People We Love

Niamh Shaw, Perempuan Ilmuwan Serba Bisa yang Ingin Selamatkan Bumi

Berbekal pengalamannya di bidang STEM, Niamh Shaw memulai karier baru di penjelajahan antariksa pada usia 42 tahun.

Avatar
  • February 22, 2024
  • 12 min read
  • 4407 Views
Niamh Shaw, Perempuan Ilmuwan Serba Bisa yang Ingin Selamatkan Bumi

Usia tak pernah jadi kendala Niamh Shaw untuk terus memperkaya kemampuan diri. Pada 2013, di usia 42 tahun, perempuan serba bisa dari Irlandia itu meninggalkan karier yang sukses di bidang pertunjukan dan akademisi. Berbekal keahliannya dalam bidang komunikasi dan kinerja Science, Technology, Engineering and Math (STEM), ia mengejar mimpinya sejak kecil: Menjelajah ruang angkasa.

Mengejar mimpi di usia yang tak lagi muda apalagi ia populasi minoritas di bidang STEM yang masih maskulin tentu tidak mudah. Namun, setelah sepuluh tahun menjalaninya, Shaw telah mencapai banyak hal.

 

 

Ia bergabung dengan 93 perempuan ilmuwan lainnya dalam perjalanan Women in STEM ke Antartika sebagai bagian dari proyek bergengsi Homeward Bound. Ia juga berpartisipasi dalam penelitian sains Mars di padang pasir di Utah dan Botswana, melaporkan peluncuran manusia ke antariksa dari Amerika Serikat dan Kazakhstan, dan telah menjelajahi banyak bagian dunia yang ekstrem.

Niamh Shaw
Sumber: Niamh Shaw

Hari ini namanya harum dikenal sebagai ilmuwan, akademisi, komunikator sains, performer, sekaligus penulis yang dinobatkan sebagai satu dari 38 perempuan berbakat di bidang teknologi pada 2014 oleh perusahaan media Irish Central.

Dengan segudang pengalaman, Shaw tak pernah absen berbagi cerita ke publik. Ia ingin pengalamannya tidak hanya jadi memori pribadi saja, tapi bisa menginspirasi, mendidik, dan mendorong orang untuk mengeksplorasi dan menyoroti kerapuhan Bumi. Dalam wawancaranya eksklusif bersama Magdalene, Shaw pun lebih jauh berbagi kisahnya.

Baca Juga: Sejarah ‘Computer Girls’ Sebelum Industri IT Berparas Lelaki

Magdalene: Apa yang membuat kamu tertarik dengan antariksa dan mengapa hal itu penting bagi kehidupan manusia?

Ketertarikan saya pada antariksa selalu ada sejak kecil. Sehari setelah pendaratan di bulan, yaitu program Apollo 11, yang terjadi pada Juli 1969 adalah perayaan besar. Ayah saya menceritakan pendaratan monumental tersebut. Kenangan itu tertanam dalam keluarga kami. Kami juga suka menonton film fiksi ilmiah bersama. Kami menonton banyak program alam dan hal-hal lain bersama-sama yang berkaitan dengan sains. Semua ini menjadi cara bagi saya terhubung dengan ayah dan saudara laki-laki saya.

Hal ini pula yang membuat saya menyadari bagaimana eksplorasi ruang angkasa memberikan semacam afirmasi positif bahwa segala sesuatu bisa dimungkinkan terjadi, dan ruang tersebut bisa menjadi tombak ide-ide dan hal-hal baru bagi manusia. Namun, butuh waktu bertahun-tahun tepatnya saat menginjak usia 42 tahun, saya akhirnya mampu jadi bagian dari bidang keantariksaan ini.

Dalam perjalanannya saya menyadari eksplorasi Antariksa penting karena berbagai alasan. Pertama, antariksa memberikan perspektif baru kepada kita sebagai spesies di planet ini. Semua astronot akan membicarakan momen ini ketika mereka melihat Bumi dari jarak jauh untuk pertama kalinya. Ini merupakan fenomena yang disebut efek ikhtisar (overview effect). Tidak peduli apa keyakinan agama mereka, mereka semua mempunyai semacam momen spiritual.

Sumber: Niamh Shaw

Para astronot tidak dapat mengalihkan pandangan mereka. Bumi ternyata begitu indah dan mereka merasakan hubungan yang sangat kuat dengannya. Namun yang lebih penting dari itu, mereka menyadari Bumi adalah benda hidup. Kami melihat bagaimana awan bergerak, luasnya lautan, daratan, dan api dan bahwa tindakan suatu negara berdampak pada negara lain.

