Potret Bissu dalam Pameran Seni Tanarra di Jakarta Biennale
Bagi Bissu, “Matinro” adalah proses mempersiapkan diri untuk kehidupan lain. Sementara, bagi Tanarra, “Matinro” adalah proses inspirasi dalam berkarya.
Di Sulawesi Selatan, tepatnya di masyarakat Bugis, Bissu merupakan peninggalan pra-Islam yang relatif sohor. Bissu yang berasal dari diksi mabesi atau besi, yaitu orang suci dan sakti ini punya peran besar. Mereka jadi pengabdi, penasihat, dan penjaga arajang alias benda pusaka keramat seperti tombak, peti, keris, dan sejenisnya.
Tak hanya itu, para Bissu juga dianggap oleh masyarakat sebagai “orang sakti”, karena tidak mempan senjata tajam dan mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur atau roh nenek moyang.
Terkait Bissu, seniman bernama Tanarra melalui proses ziarah batin bertemu dengan mereka. Dalam Ziarah batinnya, Tamarra menemukan filosofi “Matinro” dalam bahasa Bugis yang diterjemahkan sebagai “tidur”. Bagi Bissu “Matinro” adalah proses mempersiapkan diri untuk kehidupan lain.
Baca juga: Usung Tema ‘Esok’, Jakarta Biennale Kembali Hadir Setelah Absen 4 Tahun
Sementara, bagi Tanarra, “Matinro” adalah proses inspirasi dalam berkarya. Selama pandemi, Tanarra memang lebih banyak merenung dan berdamai dalam kegelisahan kehidupannya. Selama lima tahun Tanarra mengumpulkan kaos bekas, memotong helai demi helai kaos bekas agar lurus-panjang, mengikat kaos bekas dengan proses ikat seperti jala ikan.
“Walau tampak rumit, selalu ada benang merah dalam sebuah karya, sama seperti kehidupan,” tutur Tanarra.
“Matinro” bagi Tanarra bukan sekadar tidur dalam arti harfiah. Namun, itu menjadi bagian proses penyembuhan pada dirinya. Lewat laku tersebut, tercipta instalasi yang berjudul “Matinro”, pada Jakarta Biennale Esok 2021.
Baca juga: Voice Indonesia Berdayakan Minoritas dan Kaum Adat lewat ‘Artivism’
Selama lima tahun Tanarra mengikat kaos bekas menjadi gaun yang tampak seukuran tubuh manusia. Pada karyanya terdapat pula Singing Bowl sebagai terapi penyembuhan fisik dan emosional. Terdapat juga suling bambu yang suaranya mampu menggetarkan semesta. Tak cukup sampai di sana, nampak instalasi menyerupai vagina di mana setiap manusia selalu dilahirkan oleh rahim ibu.
Tanarra tidak tidur, tetapi ia berproses. Kesadaran bahwa Tanarra memiliki satu entitas bukan laki dan perempuan lah yang menuntun dirinya. Melalui proses ini, ia menciptakan harmonisasi. Ya, Tanarra lebih memandang dirinya sebagai agen pertukaran pengetahuan karena seni bukan hanya untuk entitas semata tetapi seni merupakan bentuk harmonisasi.