Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Surga dan Ancaman Nyata
Belum lama ini, publik ramai membahas pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Prof. Stella Christie. Ia menyebut Program Makan Bergizi Gratis (MBG) membuat siswa jago Matematika dan Bahasa Inggris. Dikutip dari Suara.
“Setiap hari adalah kesempatan luar biasa bagi anak-anak untuk belajar. Dengan program MBG, anak-anak tidak hanya mendapatkan gizi yang baik, tetapi juga belajar menghitung dan mengenal Bahasa Inggris melalui jenis-jenis makanan,” ujarnya. Pernyataan itu disampaikan pada (20/8), saat kunjungan ke stan Badan Gizi Nasional di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pernyataan tersentuk sontak memicu kritik dari akademisi, guru, dan masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan dasar ilmiah klaim ini. Pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor Prof. Ali Khomsan bilang, prestasi akademik siswa tidak bisa dipisahkan dari kualitas pengajaran, dukungan keluarga, dan lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam klarifikasinya, Prof. Stella menyatakan MBG hanya menjadi “alat pembelajaran”. Misalnya menghitung butiran nasi atau menyebut nama makanan dalam Bahasa Inggris. Namun logika itu menimbulkan pertanyaan: Bukankah yang lebih dibutuhkan metode belajar yang relevan dan menarik, alih-alih sekadar makanan gratis?
MBG awalnya dirancang untuk menanggulangi gizi buruk, stunting, dan ketidaksetaraan akses pangan. Mengaitkan program ini dengan prestasi akademik secara instan mengaburkan tujuan utama. Terlebih prestasi Matematika dan Bahasa Inggris siswa dipengaruhi banyak faktor: kualitas guru, metode pengajaran, dukungan keluarga, fasilitas belajar, hingga lingkungan sosial. Menyederhanakan semua itu menjadi satu klaim instan berpotensi menyesatkan publik.
Lebih jauh, implementasi MBG menghadapi kritik serius setelah insiden keracunan massal. Dikutip dari BBC Indonesia, per (25/6), sudah 1.376 siswa mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari MBG di beberapa sekolah. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan seputar pengawasan kualitas, keamanan pangan, dan ketepatan prosedur distribusi. Kasus nyata ini menunjukkan risiko yang muncul ketika program dijalankan terburu-buru dan klaim dampaknya terlalu dini.
Baca Juga: Menilik Mimpi Makan Gratis Seperti di Brasil
Evaluasi Ilmiah terhadap Program Makan Bergizi Gratis
Dari perspektif akademik, anak-anak yang menerima nutrisi cukup cenderung lebih fokus di kelas, energinya lebih stabil, dan kehadirannya lebih tinggi karena adanya insentif makanan yang layak. Semua itu dapat mendukung proses belajar, tetapi tidak serta merta menjamin keunggulan dalam Matematika dan Bahasa Inggris.
Beberapa laporan media menyoroti tantangan implementasi MBG. Dikutip dari KBA News, beberapa sekolah melaporkan kualitas makanan kurang enak dan variasi menu terbatas, sehingga minat siswa menurun. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi efektivitas program. Evaluasi lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan MBG memberi manfaat terhadap prestasi akademik siswa.
Selain itu, menurut Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam siaran pers bertajuk Catatan Kritis Tata Kelola MBG (2025), program ini berpotensi menjadi alat legitimasi kebijakan populis. Penyederhanaan klaim MBG membuat anak “jago Matematika dan Bahasa Inggris” tanpa bukti ilmiah memperlihatkan bagaimana narasi pendidikan bisa diseret ke ranah politik tanpa mengedepankan data.
Dari perspektif ini, MBG tetap penting sebagai upaya meningkatkan gizi siswa, tetapi klaim instan meningkatkan prestasi akademik menutup perhatian pada faktor sistemik yang sesungguhnya. Anak yang prestasinya rendah memerlukan perhatian mulai dari mutu pengajaran, fasilitas sekolah, hingga dukungan lingkungan. Menyederhanakan pendidikan menjadi formula instan untuk kepentingan populer berisiko menurunkan integritas sistem.
Sebenarnya banyak penelitian internasional menunjukkan program makan sekolah bisa berkontribusi pada peningkatan prestasi akademik. Namun durasi program harus cukup panjang dan kualitas menu memadai. Di Inggris dan Amerika Serikat, Universal Free School Meals berdampak positif terhadap kehadiran dan hasil belajar anak-anak, terutama yang berasal dari keluarga kurang beruntung. Keberhasilan ini bergantung pada implementasi konsisten dan dukungan pemerintah yang serius.
Baca juga: Sadarkah Kita, MBG adalah Alat Kontrol Negara pada Rakyat?
Seorang Intelektual Harus Adil Sejak dalam Pikiran
Aneka klaim surga MBG dari pemerintah, mengingatkan pada konsep filsuf Prancis Julien Benda tentang tanggung jawab moral cendekiawan. Konsep itu menekankan integritas ilmiah dan objektivitas. Dalam bahasa kontemporer, prinsip ini menegaskan, akademisi tidak boleh membiarkan ilmu pengetahuan menjadi alat legitimasi politik atau klaim populis.
Jika ditempatkan dalam konteks Indonesia, pernyataan Prof. Stella menjadi contoh nyata bagaimana klaim populis menutupi masalah struktural pendidikan. MBG yang bertujuan meningkatkan gizi siswa dikaitkan instan dengan prestasi akademik. Sehingga, perhatian pada kualitas pengajaran, dukungan keluarga, dan fasilitas belajar bisa tersisihkan.
Prinsip Benda bisa diterjemahkan di mana intelektual harus menjadi pengawas kebenaran, memastikan klaim berbasis bukti, bukan untuk popularitas atau keuntungan politik. Penggunaan ilmu untuk membenarkan kebijakan tanpa dasar empiris adalah pengkhianatan terhadap integritas akademik dan pendidikan.
Baca juga: Akademisi Melempem, Sejarawan Merem: Wabah Baru yang Jangkiti Kampus?
Kondisi ini menyoroti perlunya masyarakat kritis menanggapi narasi pendidikan. Guru, orang tua, dan akademisi harus mempertanyakan klaim populis dan memastikan program seperti MBG tetap berjalan dengan tujuan jelas, yakni meningkatkan gizi, mendukung proses belajar, dan memperkuat fondasi pendidikan.
MBG harus dilihat sebagai alat pendukung, bukan jalan pintas untuk meningkatkan kemampuan Matematika dan Bahasa Inggris. Klaim instan mereduksi pendidikan menjadi gimik politik, sementara anak-anak yang prestasinya rendah memerlukan perhatian holistik dan bukti ilmiah, bukan sekadar janji populis.
