Dari momen ini, ada penyadaran yang terbangun bahwa apa yang terjadi di Bumi, terhubung satu sama lain dan kita adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Tidak ada batasan, tidak ada namanya negara, karena Bumi sendiri juga tidak mengenal negara. Kita yang memasukkan identitas itu ke dalamnya. Kami lalu menyadari banyak dari manusia tidak menyadari, planet ini adalah rumah kita dan hanya ini yang kita punya. Karena itu rasa tanggung jawab besar untuk menjaga planet ini dengan lebih baik akhirnya muncul.

Kesan ini memiliki potensi besar untuk mengubah cara memandang diri sendiri dan negara-negara agar dapat bekerja sama secara lebih kolaboratif sebagai bagian dari peradaban global dan sebagai spesies global di planet ini.

Selain itu, bertahan hidup di antariksa membuat saya menyadari apa yang kita miliki di Bumi. Kita memiliki oksigen, air, makanan, dan gravitasi, dan jika kita menghilangkan semua itu maka kehidupan manusia menjadi sangat rumit. Dari beberapa pilihan yang kita buat sebagai penduduk planet ini, kita tidak benar-benar menyadari bahwa kita sebenarnya telah memiliki semua yang kita inginkan, tapi sumber dayanya terbatas. Karena itu, kita mempunyai tanggung jawab untuk mengembalikan apapun yang kita ambil.

Jadi semua jawaban untuk hidup lebih berkelanjutan ada di antariksa dan kita bisa membawanya kembali ke Bumi. Jika kamu tertarik pada luar angkasa, maka kamu akan pada Bumi. Jika kamu tertarik pada Bumi, maka kamu akan tertarik pada kesehatan planet ini.  Jadi antariksa buat saya tidak hanya membantu perbincangan seputar perubahan iklim dan keberlanjutan, tetapi juga seputar kesetaraan dan pembagian semua sumber daya yang kita miliki dengan setiap negara, tanpa memandang gender, tanpa memandang etnis, tanpa memandang keyakinan.

Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital

Kamu bergabung dengan 17 perempuan untuk mendorong lebih banyak diskusi tentang krisis iklim dengan menyaksikan dampaknya di Antartika. Bisakah kamu ceritakan lebih banyak tentang pengalaman tersebut dan mengapa penting untuk mendukung gerakan untuk mengatasi krisis iklim?

Ekspedisi tersebut merupakan sesuatu yang saya ikuti sejak 2021 yang merupakan inisiatif Australia yang disebut Homeward Bound Projects. Mereka mencoba merekrut 100 perempuan dari STEM untuk bergabung dalam program kepemimpinan. Perempuan di STEM memiliki kesempatan untuk berbicara tentang isu-isu tertentu, khususnya seputar perubahan iklim, namun cenderung mundur karena patriarki. Perempuan cenderung menunggu kualifikasi “murni” dari masyarakat sebelum angkat bicara.

Itulah ide dari program ini. Kami bersama-sama ikut kursus daring dan saling mengenal. Puncaknya adalah perjalanan tiga minggu ke Antartika untuk menyaksikan secara langsung Antartika bahwa preferensi kita terhadap sumber daya yang kita gunakan untuk berbagai kegiatan manusia termasuk transportasi berdampak pada Bumi. Hal ini akan membantu kita merasakan urgensi untuk mengkomunikasikan perkara krisis iklim lebih lanjut dengan lebih massif dan membumi.

Hal ini telah menjadi norma dan kita harus melawannya. Para perempuan di bidang ini tidak hanya harus “terlihat”, tetapi juga harus hadir dan meyakinkan perempuan masa kini bahwa tidak ada hambatan untuk menggeluti bidang ini. Kita juga harus membantu mempertanyakan bias patriarki yang bermain di kepala mereka tentang nilai diri sendiri.

Jadi tiga minggu itu diisi dengan banyak percakapan. Kami banyak bekerja sama, berbincang, dan mendengarkan para ahli. Ada ahli glasiologi, geologi, ahli lingkungan hidup, ahli biologi, ada pula yang pelobi untuk bidang kelautan.

Saat berada di sana kami merasakan planet ini sudah sangat tua tapi juga sangat bijaksana. Sungguh indah berada di tempat yang airnya tenang, ada gunung es besarnya seukuran gedung pencakar langit, dan segerombolan penguin yang sedang berenang di air mencari makan agar tetap hidup.

