya Presiden, Gubernur DKI Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat. Saat itu, gugatan dilayangkan oleh Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) dalam citizen lawsuit.
Putusan yang dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut diikuti hukuman dari majelis hukum, berupa penetapan baku mutu udara ambien nasional, yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem.
Meskipun demikian, awal Januari 2023, Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mengajukan kasasi. Suci menyatakan, pengajuan tersebut semakin memperpanjang proses pelaksanaan putusan. Ditambah realitasnya, pemerintah telah melanggar hak asasi manusia, dengan membiarkan warga menghirup udara kotor dan tinggal di lingkungan yang tidak bersih maupun sehat.
Faktor pengajuan banding juga yang menurut Suci, membuat Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU), baru diserahkan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pekan lalu, dalam Peraturan Gubernur. Dalam SPPU disebutkan tiga upaya: Meningkatkan tata kelola pengendalian pencemaran udara, mengurangi emisi pencemaran udara dari sumber-sumber bergerak—transportasi, dan yang tidak bergerak seperti industri.
Upaya mengurangi emisi dari sumber bergerak sempat digarisbawahi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Farazandi Fidinansyah. Dalam audiensi Koalisi Ibukota bersama dengan legislator, di gedung DPRD DKI Jakarta (16/8) ia menyebutkan, masyarakat perlu bergabung bersama stakeholders jika perkara polusi udara belum menjadi perhatian pemerintah.
“Salah satu wacana yang diyakini itu memaksimalkan transportasi publik. Saya mengakui (moda transportasinya) terbatas sekali, sementara jumlah tenaga kerja yang butuh masih tinggi,” ujar Farazandi. “Saya harap ke depannya (pemerintah) serius mengembangkan moda transportasi. Dan kita juga perlu mengubah perilaku.”
Tanggapan Farazandi lagi-lagi memosisikan warga Jabodetabek, sebagai pihak yang bisa diandalkan selagi pemerintah mencari solusi. Respons ini menunjukkan, ketidakpekaan pemerintah dengan kelompok masyarakat, terutama yang paling rentan. Sebab, pada akhirnya warga harus “membayar” untuk menghirup udara bersih.
Kendati demikian, Suci mengamini upaya kolektif yang disebutkan Farazandi tetap penting dilakukan sebagai gerakan bersama—mengingat manfaatnya akan lebih besar. Lantas, upaya apa lagi yang perlu dilakukan warga Jabodetabek untuk menjaga kesehatannya?
Baca Juga: Air Kemasan Tercemar Tinja dan Plastik, Mimpi Buruk Kita di 2026
Solusi Nihil, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk mengurangi tingkat polusi udara, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengarahkan, agar 50 persen aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, melaksanakan work from home (WFH). Melansir CNN Indonesia, instruksi ini berlaku mulai (28/8) sampai (7/9), untuk menyambut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean. Kemudian, Heru sekaligus menetapkan agar ASN Pemprov DKI Jakarta, menjalankan instruksi tersebut selama tiga bulan per September 2023.
Menanggapi respons tersebut, anggota DPRD DKI Jakarta Viani Limardi menilai, WFH merupakan “solusi” dari kenyataan. Ia mempertanyakan, sampai kapan warga harus berdiam di rumah layaknya pandemi COVID-19. Bahkan Viani menekankan, udara di dalam rumah juga belum tentu sehat.
“Mungkin bisa pakai air purifier, tapi itu kalau ekonominya mampu,” tuturnya.
Sepakat dengan Viani, Suci melihat solusi yang sejauh ini disarankan mengelompokkan warga berdasarkan latar belakang ekonominya. Bagi kelas menengah ke atas, misalnya, mereka punya pilihan membeli air purifier, masker, dan tabung oksigen jika diperlukan. Berbeda dengan kelompok miskin, masker saja menjadi pengeluaran tambahan yang membebankan.
Suci menggambarkan, dari jarak rumah, kelompok miskin berdempetan satu sama lain sehingga membutuhkan dukungan utama dari pemerintah.
“Misalnya menyediakan puskesmas yang dekat ke masyarakat, dan bisa menyediakan fasilitas itu lebih cepat. Kalau ada yang sesak napas bisa cepat akses ke sana,” saran Suci. “Jadi mendekatkan masyarakat ke akses, supaya bisa menjamin proteksi dirinya.”
Selain itu, Suci menyarankan agar warga minum air putih yang banyak, dan segera istirahat yang cukup begitu merasa sakit. Setidaknya itu yang bisa dilakukan untuk melindungi diri secara individual.
Sementara, pemerintah dalam hal ini perlu menyesuaikan kebijakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam aturan tersebut tertulis, standar PM yang ditetapkan pemerintah adalah 65 mikrogram per meter kubik. Belum sejalan dengan udara yang sehat menurut WHO, sebesar 25 mikrogram per meter kubik dengan PM2,5.
Pemerintah juga dapat mencontoh pemerintah Cina, yang berhasil mengurangi polusi udara sebesar 40 persen, sepanjang 2013 hingga 2020. Mengutip BBC Indonesia, kondisinya waktu itu, polusi udara di Cina sampai sepuluh kali lebih banyak dari yang direkomendasikan WHO, yakni 52,4 mikrogram per meter kubik.
Dari situ,pemerintah Cina mengeluarkan biaya mencapai Rp4 triliun untuk berbagai upaya. Di antaranya membatasi kendaraan pribadi, mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara, menambah pembangkit listrik energi terbarukan, mengalihkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke gas alam, serta fokus pada kota-kota besar.
Pertanyaannya, akankah pemerintah Indonesia mau dan mampu memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek yang kian memburuk? Sampai pertanyaan itu terjawab, sepertinya akan semakin lama kita “membayar” ongkos mahal demi bisa bernapas tenang.