Melihat bagaimana alam bekerja dan ketenangan yang menyelimutinya membuat kita tersadar bahwa manusia adalah salah satu makhluk dari sekian banyak makhluk hidup yang ada di bumi dan setiap dari mereka punya tempat dan hierarkinya masing-masing dalam suatu siklus kehidupan. Saya rasa kita telah melupakan hal ini. Dengan tinggal di dalam gedung, memiliki jalan raya, listrik, dan supermarket untuk membeli makanan, kita seperti terputus dari tempat kita di dalam sistem, sistem yang memiliki siklus. Dan saya pikir hal ini membuat manusia berpikir bahwa kita yang paling berkuasa di Bumi padahal tidak. Kita Anda harus menyerahkan kendali dan membiarkan alam memegang kendali.

Sumber: Niamh Shaw

Kamu bilang, pengalaman di sana menyadarkan bahwa Bumi sudah tua. Kami ingin tahu apa pendapatmu tentang gerakan krisis iklim. Apakah kesadaran akan hal itu sudah cukup? Karena di Indonesia masih banyak orang yang tidak percaya bahwa krisis iklim sudah terjadi.

Saya rasa kesadaran ini belum cukup. Apalagi menurut saya cara kita berkomunikasi tentang krisis iklim hanya fokus menakut-nakuti orang saja. Saya rasa cara itu tidak tepat bahkan berlebihan.

Orang-orang yang memahami sains, memahami datanya, dan mereka bisa berpikir secara logis jadi perbincangan soal krisis iklim masuk akal buat mereka. Tapi kebanyakan orang berpikir dengan hati. Jika mereka mendengar sesuatu yang sangat logis, sulit bagi mereka untuk memahami bagaimana mereka dapat berkontribusi dan bagaimana mereka dapat peduli terhadap hal tersebut.

Saya pikir satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah memberi tahu lebih banyak orang dengan membuat topik ini terasa relevan bagi orang-orang non-sains karena bagaimana pun semua manusia pada dasarnya tahu cara merawat. Sedangkan yang bisa kita lakukan (untuk yang sudah awas dengan isu krisis iklim) adalah terus mendorong pemerintah, pembuat kebijakan dan perusahaan besar untuk melakukan perubahan.

Jika semua orang mengatakan, kita harus melakukan sesuatu dan mereka mengetahui faktanya serta memahami apa itu krisis iklim dan konsekuensinya, maka tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi bagi pemerintah, pembuat kebijakan, dan perusahaan. Jadi poinnya bukan untuk menaruh tanggung jawab pada warga negara agar pada gilirannya perubahan besar harus terjadi dari atas ke bawah.

Baca Juga: Jumlah Perempuan yang Lebih Sedikit di Bidang Teknologi, Apa yang Menyebabkannya?

Kembali ke pembicaraan tentang eksplorasi antariksa. Apa saja tantangan yang kamu alami sebagai seorang perempuan saat menekuni keahlian di bidang ini?

Saya pikir masalah terbesar yang saya alami sebenarnya datang dari diri saya sendiri. Perempuan menyerap apa yang masyarakat katakan kepada mereka. Jadi meskipun saya dibesarkan di rumah di mana budaya percakapan seputar sains cukup besar dan saya pun diberi tahu bahwa ketika dewasa saya bisa menjadi ilmuwan, sayangnya saya tidak melihat perempuan di bidang ini. Saya misalnya tidak sadar ada sosok perempuan astronot.

Samar-samar saya mendengar tentang Valentina Tereshkova, perempuan pertama di luar angkasa dan Sally Ride. Tapi tidak ada seorang pun di Irlandia. Karena itu, kurangnya wawasan tentang panutan perempuan, menurut saya merupakan sebuah hambatan.

Namun, kendala terbesar bagi diri saya sendiri adalah saya memiliki bias bawah sadar tentang peran saya sebagai perempuan dalam eksplorasi antariksa. Saya seperti bilang kepada diri sendiri, hal ini (eksplorasi antariksa) tidak mungkin menjadi bagian dari hidup saya. Pertanyaan sesederhana, apakah saya bisa melakukannya bahkan tidak pernah terlontarkan sampai saya berusia 40-an.

Hal ini telah menjadi norma dan kita harus melawannya. Para perempuan di bidang ini tidak hanya harus “terlihat”, tetapi juga harus hadir dan meyakinkan perempuan masa kini bahwa tidak ada hambatan untuk menggeluti bidang ini. Kita juga harus membantu mempertanyakan bias patriarki yang bermain di kepala mereka tentang nilai diri sendiri.

Yang menarik, pada 1960-an, ada sekelompok perempuan, 13 perempuan, yang disebut Mercury 13. Mereka adalah bagian dari eksperimen seorang dokter, Dr. Lovelace, yang pernah terlibat dalam perekrutan astronot angkatan pertama yang melakukan semua jenis peluncuran awal seperti Alan Shepard dan John Glenn. Dia berusaha membuktikan, perempuan harus menjadi bagian dari program luar angkasa walau pada saat itu masyarakat belum siap melihat perempuan keluar dari peran domestiknya.

Sekarang situasinya sudah sangat berbeda. Badan Antariksa Eropa telah merekrut dua perempuan sebagai direktur di direktoratnya. Dan di lapangan, ada banyak sekali perempuan yang saya temui yang memiliki peran senior di berbagai aspek sektor luar angkasa. Lalu di Badan Antariksa India, setiap kali kita melihat peluncuran dan melihat kendali misi, jumlah perempuan dan laki-laki sama banyaknya.

Namun, kita memang masih punya PR besar untuk membuat perempuan tertarik menggeluti karir di bidang ini. Di sekolah dasar, anak-anak menunjukkan potensi besar dalam bidang sains ketika mereka mempunyai kemampuan, tetapi mereka tak punya gambaran sama sekali punya karir di bidang sains. Ini menurut saya berkaitan dengan apa yang normal bagi mereka dan apa yang terjadi di rumah mereka. Apa yang mereka tonton di TV? Apa yang dilakukan bibi dan paman mereka? Apa yang dilakukan orang tua mereka?

Jadi di rumah tidak ada perbincangan seputar sains, kemungkinan seorang anak laki-laki atau perempuan menjadi ilmuwan sangat rendah. Bahkan lebih rendah lagi untuk anak perempuan. Demikian pula, ketika kita mendorong mereka untuk memiliki rasa ingin tahu dan menjadikannya normal, mereka akan dapat melihat karier masa depan sebagai ilmuwan, meskipun orang tua mereka bukan ilmuwan. Jadi sekali lagi, kita harus menormalisasi fakta bahwa menjadi perempuan di STEM adalah hal yang wajar.

Caranya tentu saja dengan membuatnya relevan bagi mereka. Mencocokkan topik apa pun seputar sains dengan apa yang mereka minati jadi sangat penting. Begitu pula dengan menggunakan pendekatan khusus dengan mengajak orang-orang kagumi dan hormati. Kita harus membantu memahami mengapa sains menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan mengapa rasa ingin tahu adalah hal yang sangat wajar.

Kita harus membantu orang tua dengan meruntuhkan hambatan apa pun yang dimiliki orang tua dalam hal pembelajaran dan rasa ingin tahu. Karena, seperti yang saya katakan, merekalah yang menjaga pola pikir anak-anak mereka. Jadi jika mereka melihatnya di rumah, kemungkinan besar mereka ingin menjadi bagian darinya.

Kemudian kita juga bisa membantu para influencer dan generasi muda untuk ikut serta. Mengajak mereka memahami mengapa sains itu penting, mengapa ruang angkasa itu penting. Hal inilah yang nantinya dapat mereka sampaikan kepada khalayak yang lebih luas.

Untuk pertanyaan terakhir kami ingin menanyakan adakah pesan khusus yang ingin kamu sampaikan kepada generasi muda. Sebab, kami melihat masih banyak anak muda merasa putus asa ketika tahu di usia 30 tahun, mereka belum mencapai sesuatu dalam hidupnya.   

Saya sebenarnya tidak akan membatasi hal ini hanya pada kaum muda saja. Saya pikir ini berlaku untuk semua orang. Menurut saya, apa yang paling kita pedulikan dan sukai harus melebur menjadi satu dalam nafas kita. Kita harus memberinya ruang dalam hidup kita sendiri. Kita dapat memutuskan apakah ingin menjadikannya karier atau tidak atau menjadikannya hobi. Yang terpenting kita harus membiarkannya ada, eksis. Kita tidak pernah terlalu tua untuk mengejar hal yang kita sukai. Usia hanyalah angka.

Selain itu penting buat kita berbicara dengan dengan orang lain tentang apa yang kita sukai dan pedulikan. Temukan orang-orang yang bekerja di bidang yang kita minati karena seyogyanya banyak orang-orang di luar sana justru ingin membantu jika kita memiliki minat terhadap sesuatu. Jadi carilah mentor, carilah orang yang ahli di bidang yang kita inginkan dan mintalah bantuan. Mari belajar untuk saling mendukung dan menjadi mentor jika kita sudah lebih berpengalaman.

Tak kalah penting, ingatlah selalu ada ruang bagi setiap orang untuk memiliki dua atau lebih karier dalam hidupnya. Menurut saya, dengan cara ini justru kita dapat berkontribusi lebih banyak kepada dunia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *